Siapa yang tidak percaya bahwa pendidikan penting bagi kesuksesan? Sebuah survey yang dilakukan oleh badan sensus Amerika pada tahun 2010 menemukan bahwa rata-rata pendapatan tahunan warganya semakin meningkat seiring dengan tingginya tingkat pendidikan mereka. Artinya masyarakat memang menghargai tingkat pendidikan seorang individu. Di sisi lain, Einstein sang jenius mengatakan bahwa the only thing that interferes with my learning is my education. Kita pun baru-baru ini melihat pertentangan pendapat yang cukup sengit mengenai kemampuan seorang menteri yang tidak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi oleh seorang professor dari universitas terkemuka. Tentunya sang profesor memiliki pemahaman bahwa setiap individu harus menelan segala macam bacaan ilmiah, menjalani berbagai ujian yang terstruktur, eksperimen, kuliah kerja nyata , dan pembuatan skripsi dulu untuk dapat melakukan pertimbangan yang tepat dalam pemecahan masalah, terutama bila menyangkut hal hal yang kompleks, dan membutuhkan pemahaman menyeluruh. Sementara para awam melakukan pembelaan terhadap kompetensi kepraktisan dan pengalaman yang sudah dicerna oleh individu yang tidak mengenyam pendidikan formal ini serta hasil nyata yang sudah diraihnya. Benarkan penilaian dan pertimbangan itu harus selalu berlandaskan hal yang ilmiah? Atau apakah ‘judgment’ harus dilakukan oleh seorang akademisi / lulusan sekolah tinggi, baru terjamin mutunya?
Kita mengenal “ the Apple Paradox’ di mana almarhum Steve Jobs dikenal sebagai manusia yang putus sekolah, seringkali tidak mau menerima pendapat orang lain, bahkan ‘menyebalkan” dalam berbagai situasi. Namun mengapa ia terbukti dapat mencetak laba yang sangat tinggi bagi perusahaannya? Bukankah ia sukses memimpin Apple yang menjadi ‘top of the mind’ dunia? Di sini kita mendapatkan contoh, bahwa kesuksesan dalam memutuskan arah, atau membuat ‘judgment’ tidak selamanya berlandaskan hanya pada keilmiahan belaka. Kita juga melihat adanya unsur-unsur penentu dalam kepribadian seseorang, yang bukan saja unsur kognitif dan pendidikan semata. Robert Hogan dan Tomas Chamorro-Premuzic, psikolog dan professor Business Psychology di UCL dalam penelitiannya mengatakan bahwa pertimbangan yang tajam dalam mengambil keputusan dipengaruhi oleh kemampuan seseorang dalam menjaga integritasnya, menguasai materi permasalahan dengan baik, mendalam dan mutakhir serta mempunyai pandangan yang jelas mengenai masa depan yang ingin diraihnya. Artinya, siapapun yang mempunyai kompetensi yang baru disebutkan itu, sebenarnya mempunyai modal untuk memiliki pertimbangan yang matang dalam pengambilan keputusan yang kuat.
