was successfully added to your cart.

DEDIKASI

Oleh 02 Februari 2015 Articles
DEDIKASI

Nama Basarnas tiba – tiba saja mencuat ke permukaan dan kembali  menjadi populer karena prestasi dalam menangani bencana jatuhnya pesawat Air Asia kemarin. Tantangan cuaca buruk, yang membahayakan nyawa pun disambut dengan penuh semangat.  Apa yang kita saksikan di media, tentunya adalah situasi-situasi ‘berani’ dari para penerbang , penyelam , pelaut, dan penyelamat lainnya. Kita tentunya berdecak kagum melihat keberanian, bahkan kenekadan para penyelam, penerbang   untuk melakukan tindakan penyelamatan. Selanjutnya, pernahkah kita juga bertanya tanya, apa yang dialami , dibalik kinerja yang luar biasa ini.  Bencana tak kenal waktu, tak jarang para anggota Basarnas tidak pulang ke rumah untuk jangka waktu yang cukup lama. Apakah kita pernah mempertanyakan rindu istri dan anak yang ditinggalkan di rumah secara berminggu minggu.  Bagaimana keluarga yang ditinggalkan para perajurit yang berjuang menghadapi rasa was was dan khawatir akan  menerima berita buruk?  Apakah kita mempertanyakan bagaimana kesejahteraan dan kesehatan para perajurit  , yang tidur seadanya, dan harus terus bersiap siaga 24 jam. Tanpa kita sadari , kita dikelilingi oleh para pelayan masyarakat yang memang sudah menghayati profesinya, dan sering, mengorbankan kebersamaan dengan keluarga dan kepentingan pribadinya. Ini bukan terjadi pada profesi-profesi yang melayani publik saja. Banyak pekerjaan yang dilakukan individu, dengan penuh fokus dan integritas, penuh pengorbanan dan dedikasi, sampai-sampai terkadang melupakan kepentingan dan keselamatan pribadi. Mengapa? Demi apa?  

