was successfully added to your cart.

BOTH - BRAIN

Oleh 29 September 2014 Articles
BOTH - BRAIN

Ketika dalam suatu pertemuan yang terdiri dari para insinyur dicanangkan visi 20 tahun ke depan dengan mimpi yang sangat ideal, saya bertanya berapa persen dari mimpi ini bisa ditanggulangi oleh otomatisasi atau komputerisasi.  Jawabannya 30 %, dan  70% sisanya tentu hanya bisa ditanggulangi oleh unsur manusia, yang tidak dapat diotomatisasi, sehingga tetap harus dikembangkan sendiri. Inilah kebesaran sekaligus keterbatasan manusia. Dengan otomatisasi via mesin-mesin komunikasi, tampaknya kita sudah diperbudak oleh aplikasi-aplikasi yang canggih. Kita seolah-olah sudah sangat tergantung dengan peralatan elektronik dan rasanya tidak bisa hidup tanpa gadget.  Pada saat kita dihentakkan oleh tidak terjaminnya konsistensi tindakan, kekuatan integritas, dan motivasi karyawan,  seketika itu timbullah  pertanyaan,  bagaimana kita akan mengupayakan peningkatan kinerja dengan mengulik unsur manusia ini, tanpa bantuan teknologi ini?  

Bila kita meninjau  kembali kerja hemisfer kiri dan kanan manusia, kita juga akan sadar bahwa segala sesuatu yang dikerjakan otak kiri  manusia, yaitu logika, ternyata dapat dibuatkan rumus-rumus yang kemudian bisa digantikan dengan mesin. Namun penggantiannya tetap terbatas, karena akhirnya akan terjadi reduksi dan simplifikasi. Hidung atau penciuman, detak jantung, maupun pola pikir bisa dideteksi dan digantikan,  tetapi pada akhirnya terbatas juga. Tidak pernah fungsi indra manusia bisa secara sempurna  tergantikan oleh kerja perangkat lunak komputer, terlebih bila kita mulai memikirkan fungsi-fungsi emosi manusia. Hal ini rasanya sudah disadari oleh banyak orang. Ini juga sebabnya kaum kreatif saat sekarang juga sepertinya naik daun. Para salesman menjadi kelompok elite perusahaan, karena hubungan antar manusia tidak bisa tergantikan oleh apa pun dan dirasakan sangat penting. Meski demikian, di satu pihak terkadang kita juga melihat  ketidakharmonisan antara kerja kreatif dan kerja mekanis ini.  Dalam perusahaan, kaum kreatif merasa paling penting karena inovasi-inovasi yang dihasilkan, sementara yang bekerja mengandalkan hard skills seperti akuntansi dan teknik  juga merasa bahwa mereka lebih benar lagi. Bagian penjualan merasa mendatangkan pesanan, sementara para estimator melembur menghitung dan kemudian bisa dipersalahkan kalau harga terlalu mahal.  Nampaknya kita perlu sering-sering disadarkan  porsi keseimbangan yang benar antara kerja kreatif verbal, imajinasi dengan data, dan analisis. Kita juga menyadari bahwa terlalu fokus pada salah satu sisi akan membawa kita menuju kemunduran. Perlu ada keseimbangan antara teknologi dan kekuatan manusia dan jangan sampai organisasi dipenuhi oleh manusia yang sulit mengejar kemajuan teknologi, bahkan bangga  dengan ke-gaptek-annya. Sebaliknya jangan pula kita menjajah teknologi sehingga seolah-olah teknologi adalah jalan keluar yang optimal dan  unsur kekuatan manusia tidak diramu di dalamnya. Buntutnya, kita juga akan frustrasi karena teknologi semata tidak menjawab semua persoalan kita. 