Apakah individu harus cerdas, berlogika tajam, dan mempunyai daya rasional kuat? Tentunya iya. Namun pertanyaannya kemudian adalah mengapa begitu banyak orang yang cerdas, berpendidikan, dan berpengetahuan dalam dan luas, tidak mampu membuat pertimbangan , keputusan yang bisa menggerakkan lembaga, perusahaaan atau negara? Mengapa sebaliknya, seorang CEO yang berpendidikan hanya kelas 3 sekolah dasar, dapat menentukan kapan waktu membelokkan bisnisnya, kapan melakukan ekspansi, bagaimana bernegosiasi yang menguntungkan, dan menentukan kepada siapa ia harus bekerja sama dan melakukan kemitraan? Mengapa dunia luar bisa menghargai seseorang bukan karena pendidikannya, tetapi karena sepak terjangnya yang menggambarkan ketajaman pertimbangannya, bahkan mengatakan bahwa ia mempunyai sixth sense, intuisi yang tajam? Tidak jarang bahkan orang orang bertalenta ini bisa menemukan pencerahan di antara situasi ‘chaos” maupun krisis. Mengapa kita yang mengenyam pendidikan , bahkan sampai bergelar Master, sering tidak kepikiran melihat masalah di depan mata, dan justru dibukakan mata oleh para atasan atau kolega yang sekedar berfikir praktis dan common sense? Apa yang dikemukakan oleh individu, semuanya hal hal yang masuk akal belaka. Tidak rumit rumit amat. Ada apa dengan proses pertimbangan alias judgement kita? “Good judgment comes from experience, and a lot of that comes from bad judgment.” - Will Rogers
“Sense-making”
Jim Wicks, Direktur Motorola's Consumer Experience Design, mengatakan bahwa saat sekarang kita membutuhkan individu dengan ‘sense making’ yang tajam. Dan betul, hal ini tidak sempat terlatihkan di lembaga pendidikan saja. Sense-making adalah kegiatan di ‘kepala’ atau di kertas oret oretan, yang tidak berhenti mengorganisasi, menggunting, mengumpulkan data, menyaring data yang terkumpul secara kohesif dan berkesinambungan. Kegiatan berfikir ini melibatkan kegiatan refleksi dan imajinasi yang tidak berbatas. Layaknya seseorang yang melamun, mengelantur, ataupun berfikir lepas dan kreatif. Menurut Wicks, ia tidak bisa mempekerjakan karyawan yang hanya berfikir secara linear, atau hanya bisa menganalisa soal ‘multiple choice’ saja. Setiap penemuan, atau data, biasanya mempunyai istilah dan bahasanya sendiri. Dalam ‘sense making’ ini , individu berusaha memahami segala ‘bahasa’, dan menterjemahkannya ke dalam logikanya sendiri. Ia dapat melakukan transformasi berpikir deduktif dan induktif secara berkesinambungan. Itulah sebabnya orang yang terbiasa berpindah pindah suasana, biasa menyerap dan mencerap segala macam informasi, biasa berdiskusi dan bertanya, menginkubasi dan siap menjawab semua ‘what if’s’ yang bisa menguatkan ‘sense making’nya. Jadi, mereka ini tidak jauh bedanya dengan para designer , yang tidak bisa di telusuri jalan pemikirannya : "Good designers can create normalcy out of chaos."
Berharganya keputusan
Kita semakin yakin bahwa keputusan yang benar memang sangat memengaruhi mutu kepemimpinan seseorang. Keputusan punbelum tentu diapresiasi semua pihak. Instruksi presiden untuk menaikkan harga BBM, yang betul betul membuat semua orang menahan hati dan merasa miris. Instruksi untuk menenggelamkan kapan pencuri ikan. Begitu banyak aspek yang harus dipikirkan ,diaduk dalam satu kepala dan membuat keputusan yang beresiko , bukan hanya kepada reputasi si pemimpin tetapi juga bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah keputusan ini 100% benar? Apakah tidak bias? Sudah pasti setiap keputusan mengandung konsekuensi negatif alias bisa saja keputusan tersebut salah. Steve Jobs pun berdiri di atas kesalahannya sebelum membuat ‘bang’ besar di Apple. Keputusan yang bagus biasanya justru datang dari orang yang mau belajar dari kegagalan, kesalahan , keterpurukan, maupun kesalahan ‘bias’nya. Cara individu memproses informasi sangatlah berbeda beda. Ini bisa berintegrasi dan berkolerasi dan menjadikan individu yang satu berbeda dengan yang lain : ada yang humanis, ada yang sistematis berhati hati , ilmiah atau justru ‘all rounder’. Satu hal yang paling penting adalah, apakah seseorang menilai kembali keputusan keputusan yang pernah dibuatnya dan mempelajari kesalahan maupun kesuksesannya dengan kepala dingin. Seorang pemimpin dapat dengan mudah menunjuk pihak lain sebagai pembuat kesalahan, alih-alih berefleksi dan melihat peran serta dirinya dalam kesalahan tersebut. Inilah sebabnya, berpendidikan atau tidak, seseorang bisa saja maju dalam proses berpikir dan penarikan kesimpulannya dalam pembuatan keputusan. Asal dia aktif mengasah diri dan pemikirannya
Dimuat di KOMPAS, 22 November 2014