Pilihan nilai

Di saat-saat keadaan ekonomi yang semakin menantang, kemacetan lalu lintas, tekanan target lembaga dan perusahaan yang semakin ketat, kita sering membutuhkan tenaga ekstra untuk menjaga semangat. Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa tuntutan profesi sering berebut waktu dan perhatian dengan tuntutan kehidupan lain , seperti berkembangnya kehidupan spiritual, keluarga, kesehatan, dan sosial. “Bagaimana silaturahmi dijalankan, kalau hidup kita hanya habis mondar mandiri antara rumah dan kantor” , demikian keluh kesah teman di kantor. Jelas, saat sekarang ,  waktupun sudah menjadi komoditi yang material, bisa menjadi keuntungan, tapi juga jadi penghambat. Demikian pula  uang dan hal hal materiil lainnya. Kita selalu butuh uang dan seolah tidak bisa mengendalikan kebutuhan dan pemenuhannya yang tidak berhenti berkembang.  Kita mudah terjebak dalam situasi pesimis  dan merasa tidak beruntung terus menerus kalau kita tidak berbenah mindset. Tidak sedikit di antara kita yang menganalogikan  worklife balance dengan prioritas pada kehidupan keluarga yang seperti  bola kristal , perlu dijaga, dan dipelihara , sementara pekerjaan,  dan  kegiatan lainnya adalah hal yang menghambat, membebani, patut dipertanyakan dan kalau perlu dinomorduakan .  Kondisi seperti ini membuat individu  terjerumus dalam sikap negativistik. Pada dasarnya profesi dan pekerjaan bisa mengangkat harkat hidup seseorang, bukan menyiksa ataupun membebani. Bukankah  anak dalam keluarga bisa bangga dengan pekerjaan orang tua-nya yang sederhana, tetapi keras, dan membuatnya mungkin bersekolah?  Apakah suasana profesional yang terjadi di pekerjaan orang tua, tidak memiliki pengaruh positif pada etos kehidupan keluarga? Apakah hal ini tidak penting dalam hidup?     Apakah worklife balance berarti membuat nomor urut terhadap hal – hal penting dalam hidup kita?   Lalu mengapa para istri Basarnas itu tetap bersedia untuk menikah dengan anggota Basarnas meskipun dari semenjak belum menikah para calon istri sudah mendapatkan penjelasan mengenai resiko pekerjaan suaminya. Kita lihat, walaupun terjepit keterbatasan uang, waktu , dan tugas, kita bisa tetap mempunyai alasan untuk memilih kehidupan dan nilai tertentu.  Kita melihat betapa kesetiaan para perajurit  tidak hanya kepada negara, tetapi juga kepada korps, atasan serta bawahan, bisa mewarnai hidupnya  dan bisa mengalahkan banyak sekali kebutuhan bahkan yang primer sekalipun.    Dedikasi itu sendiri sebenarnya lebih dari sekadar menghabiskan waktu yang lebih banyak, usaha yang lebih besar dari seseorang di dalam pekerjaannya. Dedikasi diawali oleh rasa cinta, cinta kepada kebenaran, cinta kepada ilmu pengetahuan,  cinta kepada negara dan cinta kepada sesama manusia. Rasa cinta inilah yang ditularkan oleh mereka kepada keluarganya yang seolah – olah ‘dikorbankan’.  Kekuatan cinta inilah yang seringkali menguatkan mereka di kala keluarga menghadapi cobaan dikarenakan resiko pekerjaan salah satu anggota keluarganya. Putra Ahok berkomentar, “kita fight sampai mati saja Pa”  ketika keluarganya mendapatkan ancaman bahwa rumahnya akan diserbu oleh preman Waduk Pluit.  Dukungan dari keluarga dalam saat – saat seperti ini tentunya sangat penting dan menjadi sumber kekuatan. Mereka percaya bahwa segala pengorbanan yang mereka berikan saat ini baik waktu, tenaga maupun uang yang seringkali mengambil jatah yang seharusnya mereka berikan pada keluarga mereka, pada akhirnya adalah demi kepentingan nilai nilai luhur yang diwariskan ke anggota keluarga mereka juga.  Seorang mengatakan : “saya tidak mewariskan uang ke anak cucu saya. Cukup nama, nilai , dan etos kehidupan.”

Pengayaan pribadi

Berkaca pada kehidupan orang orang ‘besar’ di sekitar kita, kita bisa melihat bahwa kehidupan ini banyak diperkaya oleh kekuatan prinsip. Bahkan dalam keadaan yang sulit, suami terborgol sekalipun, istri Bambang Widjojanto bisa mengatakan bahwa anaknya menganggap penangkapan suaminya ‘keren’. Kita memang bisa saja terjepit oleh kebutuhan material  dan tidak bisa berkelit dari kebutuhan-kebutuhan kita yang urgen. Tetapi kita baiknya juga ingat bahwa disamping pemenuhan kebutuhan primer, seperti uang sekolah, makan sehari-hari, masih ada kebutuhan untuk mengisi diri dengan nilai-nilai luhur, nilai-nilai profesional, pengabdian, kebenaran, yang  akan menjadi asupan rohani dan mental, serta bernilai sama pentingnya dengan asupan gizi dan pengetahuan kita. Di tengah-tengah berkembangnya ketersediaan informasi  dan lubernya pengetahuan serta padatnya kehidupan , kita perlu menimbang manusia macam apakah yang akan kita kembangkan baik dalam diri kita, maupun bagi keturunan dan bawahan kita. Hubungan kita dengan perusahaan atau lembaga tempat kita berkaryapun perlu kita telaah kembali. Apakah hubungan kerja memberi kekayaan profesional, wawasan dan produktivitas, serta apakah kita sempat memberikan kontribusi kedalamnya. Begitu kontribusi kita kurang,  yang bisa dikarenakan kita terlalu hitung –hitungan  ataupun karena tidak tahu bagaimana kita harus berkontribusi,  kitapun akan merasakan bahwa kita menjadi ‘outgroup’ dan kemudian tidak ‘happy’ lagi karena merasa ‘dilupakan’ oleh organisasi. 

Dimuat di KOMPAS, 31 Januari 2015

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com