Jeff Weiner, CEO jejaring profesional terbesar LinkedIn, mempunyai kebiasaan untuk mengucapkan ungkapan “Next Play” sesudah merayakan kemenangan tertentu, entah keberhasilan sebuah proyek baru atau dimenangkannya satu deal bisnis yang signifikan. Ini dipelajarinya dari Mike Krzyzewski, pelatih Tim Bola Basket Nasional Amerika dan Duke University, yang selalu mengatakan: "Take a minute to celebrate success or reflect on failure, but then move on.". Bisa kita bayangkan betapa Weiner membawa tim untuk terus menantang diri. Jam kerjanya paling tidak sama atau bahkan selalu lebih . Ia selalu menemukan pertanyaan yang benar-benar membuat orang berpikir dan menemukan solusi yang selama ini dicari-cari. Kesalahan yang terjadi, bukan kemudian disesali, namun justru dijadikan sebagai bahan studi kasus. Oleh anak buahnya ia dijuluki ‘the constructive critic’.
Phil Libin, CEO Evernote, sebuah perusahaan software dengan 20.000 karyawan, selalu mengatakan kepada anak buahnya bahwa perusahaan mereka harus berada dalam status ‘start-up’, alias bermentalitas sama dengan wirausahawan pemula. Ia yakin bahwa hanya dengan militansi karyawan yang melihat pekerjaannya sebagai ‘tanjakan’ lah yang bisa membuat perusahaan semakin maju dan berinovasi terus. Libin percaya bahwa sistem lama pasti akan basi, sehingga setiap 3 tahun sekali ia memperbaharui semua sistem lama, yang sebetulnya di perusahaan lain akan terlihat masih baru.
Sheila Johnson, salah satu pemilik BET Cable network, dan Tony Hsieh, CEO perusahaan sepatu online Zappos, sangat percaya pada collaborative compromise di masa-masa sekarang. Kedua pemimpin ini sangat percaya pada’ fun , respect, and happiness’ karyawan. Sheila sangat menekankan bahwa hasil individu tidak pernah lebih bagus daripada hasil tim. Sementara Tony menekankan pada “nilai” dan 10 “do’s dan don’ts” di dalam keluarga besar Zappos. Keduanya sangat meyakini tim sebagai mesin produksi yang mempunyai nilai, jiwa dan emosi. Anda tidak setuju? “Keluarlah dan pesangonmu akan dibayar. Orang yang tidak percaya pada hal tersebut lebih baik tidak di sini“ Ini juga yang menyebabkan mereka membuat perusahaan menjadi the most wanted company di kalangan anak muda. Para karyawan merasa pergi ‘bergaul’ bila berangkat kerja. Kebiasaan bertanya ‘mengapa’ dan ‘mengapa tidak’ yang ditanamkan Tony dianggap sebagai ‘game’, yang pada gilirannya justru memutar roda bisnis lebih kencang. Tony dan Sheila percaya bahwa profesional muda sekarang lebih mengikuti passion-nya ketimbang uang. Passion bukan saja senantiasa menciptakan ‘wow’, tetapi juga bisa membuat kita lebih kuat menghadapi cobaan, otomatis menjadi penghibur saat gagal, serta membuat efek penularan antusiasme berbisnis ke pelanggan dan ‘stakeholder’ lainnya. Karyawan akan merasa menjadi dirinya sendiri, karena passion akan pekerjaan memang sudah terinternalisasi dalam diri masing masing.
Perusahaan yang dibicarakan di atas memang adalah perusahaan bereputasi global yang sukses. Tetapi bukankah gambaran ini mewakili gejala bahwa bentuk organisasi sudah tidak bisa terlalu dipertahankan secara birokratis, dengan SOP dan “line of command” yang tidak diganti-ganti, serta asas senioritas yang masih dipegang teguh?. Statistik beberapa perusahaan menunjukkan bahwa persentase pekerja di bawah 30 tahun sudah menanjak, bahkan mencapai lebih dari 50%. Apakah keluhan mengenai GenY akan kita lanjutkan dengan mengeluh tentang generasi berikut yang lebih muda lagi, yang dibesarkan lebih banyak oleh gadget ketimbang ‘parenting’ berkualitas orang tuanya? Kita, yang kebetulan masih aktif dan masih mempunyai kesempatan membuka jalan bagi generasi sekarang, harus menyelami kondisi dan mencari cara agar kita kita bisa menggelar landasan yang baik bagi mereka yang akan mengarungi masa depan tanpa kita. Jadi pertanyaannya bukanlah “Siapa pemimpinnya?” atau “Bagaimana menjadi pemimpin?”, namun justeru” Kondisi apa yang perlu dikembangkan oleh seorang pemimpin agar timnya tumbuh subur?” Jadi, pemimpin sekarang yang efektif untuk kondisi mendatang adalah pemimpin yang adaptif dan mampu berubah sesuai tuntutan jaman, bahkan siap bekerja dengan struktur yang lentur, tidak ‘top-down’, dan memberi kesempatan sebanyak-banyaknya kepada anggota tim untuk berpendapat dan berkreasi.
Pemimpin di tengah komunitas
Semakin lama semakin terasa bahwa konformitas seorang pemimpin tidak bisa dilakukan tanpa penerangan, informasi, dan alasan yang riil. Itu pun, kalau tidak masuk di hati , tidaklah mudah pula orang mau menjadi ‘follower’. Memang satu-satunya jalan sekarang adalah mengubah orientasi kepemimpinan, yang tadinya berada di puncak, menjadi berada di tengah-tengah kelompok. Tidak heran bila gaya blusukan Jokowi menjadi populer dan mengena dengan cepat. Tentunya, gaya ‘turba’ yang dikenal dari jaman Orba ini perlu dibarengi dengan kemampuan berpikir yang tidak sekedar linier, namun cepat, masuk akal, dan lintas disiplin. Ini bukan ilmu baru dan bukan ‘rocket science’, melainkan sekedar pergeseran paradigma yang lumayan ekstrim, akibat perkembangan teknologi yang pesat yang berdampak pada cara pikir generasi muda. Siapa pun yang peka terhadap tingkah laku manusia bisa mengubah dan menyesuaikan sikap dan orientasinya.
Kalau dulu kita fokus pada satu pribadi pemimpin, maka sekarang kita perlu melihat kepemimpinan sebagai proses kolektif, yang tersebar melalui jejaring individu. Tepatnya, kelompok kerja masa sekarang harus dianggap sebagai komunitas bebas, yaitu orang bisa datang atau pergi tergantung hatinya. Pemimpin tidak bisa lagi bergaya otoriter walau tetap berpegang pada prinsipnya. Barangkali kita memang perlu belajar bagaimana membuat pencitraan itu efektif, baru kemudian menularkan spirit dan motivasi kita setelah adanya ‘buy-in’. Mungkin model organisasi holocracy, yang mengadopsi model sel di dalam tubuh manusia, dan akan diterapkan Zappos mulai tahun 2015, bisa membuat pemimpin muda lebih cepat matang karena setiap sel organisasi diberi kebebasan mengambil keputusan, meningkatkan efisiensi tetapi bertanggung jawab penuh dan tetap berada dibawah prinsip dan filosofi perusahaan induknya. . "The old way is broken. It doesn't serve us." Jadi kita memang perlu senantiasa mencari cara cara kerja baru dan mutakhir.
Dimuat di KOMPAS, 6 Desember 2014