Di bidang olahraga dan politik, kita semakin sering mendengar kata “pemain” disebutkan di berbagai media. Di sepakbola kita mengetahui ada “pemain” bintang pendatang baru yang sedang bersinar, seperti Gareth Bale. Ada pula pemain lama yang masih terus disebut-sebut, seperti Iker Casillas, Sergio Ramos, Andreas Iniesta, namun diramalkan akan pudar “bintang”-nya. Di bidang politik, begitu banyak ramalan tentang pemain kabinet yang akan dipasang di pemerintahan mendatang, apakah masih akan didominasi wajah pemain lama atau akan muncul pemain-pemain baru. Sementara di dunia bisnis kita banyak berfokus pada penguatan kepemimpinan dan peran krusial CEO, kita akan melihat bahwa di dunia olahraga, tidak ada seorang manajer tim sepak bola, basket, atau cabang olahraga lainnya, yang kehilangan fokus terhadap pemain secara individual dan kinerja tim sekaligus.
Berbicara tentang para pemain, professional dan pemimpin yang menargetkan kinerja prima di dunia kerja, mungkin kita memang harus belajar dari dunia olah raga. Seorang pemimpin bisa saja tampil cemerlang, berkonsep kuat, mempunyai perhitungan yang matang, bertangan besi. Namun, bila ia tidak mempunyai cukup banyak pemain yang mendukungnya, bisa kita bayangkan betapa kacau implementasi dari visi, misi dan tujuannya. Saat proses seleksi, kita tentu saja berharap bisa menemukan pemain bintang bertalenta yang jago dalam hal teknis, sekaligus kolaboratif, pekerja keras, tahan banting dan tajam memberi ide-ide perbaikan. Namun realitanya, tidak ada individu yang kuat di segala hal. Bahkan, dalam satu tim, kita akan melihat bahwa pemain bertalenta ”A”, tidak banyak. Lebih sering terjadi kita merasakan kurangnya ‘pemain’, atau bahkan tidak mempunyai bayangan siapa yang bisa mengisi posisi tertentu. Di tambah lagi, tidak gampang “mengatur” pemain-pemain dengan karakteristik yang berbeda-beda dalam tim. Ada individu yang berbakat dan berkinerja, namun pemikirannya tidak sejalan. Ada individu yang pemikirannya sejalan dengan pemimpin, namun tidak bisa berkolaborasi dengan tim. Ada yang tidak agresif, tetapi ada juga yang terlalu agresif. Pribadi-pribadi yang bervariasi latarbelakang, keahlian, ketrampilan, sikap, inilah yang harus dipadukan untuk menciptakan kinerja yang ‘lebih’ dari sekedar penjumlahan total kinerja individual setiap orang. Bagaimana seorang pemimpin memahami kekuatan para pemain dan membentuk konstelasi tim yang akan menjadi penentu keberhasilan tim
Kita masih kerap melihat melihat betapa pemilihan manusia dikaitkan dari mana ia berasal, universitasnya , daerah asalnya, atau lebih ekstrim lagi, partainya, dan bukan kinerjanya. Bila pada suatu waktu, di dalam tim kita melihat adanya permasalahan dan kinerja yang tidak berjalan sempurna, biasanya kita pun cenderung panik dan mengeluh, tidak mampu menguasai perbaikannya. Inilah beberapa gejala di mana unsur manusia dalam kinerja tim, perusahaan atau pemerintahan di nomorduakan, bahkan diletakkan di urutan belakang. Kita sendiri pun perlu mengevaluasi: sejauh mana kita memprioritaskan penelaahan pemain dan pembentukan tim, ketika mendapat mandat untuk memimpin sebuah tim, departemen atau perusahaan?
Pemain: Aset atau Beban?
