was successfully added to your cart.

KONTRIBUSI

Oleh 01 September 2014 Articles
KONTRIBUSI

Dalam organisasi yang biasanya sudah berkembang, kita mempunyai masalah dengan menghitung kontribusi. Dalam tahap ini,  organisasi biasanya sudah jalan dengan sendirinya alias berjalan secara auto-pilot. Di bagian SDM misalnya, rekruitmen terjadi secara otomatis, begitu pun promosi sudah berlangsung sesuai dengan kebiasaan. Bahkan ada orang-orang yang menunjukkan gejala “Peter Principle”,  naik pangkat, tanpa menambah keterampilan dan kompetensi. 80 % dari orang-orang yang mengalami gejala ini  tidak mempunyai ketajaman ‘mawas diri’, bahwa yang kurang itu adalah kompetensinya sendiri  .  Disinilah sering  tumbuh politik di internal organisasi untuk  memperjuangkan jabatan , pangkat, tanpa berpikir tentang perbedaan kontribusi setiap unit dan setiap tingkat jabatan.  Orang jadi berpikir, “Yang penting memegang jabatannya dulu, kinerja belakangan.” Bahkan, bila anggaran sudah ditetapkan,  orang cenderung sibuk menghabiskan anggaran,  dan lama-kelamaan  fokusnya  bergeser justru hanya untuk  menghabiskan anggaran saja, tanpa ingat lagi sebetulnya upayanya itu untuk apa, alih alih mem’pursue’ tujuan yang lebih besar. Padahal, dengan beratnya kompetisi, semua organisasi, termasuk yang masih terlihat  ‘makmur’ sudah harus  mulai menghitung kontribusi tiap-tiap karyawan dan masing masing divisi. 

Sementara itu, para profesional  yang merasa handal  semakin  berani untuk berdiri sendiri, melakukan  job hopping ke sana ke mari, memilih untuk menjadi associates, freelancers atau   bahkan menjadi  solopreneurs  saja dengan tawaran ‘wani piro’.  Organisasipun bisa banyak menggunakan tenaga ‘outsource’. Tentunya ini adalah bentuk lain dari organisasi yang tidak selamanya bisa diterapkan, terutama bila organisasi bermaksud  membentuk barisan yang solid dan mempertahankan sumber talenta dalam internal perusahaan. Kita pun perlu memperhitungkan bahwa tidak semua bentuk kontribusi adalah hasil karya yang bisa terlihat kasat mata dan mudah dihitung. Kontribusi seperti kemampuan berkomunikasi – terutama di dalam kelompok kerja –, kemampuan networking,  kemampuan untuk peduli dan berpikir kritis, serta ketahanan untuk memikirkan pekerjaan secara berkesinambungan dan bahkan memikirkan masa depan bisnis ini  hanya bisa didapatkan dari karyawan yang memang berada di dalam perusahaan dan peduli terhadap perusahaan.  Jadi, formula untuk menjaga aset manusia dalam organisasi,  tetap dibutuhkan  , yaitu memiliki barisan pekerja keras yang juga mau, rela berkontribusi, dan mempunyai kecintaan pada organisasi. 

Kontributor dan nonkontributor

Sebagai atasan atau pengelola organisasi, kita benar-benar harus mempertajam penglihatan kita untuk membedakan individu yang berkontribusi dan yang tidak. Tidak berkontribusi bisa terjadi karena  ketidakmampuan. Bisa saja  seseorang itu tidak memiliki beberapa dimensi kompetensi saja atau bahkan seluruhnya. Bisa juga seorang yang ahli berhitung, menganalisis, dan membuat laporan, tiba-tiba terlihat tidak memahami big picture bisnis perusahaan.  Atau yang memahami big picture, pandai menganalisis, dan menguasai permasalahan seperti terlihat dalam diskusi rapat,  namun tidak mempunyai greget untuk menggerakkan tim dan sekelilingnya. Ada juga kontributor yang bukan main kinerjanya, namun beberapa waktu kemudian terlihat loyo’dan tidak berkontribusi lagi. Gejala tidak berkontribusinya individu atau tim bisa terlihat dari absenteeism, ketidaksiapan dalam menjawab, tidak hafal data apapun dibenaknya,  penyebaran gosip, keengganan menerima anggota baru, atau juga ekspresi yang jelas tidak mau bekerja sama.