Pada perusahaan semodern Google, yang kaum kreatif pastinya brilian, cemerlang, dan inovatif, tetap ada prosedur, bahwa setelah meluncurkan suatu produk, mereka akan melakukan champion post-launch testing. Melalui hal ini, para kreatif dapat memperbaiki dan  menyempurnakan produk itu berdasarkan analisis data yang matang dan masukan dari pasar. Di sini terbukti bahwa integrasi dari dua pendekatan bisa dijadikan satu. Inilah juga yang dilakukan Nike dengan apps-nya yang segera bisa di dapat di Iphone. Bahkan perusahaan mobil Volkswagen pun sudah bekerja sama dengan Google, untuk mencatat perjalanan pelanggan dengan mudah dan memasukkan aneka game ke dalamnya, sehingga  unsur excitement dari permainan bisa dinikmati para pelanggan selama  perjalanan. Kita juga menyaksikan perusahaan perusahaan yang ingin tetap survive harus menghindari gejala analysis paralysis, walaupun harus menjaga agar kemampuan inovatifnya tetap terbaik. Ini lah yang disebut oleh Jim Collins dalam bukunya Great by Choice sebagai  Empirical Creativity, yaitu  kreativitas yang dibarengi analisis real time serta pendekatan antara otak kanan dan kiri yang seimbang.  Kita perlu salesman yang bisa membuat skedul pertemuan pelanggan dengan efektif, sekaligus bisa mengarahkan pelanggan ke solusi teknis yang masuk akal. Kita juga memerlukan para kreatif yang memperhitungkan budget, memahami aneka  aplikasi, dan bisa mencari masukan pasar secara real time. Singkatnya,  kita perlu berpikir jauh dan lebih. 

Berpikir lebih

Tidak ada pilihan bagi kita untuk memanjakan daya pikir kita dengan membiarkan diri kita berpikir standar, well trained, dan sekedar terdidik saja. Kita sering merasa bahwa pengetahuan ini sudah cukup untuk bekal hidup dan bekerja kita.  Prof Daoed Joesoef dalam tulisannya di  Kompas beberapa waktu lalu menyatakan hal ini dengan gamblang. Dengan hanya  memanfaatkan apa yang kita pelajari di universitas dan sekedar menerapkannya, kita hanya terhenti pada kearifan praktis dan teoretis. Kita perlu melanjutkan kerja otak kita dengan mengisi tacit knowledge, yaitu pengalaman sebagai hasil kita berhubungan dan  berbentur dengan fakta-fakta baru di lapangan, ke dalam otak. Kita mesti menyerap opini, ide, tuntutan pelanggan,  kemauan atasan, tantangan perusahaan, maupun perkembangan pasar dan politik sembari menggunakan daya analisis dan  imajinasi. Ini berarti mempekerjakan otak kiri dan kanan secara bergantian untuk meng-excel daya pikir kita. Kalau kita masih berpatokan pada apa yang sudah kita ketahui saja,  maka kita berpikir terlalu standar,  tidak mempunyai daya adaptasi, apalagi kemauan belajar. Sikap berpikir kita perlu meniru sepotong busa, yang sepanjang bisa menyerap akan tidak henti-hentinya menyerap alias menjadi reseptif. Kalau rasanya tidak ada lagi yang bisa diserap, maka kitalah yang secara aktif membuka pikiran untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Kita pun tidak perlu menunggu sebuah rapat besar atau menulis sebuah teori yang canggih untuk merangkum apa yang kita baru peroleh dan serap. Mindset kitalah yang perlu berkembang secara dinamis. Pada zaman yang serba terbuka dan bebas ini, bukan lagi saatnya bagi kita menjual perangkat keras, karena setiap orang bisa menjual benda yang sama. Sebaiknya, daya pikir, layanan , sikap profesional, solusi, dan ide-ide inovatif justru yang akan di’beli’ dari kita.

Gizi buat otak

Sebuah organisasi atau tim tidak boleh tinggal diam untuk merangsang setiap anggota secara individu agar mengasah daya pikirnya. Talenta yang direkrut juga perlu diseimbangkan. Dalam  suatu organisasi perlu ada perbandingan yang sehat antara manusia yang kreatif dan yang analitis. Cross training, atau rotasi juga membuat orang bisa mempertajam empatinya. Kolaborasi harus tetap diupayakan dalam rapat atau pertemuan lain. Kita perlu membiasakan diri agar masing-masing dari  kita membuka diri terhadap semua kemungkinan. Respons yang ditunjukkan harus all out penuh respek terhadap ide dan hasil analisis orang. Kesadaran diri bahwa kita ini perlu berespons terhadap masyarakat yang lebih luas dan lingkungan alam semesta akan membuat kita, dalam kata-kata  Daoed Joesoef,  a harmoniously developed person yang mampu berpikir transendental dan bukan sekedar berfikir well-trained. 

Dimuat di KOMPAS, 27 September 2014

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com