was successfully added to your cart.

LANGGENG

Oleh 14 Oktober 2014 Articles
LANGGENG

Banyak perusahaan yang menekankan pentingnya pelanggan dan sangat percaya bahwa pelangganlah jawaban atas kelangsungan bisnis perusahaan. “Kita perlu mendapatkan aspirasi pelanggan”, demikian seorang pimpinan perusahaan, sehingga penyelenggaraan focus group discussion secara berkala dilakukan. “Siapa tahu apa yang kita sajikan sudah tidak cocok dengan pelanggan”. Namun demikian,  pernahkah kita bertanya,  apakah solusi terhadap kelangsungan bisnis semudah itu? Sebuah perusahaan penerbangan, yang melihat penurunan animo pelanggan untuk terbang dengan maskapainya, mencoba melakukan diskusi dengan pelanggan utama dan mencari penyebabnya. Hasil dari diskusi tersebut adalah alasan utama menghindari maskapai tersebut bukan karena servis maskapai, namun justru karena servis petugas imigrasi di bandara. Jadi sebenarnya orang cenderung menghindari bandara itu, yang justru adalah hub maskapai tersebut,  untuk hal yang tidak bisa dikontrol oleh maskapai penerbangan, bahkan manajemen bandara sendiri, karena Imigrasi berada di bawah pengelolaan  Kementerian Hukum. Inilah fakta, bahwa tidak selamanya dengan mudah kita menangkap aspirasi pelanggan dan menanggapinya. Ada perusahaan yang begitu mesra hubungannya dengan pelanggan, terutama pelanggan lama,  sehingga mereka sangat happy berhubungan dengan staf perusahaan tersebut. Namun demikian, akhir-akhir ini perusahaan merasakan beratnya pertumbuhan, meski nyata-nyata kebutuhan pelanggan terpenuhi. Ketika diadakan survei budaya perusahaan, ternyata pelanggan memang sangat happy, karena mereka tidak pernah didorong untuk ‘berubah’, dalam artian menggunakan produk baru maupun diperkenalkan pada cara-cara baru yang lebih menguntungkan. Selain itu, ditemukan juga  bahwa karyawan demikian ‘baik hati’,   sampai sama sekali tidak bersedia bersikap asertif atau berterus terang kepada pelanggan. Bisakah kita bertahan di suasana seperti ini? Bukankah kita melihat bahwa banyak sekali perusahaan, yang tidak saja ketinggalan zaman oleh tuntutan pelanggan, namun juga oleh hal-hal lain?  

Sebagai contoh, perusahaan percetakan uang negara, yang tadinya berada dalam comfort zone monopoli dan sistem security  yang jelas-jelas aman pada zamannya, sekarang ini menghadapi tantangan baru, bukan saja karena keran persaingan yang dibuka tetapi juga kenyataan lain. Bila ingin mendirikan pabrik yang ‘aman’, mereka perlu membangun sistem security  dengan investasi  super mahal. Praktik-praktik sekarang terpaksa mendorong paradigma baru.  Pelanggan tidak saja  mencari yang praktis dan  mudah,  tetapi juga cari murah. Ditambah lagi, meski murah, juga tetap sehat, aman dan ramah lingkungan. Tantangan kita semakin rumit. Bisakah kita menanggulangi problem lalu lintas, yang dihadapi hampir semua orang di Jakarta, dengan produk kita?  Bisakah perusahaan telpon seluler memberi servis yang berharga hampir nol, tetapi tetap untung dan bersaing?  Kita sekarang berada dalam era tantangan kreativitas yang sebenarnya. Persis seperti pada masa-masa ketika orang bertanya, “Bisakah kita membuat sebuat kotak yang ditarik oleh sejumlah kuda?”, “Bisakah kita terbang seperti burung?”, atau “Bisakah kita menyelam bersama-sama  dalam sebuah ruang, seperti cerita nabi Yunus?”  Saat sekarang dengan langkanya air dan kebutuhan pangan seperti beras, pernahkah kita berpikir untuk menanam beras tanpa air? Bisakah kita betul-betul mengelola sampah sehingga bisa menjadi tempat bercocok tanam? Dalam keadaan terjepit, atau justru dengan kemampuan mengantisipasi keadaan terjepit, kita sebetulnya bisa berpikir jauh ke depan dan menyiapkan tatanan baru dalam bisnis ke depan. Kita semua, yang sibuk untuk survive, terkadang tidak menyadari bahwa saat sekarang kita sudah memasuki era persimpangan antara internet dan manajemen energi. Bahan bakar semakin langka dan beracun. Kita memasuki era low – carbon economy. Semua harus serba murah, namun tetap sehat. Energi harus digunakan secara efisien. Penggunaan  komputer, network , mesin, telepon,  dan alat-alat berat di dalam gedung perlu dikontrol dengan cara yang cermat. Kita pun pasti harus bersinergi  sesama industri,  antar kota, bahkan antar negara.  Sudah saatnya, kita tidak hanya berupaya keras membenahi  sistem dan operasi internal  kita saja, mengingat ancaman di luar sana lebih keras dan berbahaya.   

