Ketika kita melihat orang atau pemimpin, mengambil keputusan atau tindakan yang kita nilai merugikan atau berdampak negatif pada orang lain, tak jarang kita berkomentar, “Apa yang ada dipikirannya? Kok bisa ia tidak pakai hati…”. Komentar seperti ini, mengingatkan kita bahwa keputusan dan tindakan kita senantiasa perlu mempertimbangkan perasaan. Kita tahu bahwa mengambil keputusan itu memang tidak mudah. Apalagi bila keputusan yang dibuat menyangkut situasi “kemanusiaan”. Pernahkah kita membayangkan beban seorang pimpinan yang harus memutuskan untuk memecat sebagian karyawan yang menghidupi keluarganya, demi mempertahankan jalannya perusahaan? Bisakah kita memahami sanksi pemecatan pada karyawan yang ceroboh dan tidak memperhatikan keselamatan orang lain, meskipun ia tidak sengaja? Bagaimana dengan penggusuran ‘wong cilik’ pedagang kakilima, yang sebetulnya tidak memiliki ijin untuk tinggal dan berjualan di tanah yang bukan miliknya? Simpati, empati, kemanusiaan, kebenaran, ego, atau ambisi, bisa tercampuraduk bagai benang kusut, sehingga kita sulit membuat penilaian dan menentukan tindakan yang tepat dan benar, apalagi keputusan yang tidak populer. Dalam situasi ini, kemanakah kita harus berpatokan?
Dalam pendidikan formal kita sudah diajarkan membedakan antara benar dan salah. Kita pun belajar untuk berempati dan memperhatikan hidup orang lain, yang tidak seberuntung kita. Tetapi, dilema yang kita hadapi seringkali membutuhkan penalaran yang lebih tinggi. Ada waktunya kita perlu mengkaji lagi visi dan tujuan organisasi, mengkaitkannya dengan motif diri sendiri, dan subyek yang sedang kita nilai. Di dalam diri kita, sebenarnya ada sebuah kompas, yang ditanamkan oleh Sang Khalik, untuk selalu membimbing kita dalam setiap persimpangan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Mata hati, itulah kompas yang akan membantu kita menemukan arah yang sejati dalam kehidupan. Seringkali, penyesalan yang muncul dalam hidup kita terjadi setelah kita mengabaikan petunjuk arah kompas ini. Kebenaran keputusan dan penentuan arah, hanya bisa kita dapat bila kita serius menganalisa keputusan dan hasilnya dalam-dalam. Bila kita telaah, kita akan melihat pengolahan akal-budi-nurani ini sebetulnya tidak memakan banyak waktu, uang, dan tenaga, dibandingkan waktu-uang dan tenaga yang kita keluarkan untuk memoles ‘tongkrongan’ dan tampilan luar kita agar bisa terlihat sempurna di mata orang lain. Padahal, Ryan Lilly, penulis buku dan pengusaha, mengingatkan: “The only personal branding consultant who can ever hope to have a clear understanding of you and your value can be found in the mirror.”
Mengasah kepekaan hati
Kita tahu betapa melibatkan emosi, dalam hampir semua hal, sangatlah positif. Orang-orang yang dikenal sukses, terbukti tidak hanya mengandalkan IQ, namun memiliki kemampuan mengukur dirinya dan memahami orang lain dengan lebih baik. Di sisi lain, kita juga perlu waspada agar tidak terjebak semata dengan “perasaan”, sehingga tidak obyektif. Mata hati kita ini tidak tumbuh dengan sendirinya. Mata hati seorang dewasa, berbeda dengan mata hati seorang remaja. Mata hati perlu diasah berdasar pengalaman sendiri, tetapi juga melalui observasi ke pengalaman orang lain. Seperti kata Sartre, “Man is nothing else but what he makes of himself.” Proses penemuan diri ini perlu dilakukan oleh kita semua, apalagi mereka yang menempati posisi sebagai pemimpin. Bagaimana mungkin seseorang mengambil tanggungjawab sebagai pemimpin yang punya peran menginspirasi orang lain, untuk menjadi the better version of themselves, bila ia sendiri tidak sadar akan siapa dia, apa nilai dan prinsip utama yang dipegangnya? Bagaimana bisa seseorang mengarahkan orang lain bila ia tidak tahu kekuatan utama karakternya yang mendasari penyelesaian beragam tantangan yang ada?
Dari Google, kita bisa membaca mengapa pemimpin seperti Basuki Tjahaja Purnama, bisa menentukan sikap, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit di parlemen dengan lugas. Kita akan menemukan bahwa orang-orang yang kuat memiliki prinsip seperti beliau ini, pastinya melakukan pengembangan mata hati terus menerus. Kita bisa membaca betapa pergulatan batin Pak A Hok, tidak terjadi sekali jalan. Ia pernah bergulat mengenai masalah keimanan, masalah keuangan, situasi dilematis pada jaman mahasiswa, masalah profesi ketika ia harus menjadi wirausaha meski tidak memiliki passion di jalur itu, dan juga ketika beliau memutuskan untuk menjadi pelayan masyarakat beserta semua konflik dan intriknya. Semakin banyak seseorang menghadapi dan menyelesaikan situasi dilematis dengan memuaskan, kemampuan penalarannya pun akan meningkat.
Kembangkan “Mindfulness”
Di sekolah bisnis, kita diajarkan untuk melakukan analisis menyeluruh berdasarkan data, juga menggunakan metode Porter Five Forces di dalam pengambilan keputusan bisnis. Namun, bila data dan angka menunjukkan arah yang satu sementara mata hati menunjuk pada arah yang berbeda, keputusan apa yang akan diambil? Disinilah , kita melihat bahwa jalan nalar orang yang bijaksana, selalu multidimensional.
Kita butuh pemimpin yang tidak hanya pintar menganalisis data, namun juga menggunakan ketajaman mata hati. Dia haruslah kuat mendengar tanpa telinga, melihat tanpa mata , dan dengan kepekaan hati menyelami perasaan maupun pemikiran orang lain. Pemimpin yang bersungguh-sungguh menajamkan mata hatinya, kita lihat secara sengaja memperkuat kegiatan observasi, menyelami hidup orang lain untuk mengaktifkan empati, juga membuka diri untuk menerima berbagai informasi dan menyerap secara mendalam, sehingga ia memiliki cukup bahan untuk refleksi. Sebaliknya, orang yang sudah merasa bijaksana, akan sulit mendapat tantangan untuk mengasah kepekaannya. Orang yang terlalu bersibuk diri menyelesaikan masalahnya tanpa wawasan ke dalam dirinya, akan kehabisan waktu mencari solusi, tetapi tidak sempat berkaca melihat dirinya, pekerjaannya, atau sasarannya. Orang yang terlalu merasa benar, pasti tidak merasa membutuhkan masukan dari orang lain. Orang yang idealis, tanpa melihat kenyataan di lapangan juga akan tersesat dalam labirin pikirannya sendiri. Ketajaman mata hati hanya bisa didapat, bila kegiatan menalar selalu aktif, mondar mandir, antara fakta dan kesimpulan, antara teori dan praktek, digabungkan dengan hasil berempati, simpati dan rasa akan tujuan yang lebih besar.
Dimuat di KOMPAS, 14 Juni 2014