Kegagalan dari beberapa tim hebat sepakbola, mengingatkan betapa kita perlu kembali memfokuskan mindset pada sumbu yang benar. Kita tidak bisa menimbang anggota tim sebagai lawan atau kawan, tetapi justru perlu mengukur kemampuan kinerja dan kontribusinya dalam tim sebagai sumber daya. Apakah orang dengan ide dan pemikiran yang kerap berbeda, bisa kita ajak untuk menyambut tantangan? Apakah individu yang belum-belum sudah hitung-hitungan mengenai kontribusinya, perlu kita perhitungkan untuk jangka panjang? Apakah individu yang ekspertisnya sudah mulai usang dan tidak diperbaharui, masih akan kita pasang sebagai “pemain utama”. Bagaimana dengan individu yang pintar, namun kerap tidak akur dengan banyak orang? Kita sebagai pemimpin perlu mampu menimbang-nimbang, apakah hasil akhir yang dikontribusikan setiap pemain masih memberi nilai tambah pada lembaga atau tidak. Peran pemimpin adalah menyusun sinergi timnya dan memperhitungkan kinerja kolektif tim sebagai aset. Pemimpin perlu memikirkan penempatan dan mengkombinasikan tim yang tepat, agar dapat mengupayakan kinerja 1+1 tidak menjadi 2, melainkan bisa menjadi 3, 4 atau bahkan 10.
Pemimpin yang kuat memang penting, namun banyak tim membuktikan bahwa pemain-pemain yang kuat dan bekerja sama dengan efektif, tidak lagi bergantung pada pemimpin. Bukankah orkes, yang diikuti Yoyo-ma dan beberapa pemain musik hebat, bahkan hanya dipimpin oleh konduktor amatir? Di dunia balap kita juga mengenal kinerja tim yang super. Ada penelitian yang membuktikan bahwa ‘six-men crew’ yang hebat di Nascar circuit, bisa melakukan 73 manuver termasuk mengganti ban dalam waktu 12.12 detik. Begitu satu pengganti ban diganti dengan ‘pemain’ yang rata-rata, kcepatan turun menjadi 23.09 detik. Bila 2 pemain yang diganti, kecepatan kerjanya langsung merosot menjadi setengah menit. Masihkah kita menyepelekan peran dan sinergi dari para pemain?
Jangan Berhenti Beradaptasi
Permainan dan persaingan berubah. Masih mungkinkah kita tetap menggunakan patokan-patokan kinerja dan keahlian lama? Mungkinkah kita melanjutkan melihat manusia sebagai mesin produksi saja, tanpa memperhatikan spirit dan “happiness”-nya? Akankah kita terus memelihara sikap tidak proaktif menyusun barisan dan melanjutkan menggunakan paham seleksi “fit & proper” yang sudah kuno? Sir Alex Ferguson, saat menjadi manager Manchester United, mengatakan bahwa kita sebagai pemimpin, perlu mengasah kepandaian untuk mengobservasi. Kemampuan kita mendeteksi kekuatan individu dan kapasitasnya menyatukan dirinya di dalam tim akan merupakan kemenangan yang tidak terkira.
Kita bisa melihat betapa pengelolaan karyawan di jaman modern sekarang tidak hanya cukup dengan mengurusi kedisiplinan dan pengukuran kinerjanya, tapi juga perlu memastikan bahwa karyawan menjaga kebugaran fisik, mental dan kognitifnya. Banyak perusahaan mengupayakan kelas-kelas yoga dan olahraga lainnya untuk para karyawan, agar tetap sehat. Semakin banyak pula organisasi yang menyediakan sesi konseling dan coaching agar karyawan juga senantiasa menjaga spirit, motivasi dan “happiness”, agar bisa mengarahkan dirinya sendiri untuk berkontribusi. Perkembangan teknologi tentu juga memengaruhi cara kita menimbang talenta pemain kita. Bila kita menerima perubahan dan datangnya teknologi baru, itu berarti bahwa kita sudah berhasil beradaptasi dan lebih memiliki kekuatan untuk mengendalikan perubahan. “Dream Team” hanya bisa berkinerja bila bergerak dan berkembang sendiri, melalui rekayasa yang sinambung dan canggih.
Dimuat di KOMPAS, 21 Juni 2014