Kita tahu bahwa kita akan segera berganti presiden. Di satu sisi, kita memang pasti mengharapkan perubahan, namun di sisi lain, tak pelak perubahan menghadirkan rasa galau dan gamang dalam diri kita. Meski kita hafal dengan ungkapan Winston Churchill “To improve is to change; to be perfect is to change often”, tetap saja perubahan, baik di luar maupun di dalam organisasi sering membuat kita kecut. Bisa saja kita secara rasional sudah siap, sudah berencana, bahkan berstrategi, namun kita sering tidak sanggup menenteramkan perasaan galau tadi. Ya, perubahan adalah masa di mana efektivitas kepemimpinan dan ketangguhan kita sebagai professional diuji.
Kegalauan kita menghadapi perubahan, bisa jadi karena tidak hanya perubahan akan memengaruhi kita sebagai individu namun jelas akan memengaruhi dinamika di dalam tim dan organisasi. Kita tentu tahu bahwa organisasi merupakan suatu ikatan atau entitas sosial dari individu-individu yang memiliki tujuan bersama. Namun, penamaan “organisasi”, apalagi bila sudah bertahun-tahun, seringkali menyebabkan kita lupa bahwa unsur terbesar organisasi adalah manusia. Apapun bentuk organisasinya, apakah itu keluarga, pemerintahan, partai politik, militer, sosial ataupun komersial, baik-buruknya kinerja organisasi, untung-ruginya organisasi, jelas akan ditentukan oleh kualitas manusianya. Maka, tepatlah yang dikatakan oleh Vincent Lombardi, “The achievements of an organization are the results of the combined effort of each individual.”. Jadi, sangat mengherankan bila kita melihat unsur manusia dan dinamikanya sering tidak diperhitungkan saat organisasi menghadapi perubahan. Padahal, untuk memastikan organisasi bisa berproduksi dan berkinerja efektif, kita perlu terus mengecek kondisi individunya: “Apakah individu di dalam organisasi happy dan memahami peran serta kontribusinya?”, “Apakah antar individu dan unit saling bersinergi dan tidak malah saling “berperang”?”, “Apakah individu saling melengkapi, saling menghargai, dan tidak malah mengklaim sebagai pihak yang paling penting?”. Dinamika ini jelas tidak boleh diabaikan.
Individu yang Bergerak
Belakangan ini kita melihat beberapa kejutan di dunia politik. Menteri yang biasanya patuh mendukung pimpinannya tiba-tiba meminta ijin untuk mendukung oposisi. Perhitungan kita bahwa ada tokoh partai yang akan mendukung pihak tertentu, ternyata meleset. Di sini kita melihat bahwa individu, yang merupakan unsur terpenting kelompok, bisa independen, tetapi bisa juga berkonformitas. Di dalam organisasi pun kita bisa melihat hal yang sama. Individu yang tampaknya nyaman, misalnya dibalik besarnya reputasi organisasi, sistem dan keteraturan, bisa saja tiba-tiba menggeliat dan ingin melepaskan diri. Sementara dinamika perubahan di luar organisasi terus terjadi, individu di dalam organisasi pun juga tidak tinggal diam. Kebutuhan, nilai-nilai dan harapannya pun bisa berubah-ubah. Meski kita menyadari bahwa keunikan dan keragaman individu memang bisa menjamin organisasi menjadi “kaya” dan lebih potensial untuk berkembang, namun, kita tahu bahwa bila keberagaman individu tidak terkelola, maka egoisme, patronisme, bisa membuat organisasi tidak terkontrol dan pada akhirnya tidak produktif.
Sir Alex Ferguson, manajer Manchester United yang paling sukses, menyakini bahwa kunci sukses keberhasilan adalah menerima perubahan, yaitu dengan terus-menerus bekerja keras untuk menemukan segala macam cara perbaikan. Kehilangan pemain kunci, tidak disikapi dengan frustasi dan kepanikan, namun justru dilihat oleh Ferguson sebagai momen yang tepat untuk mengubah konstelasi timnya. Jadi, perubahan justru senantiasa diperlukan agar individu di dalam organisasi tetap bergerak dan beradaptasi. Intinya, semua ketidaksempurnaan dalam organisasi, terutama karena individu yang ‘bergerak’ adalah potensi perbaikan, menuju keadaan yang lebih baik lagi. Seorang ahli mengatakan:”The bottom line is, change isn’t going anywhere—so you’ll need to learn how to overcome your fear of it”.
Kepemimpinan yang Menyatukan
Pemimpin memang memiliki tantangan besar untuk menggerakkan individu-individu yang berbeda dalam organisasi untuk mencapai visi dan misi, ditengah begitu hebatnya dinamika perubahan. Agar bisa menggerakan individu untuk adaptif dengan lingkungan, saling melengkapi serta siap berkolaborasi dengan individu lain, tidak bisa tidak, diperlukan kepemimpinan yang mampu membawa aura positif bagi semua invidu di dalam organisasi. Ibu Tri Rismaharini, walikota Surabaya, memulai dengan prinsip bahwa tidak ada manusia yang sulit yang ia kelola. Dengan bersikap demikian, beliau otomatis sudah berada dititik awal proses ‘building trust’ atau membangun kepercayaan yang sangat krusial bagi pengembangan tim. Bila sebagai pemimpin kita bisa menerapkan sikap positif ini, tentu saja kita akan bisa mendapatkan lebih banyak kontribusi, daripada bila kita memiliki sikap awal yang berbeda.
Perubahan jelas juga akan menimbulkan konflik. Sayangnya, tidak banyak pemimpin yang menyadari bahwa konflik-konflik kecil dalam organisasi, bila terkelola dengan baik sebetulnya bisa berguna, karena akan memicu rasa ingin tahu, rasa berkembang dan rasa ingin menjadi lebih baik. Di sisi lain, kita harus sadar benar betapa konflik-konflik kecil ini bagaikan api, bilamana tidak terkelola bisa sangat berbahaya, karena menimbulkan rasa frustrasi dan hilangnya rasa percaya. Bila kita ingin mengasah kepemimpinan, dari waktu ke waktu kita memang perlu mengevaluasi: “Apakah komunikasi menjadi prioritas utama saat terjadi konflik?”, “Apakah sebagai pemimpin, situasi yang sulit dibicarakan, didiskusikan dengan anggota tim atau dihindari?”, “Apakah kesalahan atau “brutal facts”, bisa kita sikapi secara objektif?” Dengan prinsip ‘action speaks louder than words’, jalan terbaik seorang pemimpin untuk mengelola dinamika dalam tim adalah turun ke lapangan, turun tangan, mengintensifkan tatap muka dan memberi contoh bagaimana bertindak yang benar. Disinilah pentingnya kepemimpinan yang mengarahkan perilaku individu-individu, dengan beragam karakteristik dan motivasi . Perlu sekali ia meneriakkan kesiap siagaan untuk terbuka dan mau menerima perubahan, berkolaborasi, dan menyadari bahwa pencapaian tujuan bersama organisasi adalah syarat yang perlu untuk melengkapi tujuan hidup masing-masing individu.
Dimuat di KOMPAS, 7 Juni 2014