Sementara  itu, para kontributor di perusahaan adalah orang-orang yang memang sudah masuk dalam lingkaran kesuksesan. Sudah sukses, kemudian berkembang, lalu bertambah sukses, dan berkembang lagi . Hal ini juga berdampak pada citizenship behavior- nya, kemampuannya melihat masa depan organisasi, dan pengembangan dirinya. Tentu secara ideal kita menginginkan para kontributor seperti ini, terutama bila kita ingin membentuk tim baru, seperti presiden terpilih kita. Pengumpulan para kontributor menjadi satu tim bukanlah suatu hal yang mudah, karena adanya pertimbangan chemistry, latar belakang, dan emosi di baliknya. Bukankah semua ini perlu penanganan serius? Apakah kita cukup mengandalkan pemimpin yang memang sudah performance minded ataukah kita memang perlu berpikir lebih jauh, yaitu mengupayakan kultur kinerja yang segar dan progresif?  

Kultur kontribusi

Rasanya ungkapan almarhum John F. Kennedy “Don’t ask what your country can do for you. Ask instead what you can do for your country” – sangat cocok untuk masalah kontribusi. Sekecil apa pun upaya kita, bila kita ingat akan kontribusi pada pengembangan negara, organisasi, atau perusahaan, maka gerak, pikiran, dan emosi kita akan mendorong kinerja diri untuk menyajikan yang terbaik. Dalam sebuah organisasi yang sudah penuh passion dan berisi mayoritas kontributor tetap ada masalah lain, yaitu kelelahan atau frustrasi.  Upaya all out dan mati- matian yang dikeluarkan setiap individu bisa tidak berimbang  dan suatu  saat akan menimbulkan ‘burn out’ . Inilah yang perlu dipertimbangkan para pengelola organisasi, di sektor pemerintah atau swasta. Saat sekarang  bukan saja kita perlu memikirkan bagaimana individu berkinerja saja, namun juga  memelihara agar lahan tempat bekerja cukup kondusif. 

Beberapa hal yang perlu kita pertanyakan adalah, apakah kita menyiapkan kebebasan pengambilan keputusan, sehingga setiap gerak tidak terhambat birokrasi yang bersusun susun? Atau apakah kita memelihara sense para anggota tim , bahwa dinamika mereka sangat dibutuhkan, bukan tenaganya saja? Demikian pula passion juga perlu terpelihara  agar terhindar dari frustrasi menghadapi pelanggan, kompetitor, atau bahkan lawan politik. Hal yang juga perlu dijaga adalah tidak membiarkan status puas diri dan statis di setiap pos, sehingga drive individu untuk bergerak  dirasakan oleh dirinya.  Untuk situasi ketika perubahan harus terjadi dan tak bisa ditunggu-tunggu, kita memang perlu menyiapkan perencanaan yang matang. Suasana tim harus terpelihara, karena kita tidak bisa lagi memikirkan bagaimana membuat tim yang mantap dan ajeg, melainkan berorientasi pada tim yang dinamis. Tim dinamis adalah tim yang tidak ada lelahnya, tetap berjuang keras, sembari merangsang  aspek rasional, sehingga tercipta suasana belajar yang kencang. Individu yang mempunyai kesempatan mengasah kemampuannya biasanya mempunyai keyakinan kuat terhadap perkembangan masa depan. Spirit inilah yang dibutuhkan anggota tim. Pimpinan perlu mengupayakan keterbukaan dengan angka yang jelas. Individu sekarang sangat membutuhkan konteks berpikir yang gamblang, sehingga tahu apa yang dikejar dan mengapa harus bekerja keras. Individu, bahkan lapisan akar rumput pun, bisa diajak berhitung apa logikanya lembur dikurangi atau apa sebabnya kita harus mengencangkan ikat pinggang, mengurangi ‘cost’.  

Dan, justru  ini saatnya, kita juga perlu belajar hidup dengan umpan balik. Semua pendapat orang luar, pelanggan, teman kerja, anak buah, bahkan kompetitor adalah masukan dan bahan pelajaran . Kita perlu selalu ‘mengulik’ dan bereksperimen dengan kinerja kita yang semakin ‘mahal’ , namun tetap harus meningkatkan kualitas. Bukankah situasi ini yang dihadapi presiden terpilh kita dalam membentuk timnya? Mencari orang yang profesional, tak ada matinya, tidak membawa kepentingan pribadi atau kelompoknya, berani belajar, sehingga akhirnya bisa berteriak : “We made it.” 

Dimuat di KOMPAS, 30 Agustus 2014

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com