was successfully added to your cart.

TAK GENTAR

Oleh 10 November 2014 Articles
TAK GENTAR

Ketika Basuki Purnama dan Abraham Samad membicarakan masalah korupsi, ada satu kesamaan yang menjadi ciri keduanya: pemberani. Melalui beragam media  beliau-beliau terlihat cukup ‘dalam’, rendah hati, dan sama sekali tidak goyah terhadap ancaman, dari yang berbentuk  benar-benar fisik hingga sampai pencopotan kekuasaan, bahkan ancaman  ilmu santet. Tanpa sikap takabur, keduanya bersyukur bahwa sampai saat ini baik-baik saja dan dilindungi Yang Maha Kuasa. Pemimpin memang harus pemberani, tetapi kita sering tidak melihat  menonjolnya aspek ini  dibandingkan aspek kepemimpinan lainnya. Apalagi sekarang situasi perang tidak terasa lagi, sehingga tak ada lagi pemimpin yang meneriakkan war cry  untuk menggerakkan anak buahnya. Jarangnya kita melihat keberanian sebagai ciri utama pemimpin membuat kita lupa bahwa keberanian tetap aspek terpenting dari kepemimpinan. Kita menyadari bahwa di dunia sekarang para pengikut berpikir lebih kompleks, lebih mempunyai aspirasi sendiri, dan lebih kritis. Pengikut juga tidak akan bersikap patuh tanpa rasional yang terang dan tidak termakan propaganda yang tidak berdasar. Jadi bentuk keberanian macam apakah yang di’beli’ orang?  Dari penampilan dan latar belakang para pemimpin sekarang, kita melihat bahwa keperkasaan fisik tidak identik dengan keberanian lagi. Kita bisa menyaksikan  keberanian para pemimpin lebih terhubung dengan nilai dan aspirasinya. “Kita bekerja demi negara. Apakah Anda tidak bersedia bekerja demi negara?” demikian persuasi Jonan,  ketika menjabar sebagai Dirut PT KAI yang juga dikenal pemberani, saat merekrut dan mengajak tenaga ahli yang ragu ketika akan bergabung dengan PT KAI. Jelas daya tarik yang beliau tawarkan  bukanlah uang, kekuasaan atau pun pangkat, melainkan aspirasi dan nilai, terutama terhadap hal-hal yang menjadi concern dunia sekarang, yaitu kemanusiaan, komunitas, kenegaraan, dan lingkungan.  Jadi bayangan kita tentang satria piningit, yang akan menjadi pemimpin negara  atau lembaga penting, mesti disesuaikan.   

Kita tahu bahwa kepemimpinan ada di tengah-tengah kita. Pertanyaannya adalah apakah kita cukup berani untuk memimpin keluarga,  divisi, perusahaan, bahkan negara? Apakah kita berani berpendapat dan berbagi pendapat dengan pengikut kita? Apakah kita membuat para pengikut kita lebih percaya diri, sehingga para pengikut lebih berkinerja dan berprestasi? Para pengikut sekarang sudah tidak buta menganalisis kepribadian lagi. Mereka tidak terkecoh oleh ‘keberanian’ yang memang di saat sekarang sudah berbeda. Saat ini yang justru menjadi pertimbangan adalah bagaimana para pemimpin bisa menampilkan kejujuran diri, membuat keputusan terutama pada saat dibawah tekanan, menunjukkan ketegaran  dalam memandang masa depan, dan mampu berdiri tegak menghadapi tantangan. Inilah yang menjadi dasar keberanian versi zaman sekarang. Pemimpin sekarang dinilai dari mutu keputusan, keluasan pertimbangan, keberanian membuat keputusan yang tidak ‘biasa, serta penguasaan cara-cara menanggulangi krisis dan kekuatan dalam jatuh bangun organisasi. 

