was successfully added to your cart.

MERDEKA ATAU MATI

MERDEKA ATAU MATI

Ungkapan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa….. “, yang ditulis pada tahun 1945, memberi imajinasi  yang jelas ketika kita saling menyapa dengan kata “Merdeka !”. Tak ada lagi penjajah;  kita bisa bersekolah, berpendapat, bekerja,  dan menuntut hak kita sebagai warga negara.  Kita pun sudah menikmati buah dari hasil pendidikan kita:  banyaknya sarjana yang ditelurkan, banyaknya lembaga baru yang tumbuh, baik untuk kepentingan pengembangan , maupun untuk kepentingan kontrol seperti KPK.  Diskriminasi jenis kelamin sudah lama ditinggalkan. Lebih mutakhir lagi, kebebasan mengakses informasi yang sudah merupakan gejala global juga kita nikmati. Kita tidak menderita seperti negara lain, yang dikekang aksesnya kepada  situs-situs gaul. Kebebasan ditandai oleh kebebasan berpendapat dan kebebasan pers yang tidak terbendung.  Tetapi apa benar kita sudah benar – benar merasa bebas merdeka? Ketidakbebasan kita mungkin sudah tidak sama bentuknya seperti belenggu penjajahan 350 tahun yang lalu. Saat sekarang kita bisa merasa tidak bebas jika kita ‘tidak bisa’. Contohnya, ketika berada di tengah kerumunan orang asing yang berkomunikasi dengan bahasa lain  atau dengan istilah dan jargon yang tidak kita kenal. Ketika kita dikelilingi oleh orang berprinsip beda. Kita juga merasa terbelenggu, ketika menyaksikan korupsi bermilyar milyar rupiah , tanpa bisa berpartisipasi menguakkan kebenarannya.  Banyak rasa ketidakbebasan yang kita rasakan dalam situasi ketika kita menghirup udara merdeka ini, hingga banyak orang sampai mengungkapkan  pernyataan seperti “Merdekakan diri dari kebodohan” atau “Merdekakan diri dari keserakahan”,  saat merayakan HUT kemerdekaan yang lalu- lalu. Tampaknya kita masih mempunyai catatan, atau pe-er walau kenyataannya sudah merdeka. Di sisi lain demonstrasi terjadi di sana-sini. Tuntutan akan upah yang lebih besar, diturunkannya pejabat tertentu,  diturunkannya harga, keinginan untuk menegakkan kebenaran yang lebih benar menurut versinya masing-masing yang terkadang bahkan diwarnai emosi yang kuat. Adanya pelanggaran – pelanggaran akan hak dan kemerdekaan berbicara, berekspresi, dan memilih  . Beberapa ahli menggambarkan kemerdekaan  yang bertanggung jawab, yaitu memiliki rasa merdeka dengan ‘balanced judgement’,  untuk kemudian menentukan pilihan secara bertanggung jawab. Bertanggung jawab di sini adalah berpikir dalam lingkup yang lebih luas, terutama secara sosial dan ekonomi. Mungkinkah kita menghayati kemerdekaan sendirian? Mungkinkah kita tidak memperhitungkan orang lain, dan berusaha bersikap ‘fair’ kepada lingkungan kita? Mungkinkah kita merasa merdeka, kalau kita tercekik utang yang kita buat sendiri  tanpa perhitungan yang matang?  Mungkinkah kita memperjuangkan kemerdekaan kita dengan berkata kasar,  melanggar tata krama, tata susila, dan etika,  dengan hanya memperdulikan haknya sendiri ? Dari dunia peradilan,  kita bisa merasakan alangkah sulitnya untuk menegakkan kebenaran di zaman merdeka ini. Bahkan ada kesan bahwa hukum bisa ‘menurut’ dengan suara terbanyak. Janji partai politik dan pejabat, sering seolah mudah berbalik tanpa prinsip. Bahkan korupsi dianggap sebagai fenomena yang global dan hampir lumrah. Selagi kita menghargai kemerdekaan, kita juga sekarang banyak berobsesi melihat kesalahan orang lain dan mempunyai refleks defensif yang semakin kuat. Kita terlalu senang menilai namun tidak ‘kuat’ dinilai orang lain.  Bukankah ini saat yang tepat untuk merefleksikan hakikat kemerdekaan yang dipaketkan dengan aneka atribut positifnya. yang mestinya dinikmati semua orang? Sudahkah kita menyadari bahwa dengan kemerdekaan kita mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab untuk membuat pilihan yang baik dan bertanggung jawab atas pilihan tersebut? Kalau kita malah ketakutan dipersalahkan, bersemangat membela diri, dan merasa cemas dengan alasan kurang merdekanya kita, bukankah kita memang mengungkung diri kita sendiri dari semangat dan risiko belajar dan berkembang? 

Merdeka untuk tumbuh , bukan untuk merasa benar

Kemerdekaan dan rasa merdeka ini bukan persoalan negara kita saja. Presiden Obama dalam salah satu pidatonya tentang upaya mengatasi krisis ekonomi mengungkapkan :” Look, we tried leaving you free to live your own life, and that didn’t work......” dan di kesempatan lain :” Freedom is accepting our consequences...”  . Orang yang merdeka dengan sendirinya akan mengalami paradoks kebebasan, yaitu tidak bisa bebas dari konsekuensinya. 

Suatu organisasi dengan sistem yang mantap menyebabkan pekerjanya tinggal menjalankan tugas-tugas yang sudah distandarkan. Atau organisasi yang bahkan sudah dibimbing cara pengambilan keputusannya dengan cermat, sehingga bisa dikatakan bahwa manajer tidak usah sulit-sulit memikirkan jalan keluar.  Di satu pihak situasi  ini pasti ‘aman’ dan teratur, namun ditinjau dari inovasi dan kreativitas, bila tidak berhati-hati , kita akan terbelenggu dengan kemalasan berpikir kita sendiri. Paradoks kemerdekaan adalah  kekuatan untuk mengantisipasi  konsekuensi dari kebebasan memilih yang kita miliki. Dengan mudah kita bisa berutang di bank, namun mampukah kita membayar kembali utang beserta bunganya? Bukankah  fenomena kebebasan berkonsumsi  ini sumber kejatuhan ekonomi global? Tiap individu dewasa sebenarnya sudah belajar untuk menelan setiap konsekuensi dari pilihannya. Begitu ia siap dengan segala konsekuensi, ia pun siap menghadapi kritik, belajar dari kegagalan, menyiapkan energi untuk menghadapi perubahan, atau bahkan mengencangkan ikat pinggang. Jelas kita sadari bahwa dengan merdeka, kita perlu berkonsentrasi pada pertumbuhan dan bukan sekedar membela diri untuk tidak dipersalahkan. “Powerful vulnerability is the result of caring more about learning and growing than being right.. “ Tidak heran kalau Spiderman pun ikut berkomentar :’ “With great power there must also come great responsibility.” Kita memang tidak mungkin lagi tidak merdeka, karena kita harus berkembang, bersaing, menandingi negara lain dengan kecerdikan, kreativitas, dan kecermatan. Mungkinkah kita hidup tanpa berkembang? Merdeka, atau kita mati tergilas!

Dimuat di KOMPAS, 23 Agustus 2014

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com