Perusahaan seperti Google melihat bisnis secara jauh ke depan. Bahkan sejak tahun 2002, ketika bisnisnya masih kecil dan kita masih bertanya-tanya  bagaimana mereka akan meraih keuntungan, Larry Page sudah merekrut manusia-manusia yang tidak saja jago di bidang teknis, tetapi juga berkekuatan di kemampuan sosial dan organisasi.  Jadi karyawan tidak sekedar spesialis, tetapi juga organizational savvy. “Tidak ada generalis di sini. Kami bukan perusahaan besar, tetapi kami  juga organisasi yang ingin berkembang. Semua orang harus ahli dan sekaligus bisa berorganisasi dengan baik”, demikian ungkap Larry.  Dengan strategi  ini , Google tidak perlu susah-susah mengembangkan sense of ownership karyawan terhadap perusahaan, karena mindset itu memang sudah ada.  Ujung-ujungnya, karyawan dengan mindset yang benarlah yang menyiapkan perusahaan untuk berkembang. Mindset  bahwa ‘I own the place and the place owns me’ ini sangat penting. Karyawan tidak perlu ditakut-takuti, namun cukup diberi penugasan bahwa selain berkinerja untuk waktu sekarang, juga perlu memikirkan perusahaan untuk dua dekade yang akan datang. Pada saat itu mereka mungkin sekali sudah jadi pimpinan perusahaan. 

“A winning culture”

Dalam perusahaan yang  berisikan karyawan yang ‘awas’ terhadap salah langkah, karyawan akan berfokus untuk melakukan hal yang ‘benar’, bukan yang ‘mudah’. Ide-ide perbaikan dan inisiatif baru akan bermunculan di setiap pojok organisasi. Hanya dengan kultur yang sehat, strategi bisnis perusahaan bisa fleksibel dibelokkan. Karyawan pun bisa lebih berorientasi keluar, yaitu  kepada pelanggan dan kompetitor, sehingga tidak hanya sibuk berpolitik internal. Inilah keadaan saat karyawan bisa berpikir dan bertingkah seperti owner perusahaan. Mereka bertanggung jawab terhadap seluruh bisnis perusahaan, bukan hanya sepotong kecil dari keseluruhan . Bukan hanya ‘here and now’ nya kinerja, tetapi masa depannya juga. Jadi saatnya sekarang kita bukan membangunkan orang untuk tidak berada dalam comfort zone saja, tetapi mengajak karyawan ‘aware’ terhadap kompetitor baru, teknologi baru, dan peraturan baru, yang bisa merupakan ancaman, namun  juga sekaligus  tantangan dan kesempatan yang perlu cepat direbut.  

Pada tahun 2007, Marks & Spencer bangkit dari keterpurukan, ketika mengubah kebijakan produk dan menginstruksikan karyawannya untuk memikirkan produk yang akan bertahan dipasarkan pada tahun 2015, serta yang akan bertahan terhadap policy lingkungan di tahun 2020. Sebetulnya kuncinya sederhana. Setiap orang dalam organisasi harus terlibat pada program sustainability . Semua harus ingin berpartisipasi. Isu ini tanpa disadari menjadi ‘jantung’ bisnis perusahaan. Ya,  sustainability memang adalah inovasi yang sesungguhnya. 

Dimuat di KOMPAS, 11 Oktober 2014

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com