was successfully added to your cart.

RELUNG HATI

Oleh 26 September 2014 Articles
RELUNG HATI

Kepergian yang begitu mendadak dari Robin Williams pertengahan Agustus lalu  tentunya mengejutkan kita semua. Bagaimana bisa seseorang yang tampaknya begitu ceria di atas panggung maupun di dalam film-filmnya, memiliki karir yang sangat cemerlang ternyata merasakan kepedihan yang amat sangat dalam hidupnya sehingga hidup rasanya tidak tertanggungkan lagi.  Banyak orang bilang bahwa hidup ini adalah panggung sandiwara, sehingga kita kerap menggunakan berbagai macam topeng dalam memainkan beragam peran ketika menghadapi publik. Istilah pencitraan begitu sering digunakan belakangan ini, ketika politikus disinyalir melakukan sesuatu semata-mata karena image yang ingin dibangunnya di depan publik.  Namun hal itu membuat kesan pencitraan adalah sesuatu yang buruk karena tidak adanya unsur genuine di sana. Padahal sebenarnya semenjak kita mulai menyadari adanya penilaian lingkungan sosial atas diri kita, semenjak itu pulalah pencitraan selalu dilakukan oleh masing masing dari kita. Kita memilih baju  yang tepat sebelum menghadiri aktivitas-aktivitas sosial. Kita menggunakan berbagai make up dan aksesorisnya bagi para ‘penonton’ kita.   Pencitraan kemudian menjadi berkonotasi negatif ketika keaslian diri tidak lagi bisa diidentifikasi di balik seluruh atribut yang kita kenakan. Ketika pupur sedemikian tebalnya sehingga sanak saudara bahkan tidak lagi mengenali, rekan kerja menganggap ungkapan simpati dan pendorong semangat hanya sebagai pemeo kita kehilangan pegangan , dan merasa ‘kesepian’. Tidak banyak orang yang bisa kita percaya lagi.

Pencitraan bisa menjadi buah simalakama bila individu terpaksa harus berlaku selaras dengan citra positif yang dibangunnya itu tanpa menyadari makna di baliknya. Untuk itu dibutuhkan dialog intensif dalam diri individu, agar ia tidak terjerumus dalam pusaran citra semata tanpa memahami esensi dari nilai yang terkandung dalam citra tersebut. Bayangkan konflik yang dihadapi  seorang pemimpin yang ingin memiliki citra penuh kasih bilamana ia harus memecat anak buahnya yang melakukan kesalahan fatal namun memiliki tanggungan keluarga besar yang harus dihidupinya. Sebagai seorang pemimpin yang beragama non-Muslim, Bapak Basuki memiliki prinsip keadilan yang dia pegang teguh. Ketika menjabat sebagai  bupati Belitung Timur dan mendapatkan pengajuan proposal perbaikan tempat ibadah seperti mesjid dan gereja, ia akan lebih memprioritaskan pembangunan mesjid bukan karena agar dianggap bersikap adil terhadap agama lain tetapi semata-mata karena keadilan baginya bukanlah selalu memberikan perlakuan yang sama namun perlu diletakkan secara proporsional disesuaikan dengan hak dan kebutuhannya. Menurutnya pembangunan gereja lebih mudah dibantu oleh umatnya sendiri karena secara finansial umumnya mereka lebih mampu ditambah dengan jumlah umatnya yang lebih sedikit.

Be Humble

Kesadaran bahwa seorang pemimpin, atau artis atau siapapun juga yang menjadi ‘tokoh publik’,  tetaplah manusia biasa yang tidak luput dari tugas dan tanggungjawab yang harus dipenuhinya seharusnya  membuat ia dapat terus melakukan dialog internal . Ia perlu rajin mengevaluasi, mensyukuri, belajar dari kesalahan dan mengkaitkan keputusan dan tindakannya dengan visi dan misi hidupnya.  Dari sejarah kita melihat , bahwa ketika pemimpin mulai terlalu fanatik, tidak mau mendengar pendapat orang lain,  terlalu sibuk dan bahkan tidak mempunyai waktu untuk berdialog dalam-dalam, baik dengan timnya, keluarga, dan bahkan dirinya sendiri, ia mulai kehilangan kontak dengan dirinya sendiri.  Ada ibu presiden yang pada awal masa kepemimpinan suaminya menggarisbawahi berita-berita penting di surat kabar pagi hari. Namun seiring dengan berjalannya waktu , kebiasaan tersebut hilang dan bahkan pasangan tersebut tidak lagi menunjukkan gejala bahwa mereka masih meng’update’ berita terbaru. Pertanyaannya , masihkah sang pemimpin mengenal kondisi dan situasi baik sosial maupun mental emosional rakyatnya dengan baik? Apakah apa yang dikatakan masih ‘benar’ adanya, alias obyektif dan berdasarkan fakta, atau hanya berbunyi pembenaran saja? Apakah pendapat kita cukup obyektif dengan mempertimbangkan masukan orang di sekitar kita, ataukah sekedar berkubang dalam ‘bias-bias’ untuk menenangkan hati semata? “Berkaca pada diri sendiri’ dan belajar memperbaiki diri , sungguh tidak berhenti ketika kita sudah tenar ataupun sudah berkuasa. Justru pada saat itulah kita bisa terjebak pada rasionalisasi yang membahayakan.  Kita semua mungkin sadar dan setuju ungkapan John Climacus, ahli filsafat,  :” Pride makes us forget our sins. For the remembrance of them leads us to humility.’ Tetapi kita sering lupa, bagaimana memelihara kemampuan mawas diri ini secara berkesinambungan, sehingga seringkali, kita baru menyadari ke-alpa-an ini setelah tahun – tahun berlalu.

Kesadaran akan adanya kekuatan lebih besar yang berkuasa atas hidupnya juga dapat membuat seorang pemimpin ‘membumbung’ sekaligus tetap mampu merambah tanah. Ketika Pak Basuki ditanya  oleh media apakah ia tidak takut efek domino dari sikapnya kalau sampai keluarga dan orang-orang yang dikasihinya diculik atau dibunuh karena sikapnya yang keras dalam membela konstitusi dan prinsip yang ia yakini benar, ia menjawab, "Anak saya masih kecil umur 7 tahun...Saya siap kalau memang harus meninggalkan dunia ini lebih cepat ya sudah. Lalu bagaimana kalau anakku dibunuh diculik....istri diculik dibunuh. Kalau memang Tuhan ijinkan silahkan."

Kesadaran dan kepasrahan akan adanya hal – hal yang tidak bisa dikontrol oleh diri sendiri ini menjadi sumber kekuatan utama seorang pemimpin. Kepasrahan ini tidak membuat pemimpin bebas dari rasa takut karena rasa takut adalah hal yang normal dalam diri manusia, tetapi membuat ia dapat tetap terfokus pada apa yang menjadi misinya dalam menjalankan perannya sebagai pemimpin. Dialog internal lagi-lagi perlu dijalankan secara intensif oleh pemimpin sehingga ia dapat menjalankan citra yang dibentuknya ini dengan pemahaman yang kuat akan makna yang terkandung di dalamnya dan bukan malah menjadi kaget ketika pada suatu hari memandang ke dalam cermin, tidak lagi mengenali citra di balik refleksi bayangan di hadapannya itu.

 

Dimuat di KOMPAS, 20 September 2014

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com