Ketegaran model baru

Kalau di era lalu kita melihat pemimpin identik dengan pangkat, kekuasaan, birokrasi,dan  gengsi,  maka sekarang simpati kita terpengaruh oleh kerendahan hati. Banyak pemimpin yang nampak bersahaja namun tetap powerful. Lihat saja Presiden baru kita, yang semakin  bersahaja , semakin populer.    Dari mana kekuatannya dan keberaniannya dilihat orang?  Pemimpin sekarang nampaknya lebih berani untuk transparan, apa adanya. Tidak ada ketakutan untuk ditelanjangi  atau ‘dikurangajari’ anak buah, bila ia bersikap terbuka. Bukan saja jumlah harta kekayaan yang dilaporkan , tetapi isi rumah hingga keadaan rumah tangga tidak ditutup-tutupi. Banyak pemimpin lancar bercerita tentang kehidupan sehari-hari keluarganya tanpa beban. 

Ketidaktahuan seorang pemimpin, yang ditindaklanjuti dengan bertanya intensif kepada bawahan atau orang yang ahli, di masa lalu mungkin akan dicemooh orang. Sekarang hal ini justru dianggap sebagai kekuatan, seperti kata-kata filsuf Romawi Socrates. ”I know that I know nothing”. Pada masa itu pun kerendahan hati sudah menjadi tanda kepemimpinan yang kuat. Sepintar dan sejenius apa pun dia, pemimpin pemberani tak gentar untuk belajar dan bertanya. Inilah ciri yang sebenarnya tidak ‘baru’ tetapi sudah membuat perbedaan dalam pendekatan anggota kabinet baru. Semua  meyakini bahwa setiap pejabat harus menemukan hal-hal baru setiap hari dan belajar di lapangan  .  

Berani itu “aman “

Kita memang berada di lingkungan yang diwarnai ketakutan dan rasa tidak aman.  Keadaan inilah yang meningkatkan rasa takut dan semakin kuatnya orang berpegang pada status quo. Pemimpin harus sadar bahwa pergerakan dan perombakan  dengan rasa ‘nyaman’ memang tidak bisa disatukan, tetapi tetap, ia  berenergi untuk mengajak para pengikut bergerak mencari jalan baru, keadaan baru, dan perbaikan. Di sinilah keterbukaan pikiran dan sikap berempati justru akan memberikan rasa aman kepada pengikut hingga mau mengambil risiko untuk berubah. Pemimpin harus membuat keputusan-keputusan yang tidak ‘biasa’ dan tidak populer, sekaligus perlu menguatkan pengikutnya untuk yakin bahwa tindakan dan arah yang diambil memang adalah yang benar, dengan konsekuensi konsekuensi yang harus ditanggung. Pemimpin sekarang harus meyakinkan  bahwa ketakutan adalah musuh pengembangan. Sikap demikian akan membangun trust di antara pemimpin dan pengikutnya.  

Jiwa besar juga datang dari keyakinan bahwa kita bukan siapa-siapa bila tanpa dukungan orang lain. ” Jangan sekali-sekali berpikir bahwa kita memperjuangkan kebenaran sendirian. Banyak orang yang mempunyai prinsip yang kuat dan berdiri di atas kebenaran, ” demikian ungkap Basuki Purnama. Ini bisa membuat kita selalu tidak takabur dan merasa benar sendiri. Sikap mental ini membantu kita untuk berani mengakui kekuatan dan upaya orang lain. Pemimpin yang sukses harus berani mengakui bahwa kesuksesannya selalu diraih oleh upaya pengikutnya, bukan oleh dirinya sendirian. Tidak ada pemimpin sukses yang egosentris. Bahkan pemimpin yang berani melayani anak buahlah yang akan lebih disegani anak buah. Kita lihat ‘budaya tak gentar’ bukan budaya orang-orang perkasa lagi. Si pemberani adalah orang-orang yang justru berani susah, berani beda, berani berdebat untuk  berpendapat, melayani,  dan memimpin kelompok yang tidak sama dengan dirinya. Sikap inilah yang kemudian membuat kita mampu bersaing dan tangguh menghadapi krisis apa pun. Hanya pemimpin yang berani akan memimpin pengikut yang berani. Pertanyaannya sekarang,  apakah Anda seorang (pemimpin) pemberani? 

Dimuat di KOMPAS, 8 November 2014

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com