Mendengar aturan Menteri PAN-RB yang melarang PNS menyelenggarakan pesta perkawinan dengan lebih dari 400 undangan dan kehadiran 1.000 orang, atau yang mewajibkan bepergian menumpang kelas ekonomi, banyak pegawai yang berusaha membuat pembenaran ”Itu tidak berlaku untuk kita, bukan?”. Betapa kita belajar bahwa orang dengan mudah menyetujui perubahan, tetapi sulit menjalankannya bila hal yang diubah berkenaan dengan dirinya. Bagi orang lain lagi, hal ini tidak masuk akal. Pesta dengan tamu 1.000 orang itu sudah banyak sekali dan terbang di kelas ekonomi sama sekali tidak membuat orang sakit atau sedemikian menderita. Mengapa demikian sulit untuk menjalankan perubahan ? TNI AD menanggapi aturan yang melarang rapat dilangsungkan di hotel berbintang dengan mengadakan rapat di tengah hutan. "Kami rapat di hutan, dan tidur di tenda, Pak," lapor KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo. Sulitkah melaksanakan rapat di tengah hutan bagi para perwira TNI ini? Tentu tidak, karena mereka sudah terbiasa melakukannya: lazim bagi tentara untuk rapat dan tidur di lapangan, sehingga tidak ada perubahan yang harus digerakkan. Untung saja, presiden kita tidak kagok untuk ikut rapat di tenda.
Kita cenderung bertahan pada apa yang kita tahu dan sudah terbiasa, serta menghindari situasi dan tantangan, justru saat kita semestinya mempelajari hal baru. Kita membentangkan mental map dan pemikiran yang sudah bercokol di benak sembari menghindari situasi yang menantang kita belajar hal-hal baru. Ini masuk akal, karena kita merasa sudah aman dan nyaman seolah berada di ‘rumah sendiri’. Jadi, kita bisa sekali mengatakan bahwa kita ‘terbuka akan perubahan’, dengan catatan, kalau bisa sebaiknya orang lainlah yang berubah. Sikap ini bisa kita pertahankan sementara waktu, tetapi tidakkah kita khawatir akan badai perubahan yang sekonyong-konyong datang, menimpa diri kita, dan tidak bisa dihindari lagi? Pernahkah kita berpikir apa jadinya, jika tukang reparasi mesin tik tahun 60-an masih bisa bertahan dengan kerangka pikirnya? Ini serupa dengan bagaimana kita, yang sedang berjaya masa sekarang, akan menghadapi perkembangan 20 tahun mendatang. 10 pekerjaan yang paling populer sekarang belum eksis 10 tahun yang lalu. Karenanya, kita harus bersiap-siap, bukan saja untuk mau dan bisa berubah, namun siap mengimplementasikan hal baru secara total. Berapapun usia kita, kemampuan adaptasi dan sikap proaktif-lah yang akan membuat kita tetap berada di permukaan karir. Seperti kata Darwin, ”It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent. It is the one that is the most adaptable to change.”
Belajar, lalu belajar lagi
Kita banyak mendengar kata ‘belajar’ dari para pemimpin kita yang baru bertugas: belajar berdagang ikan dari negara-negara Skandinavia, belajar konektivitas dari Tiongkok, dan belajar pengendalian banjir dari Belanda. Padahal kita bukan hanya harus belajar, tetapi menghapus pelajaran masa lalu untuk belajar lagi dari nol. "The old way is broken. It doesn't serve us." Inilah yang berat, yang dirasakan oleh pemimpin-pemimpin yang pernah terpuruk untuk bangkit kembali. Leading on artinya bukan sekadar maju terus, namun menghapus kebiasaan lama, seperti pemborosan, konsumsi yang tidak perlu, kebiasaan tidak mengikuti prosedur, korupsi dan ketidakdisiplinan. Bukan sekadar membangun jalan dan MRT, namun juga menghapus kebiasaan lama masyarakat berkendara. Tugas kita sebagai manusia modern memang berat: mengupayakan lingkungan kerja yang energetik, militan, dan kreatif, sembari menghapus kebiasaan lama yang sudah berurat berakar selama puluhan tahun, lalu bersiap menghadapi babak berikut. Kita memang terlahir untuk belajar. Bayi yang baru lahir sudah melakukan modelling dan imprinting alias meniru tingkah laku orang dewasa di sekitar. Namun dengan berjalannya waktu, pengalaman, dan usia, ada orang yang kehilangan semangat belajar. Padahal dengan resistensi untuk belajar ini, kita sangat sadar bahwa kita mempersempit kesempatan untuk maju. Alvin Toefler mengatakan, “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.”
