Belakangan ini, banyak orang berkonsentrasi pada implementasi yang sering tidak sesuai rencana. Bahkan kita lihat banyak organisasi yang membentuk divisi tersendiri untuk menjaga agar implementasi dilaksanakan, yang sering diberi nama PDCA (Plan Do Check Action). Inilah bukti bahwa tahap pelaksanaanlah yang benar-benar dipelototi. Saat sekarang, kebanyakan dari kita pasti sedang berpikir keras dalam beragam rapat kerja dan pertemuan untuk merencanakan apa dan bagaimana kita menghadapi tantangan tahun-tahun berikut. Banyak pimpinan perusahaan berpendapat bahwa kita cukup ‘berpikir’ sekali untuk membuat ‘action’ tahun depan dengan jelas dan terarah. Presiden terpilih kita, yang membuat rencana besar dengan memilih apakah melanjutkan master plan yang sudah dibuat oleh presiden yang sekarang, memodifikasi, atau bahkan meninggalkannya, sudah pula sibuk dengan rencana-rencananya. Di masa lampau, kita kenal juga Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) buatan Pak Harto yang cukup komprehensif dan sukses dalam implementasinya.
Selama tiga dekade terakhir, kita memang sudah ‘terbiasa’ dengan pembuatan rencana, yang kita anggap sebagai alat manajemen yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bahkan, kemampuan bekerja dengan sejumlah perangkat lunak membuat rencana menjadi lebih keren-keren dan bombastis lagi. Mengandalkan para perencana seperti ini, kita mestinya tidak dibingungkan dengan implementasi, yang sering terasa tambal sulam. Misalnya, pembongkaran pinggiran jalan untuk memasang kabel yang dilakukan berkali kali, oleh instansi yang berbeda-beda, membuat kita bertanya tanya, “Ini ’planning’-nya bagaimana, sih?”. Maka, tetap ada kecenderungan gejala, bahwa meski planning-nya sudah benar, dalam pelaksanaannya ditemukan atau terjadi hal-hal yang salah dilakukan . Padahal kita sendiri sadar, bahwa dalam merencanakan sesuatu untuk masa depan seringkali terjebak pada rutinitas yang berpatokan pada skema dan aktivitas tahun- tahun sebelumnya. Dan lalu biasanya terdengar keluhan bahwa banyak rencana yang akhirnya hanya menghasilkan no action atau rencana yang ‘tertinggal’ di laci kantor, yang pada zaman sekarang, mungkin berserakan di antara file-file komputer. Pada akhirnya, andaikata ada selebrasi atas rencana itu, kemungkinan besar hal ini tidak mengacu pada planning’ sebelumnya. Inilah yang disampaikan oleh Tom Peters , seorang penulis manajemen ternama, beberapa waktu yang lalu. Dalam suatu seminar ia menantang setiap manajer, dengan memberikan 100 dolar AS , bagi yang bisa memaparkan strategi yang sukses sebagai hasil dari planning. Mengapa planning sering meleset? Dan mengapa planning sering disepelekan dan dianggap sebagai kegiatan menggambar yang mudah?
Ekspedisi Mount Everest
Di dalam pelatihan simulasi pendakian Mount Everest yang sering kami adakan, planning juga sering disepelekan, meski para peserta tahu betapa besarnya risiko yang harus dihitung di simulasi yang diikutinya itu. Baru menentukan target yang hendak dicapai saja, banyak kelompok yang sudah salah menentukan sasaran. Ada yang tidak mendefinisikan berapa orang yang ditargetkan mencapai puncak; Ada pula yang tidak menargetkan kepulangan rombongan dengan selamat dan merasa yang penting adalah asal sampai di puncak saja. Ada pula kelompok yang tidak teliti, terutama tentang sumber daya dan kekuatan yang dimiliki, sehingga akhirnya kelompok tersebut harus segera diselamatkan alias pulang segera tanpa berhasil menjejakkan kaki di puncak. Dari sini terlihat, bahwa untuk memulainya saja perencanaan sudah begitu rumit. Selain itu , banyak kelompok yang membuat planning tanpa mengacu pada informasi yang tersedia, yang seyogyanya harus dibagi dan dibahas bersama. Ini membuat kelompok terkesan melakukan asal planning saja, tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Padahal, jika ini terjadi pada ekspedisi pendakian Mount Everest yang sesungguhnya, maka risikonya jelas: kematian. Maka jelas pula bahwa planning tidak boleh salah, terutama jika menyangkut daerah-daerah berbahaya dan misterius. Bukankah dalam dunia nyata hal ini juga sering terjadi?
Kembali ke pekerjaan sehari-hari, apakah sempat kita memikirkan sasaran spesifik tahun depan, dan tahun- tahun ke depannya lagi? Apakah kita banyak berfokus pada kendala atau justru kesempatan? Kita pun sering langsung memikirkan ‘what to do’ , ketimbang memikirkan ‘where to start’ dan ‘ where to go’. Tambahan lagi, apakah kita sudah memikirkan berbagai jalan atau strategi, dan pilihan mana yang akan diambil, yang bukan single action yang ‘sudah biasa’? Kita dapat menyaksikan bahwa sebetulnya kegagalan suatu organisasi bisa saja berpangkal dari planning paralysis. Bahkan, banyak orang berharap bahwa bila sudah dilakukan planning, maka pekerjaan sudah 50 % terjamin. Mantan Presiden AS Dwight Eisenhower – yang adalah seorang jenderal – pun mengungkapkan, “Plans are worthless, but planning is everything”. Yang pasti, bila planning tidak mempunyai tujuan yang ‘berbeda’ dari sebelumnya, maka tidak akan terjadi perubahan apapun. Strategi yang baik biasanya bukan sekedar datang dari planning yang baik, tetapi justru datang dari kesadaran kita tentang adanya rambu-rambu dan tanda-tanda perubahan, letak posisi kita di tengah-tengah pasar, dan laju pertumbuhan yang kita kehendaki. Kemampuan melihat elemen-elemen pergeseran sasaran ini perlu bermodalkan tacit knowledge yang datang dari orang yang awas , jeli, atau berpengalaman. Malcolm Galdwell menyebut kapasitas ini sebagai hasil dari 10.000 hour rule, yaitu kemampuan para manajer untuk mengakumulasi pengetahuan dari pengalaman diri dengan jam kerja yang panjang. Walaupun bukan rocket science dan hanya bisa dilakukan oleh perusahaan besar dan manajemen puncak, perencanaan harus dibuat dengan modal data yang benar serta sasaran yang jelas dan cermat.
Arahkan komitmen ke hasil
Tetap saja, dalam mengelola bisnis atau lembaga, bahkan negara sekali pun, kita perlu mempunyai gambaran yang super jelas tentang mau dibawa kemana organisasi kita. Sasaran harus jelas mengarah ke masa depan, namun tetap realistis dengan memperhitungkan dan terfokus pada apa yang kita punya, kekuatan kita. Data harus lengkap serta dapat digunakan, dengan membedakan antara realitas, fakta, dan asumsi. Rencana dapat dipandang sebagai gambaran, penentuan timing, penegasan komitmen, penghitungan sumber daya, dan pembagian kerja. Kita pun tetap perlu menghidupkan rencana kita dengan keterlibatan emosi, expertise, kemauan, dan akuntabilitas yang menyeluruh. Kalau rencana sudah benar, maka barulah monitoring yang dilakukan secara ketat akan mudah dilakukan. Lagi-lagi, jika semua yang terlibat ikut merasa memiliki rencana ini, maka implementasi tidak lagi terasa sulit. Kita pernah menikmati rencana pembangunan yang ciamik di masa lalu, jadi kita pasti bisa!
Dimuat di KOMPAS, 18 Oktober 2014