Tanggalkan yang “lama”
Dengan perkembangan teknologi yang tidak terbendung, kita sulit untuk bertahan dengan paham bahwa perusahaan atau lembaga tempat kita bekerja masih oke-oke saja. Brutal facts perlu dicari ,agar tidak mengagetkan kita tanpa persiapan. Kenyataan pahit itu diperlukan untuk mendorong kita berkeyakinan beda. Satu-satunya jalan untuk mempelajari hal baru adalah kesediaan untuk menghapus kebiasan, paham, dan keyakinan lama sekaligus merombak cara desain, metodologi pencarian fakta dan data, pemanfaatan teknologi, penghayatan nilai, target pasar, dan hubungan dengan karyawan. Kita tidak bisa berubah melalui kegiatan tambal sulam. Situasi masa depan sudah terlalu berbeda dengan apa yang kita lakukan sekarang. Seperti ketika hendak mengganti cat tembok dengan sempurna, 70% upaya dilakukan untuk mengupas cat lama dan 30% sisanya adalah membubuhkan cat baru.
Isaac Asimov mengatakan, “Your assumptions are your windows on the world. Scrub them off every once in a while, or the light won't come in”. Banyak orang mengatakan sulit bagi orang yang sudah lama bermain bulutangkis untuk menguasai permainan tenis. Kedua permainan yang terlihat mirip ini mempunyai dasar yang sangat berbeda. Bila kita bermain tenis, namun tetap membawa kerangka pikir dan tindakan bulutangkis, kita tidak akan cepat menguasainya. Satu-satunya jalan adalah menghapus mindset, kebiasaan, apalagi kejayaan permainan bulutangkis untuk belajar langkah-langkah tenis dari nol. Hal ini hampir tidak mungkin karena semua itu sudah tersimpan di memori kita. Yang membuat kita mampu mempelajari hal baru adalah keterbukaan ‘mindset’ kita.
Memasuki pekerjaan dan tugas baru, kita pasti membawa budaya kerja yang lama. Cukuplah budaya ini kita simpan sebagai referensi dan tidak menghalangi kita untuk terbuka terhadap hal-hal baru. Bahkan, kita harus membuka diri kepada hal-hal yang masih belum sempurna. Dalam hal ini, kita perlu rekan-rekan yang berhati tulus yang bisa memberi masukan yang konstruktif. Selain itu, kita sekarang juga diperkenalkan dengan gaya belajar yang lebih modern dan menarik, termasuk memanfaatkan media sosial dan fasilitas survei online. Riset itu tidak menakutkan lagi, bahkan bisa dilakukan secara individual sesering mungkin. Saat ini, kita berhadapan dengan lingkungan yang lebih rasional, sehingga kita akan terbawa untuk terbuka pada pendapat, analisis, dan kegiatan berpikir orang lain. Ini menyebabkan kita juga terpacu untuk menyajikan dan mempelajari cara mengakses fakta pendukung lebih banyak. Semakin dekat kita dengan fakta, ukuran, dan realitas, semakin terpacu kita untuk belajar. Keharusan kita untuk beradaptasi sudah diakomodasi oleh hal-hal baru yang tersedia. Berapa pun usia kita, apa pun pangkat kita, menjadi manusia pembelajar memang merupakan solusi untuk ‘survive’.
Dimuat di KOMPAS, 13 Desember 2014