was successfully added to your cart.

KERENDAHAN HATI

KERENDAHAN HATI

Siapa jagoan Anda dalam pemilihan presiden  di bulan Juli mendatang? Kita bisa melihat di berbagai media maupun social media, betapa orang sibuk mengungkapkan kelebihan jagoan mereka dibandingkan dengan tokoh oposisi.  Semua mengagungkan kehebatan dari calon pilihannya, dan meyakini bahwa  ia adalah super hero yang akan menyelamatkan dan membawa bangsa ini ke masa depan yang lebih baik. Kita sesungguhnya tahu bahwa setiap calon presiden atau wakil presiden, adalah manusia biasa yang bisa salah, bisa gagal, bisa juga tak berdaya. Namun, di masa kampanye seperti sekarang ini, kita akan melihat betapa kesalahan yang ada, kegagalan yang pernah terjadi bahkan sengaja ditutup-tutupi, tidak dibahas sebagai bahan pelajaran yang berguna bagi masa depan agar keputusan yang diambil lebih baik lagi. Bisa jadi hal ini dipengaruhi juga oleh pemahaman kita mengenai sosok seorang pemimpin yang semenjak kecil diajarkan pada kita, baik melalui kisah sejarah maupun dongeng-dongeng sebelum tidur.  Pahlawan yang mengalahkan tokoh – tokoh jahat digambarkan memiliki kesaktian hebat yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Kelemahan, kesalahan seolah menjadi hal yang tidak wajar dimiliki oleh seorang pemimpin. 

Kita memang bisa melihat betapa berbagai pelatihan mengenai kepemimpinan yang populer akan mengusung topik-topik seperti bagaimana membuat visi, menganalisa masalah, mengambil keputusan yang efektif, tampil memukau di depan umum, mendorong inovasi serta membuat perencanaan dan membuat eksekusi dalam mencapai sasaran. Topik – topik yang didiskusikan,  menempatkan pemimpin sebagai tokoh sentral yang perlu memiliki serangkaian ketrampilan hebat, kalau perlu luar biasa, sehingga ia pantas disebut sebagai pemimpin. Tidak jarang konsep ini memberikan beban yang berlebihan kepada individu. Misalnya saja, ada pemimpin yang dengan keras menolak hasil asesmen, hasil audit, atau mempertanyakan hasil umpan balik 360 derajat, bila hasilnya mengungkapkan apa yang menjadi kelemahannya.  Ada lagi ,  pemimpin yang  sudah menutup diri bahwa tidak ada lagi hal baru yang perlu dipelajarinya atau diperbaiki. Dalam situasi ini,  tidak hanya dirinya saja yang berhenti tumbuh, karena tim dan organisasi juga akan berhenti berkembang. 

Riset membuktikan, termasuk yang dilakukan Jim Collins, penulis buku terkenal Good to Great,  bahwa pemimpin yang sejati adalah mereka yang menyadari batas-batas kelemahan dirinya dan berani mengakuinya kepada orang lain. Bukankah hal ini  mengingatkan kita pada ilmu padi: semakin berisi semakin merunduk? Semakin meningkatnya ketrampilan pemimpin yang efektif, semakin ia sadar bahwa ilmu itu tiada batasnya. Lazlo Bock, SVP Google dalam bidang People Operations, bahkan selalu mencari karakter kerendahan hati dalam diri para rekrutan barunya. Ia menjelaskan bahwa pada akhirnya brainstorming, kerjasama sangat penting dalam memecahkan permasalahan. Kontribusi setiap orang dihargai untuk membuat suatu ide menjadi lebih baik lagi. Bock memberikan istilah intellectual humility, di mana tanpa kerendahan hati, individu tidak akan dapat belajar, tidak dapat mengembangkan diri menjadi lebih baik. 

Rendah Hati vs Rendah Diri

Kerendahan hati seringkali dipersepsikan sebagai bentuk rendah diri. Padahal, kedua hal ini jelas sangat berbeda. Saat seorang atasan meminta umpan balik dari anak buahnya mengenai bagaimana performanya saat ia tampil sebagai pembicara, tidak berarti bahwa beliau rendah diri atau  menyangsikan kemampuannya, bukan? Meminta umpan balik bisa kita lihat sebagai bentuk kerendahan hati, mengingat dibutuhkan keberanian untuk melihat diri kita secara objektif, agar kita bisa memberi penilaian pada diri sendiri secara seimbang, mengenai apa yang sudah baik dan apa yang masih bisa diperbaiki lagi. Bagi kita yang memang dibesarkan dalam kultur di mana memberikan penilaian positif pada diri sendiri bisa dianggap tidak obyektif , situasi ini adalah cikal bakal tidak adanya kemampuan untuk ‘self reflection’ individu. Individu, apalagi seorang pemimpin, harus mampu melihat diri sendiri secara seimbang dan gamblang, jujur, dan ‘fair’ terhadap dirinya sendiri.  

Kita pun perlu ingat bahwa terlalu berfokus pada hal-hal baik pada diri sendiri memang bisa membawa pada kesombongan. Namun sebaliknya, terlalu berfokus pada kelemahan diri juga berefek negatif, karena dapat menimbulkan rasa rendah diri, ketidakpercayaandiri yang kronis. Terkadang kita melihat, ada orang yang menunjukkan kinerja hebat, namun begitu sulit menerima pujian dari orang lain, karena apapun sisi positif yang dikemukakan pada dirinya selalu disangkal dengan beragam alasan. Ini jelas juga bukan hal yang sehat. Untuk bisa mengembangkan diri secara pas dan seimbang, kita perlu meyakini bahwa kita sama seperti orang lain, memiliki kelebihan. Dan, sebaliknya, kelemahan kita pun, tidaklah juga jauh lebih banyak dari orang lain. Baik kesombongan maupun rasa rendah diri, sebetulnya menunjukkan obsesi yang berlebihan pada diri sendiri, meskipun yang satu mengarah “ke atas”, sementara yang lainnya mengarah “ke bawah”. Pakar manajemen Ken Blanchard, mengungkapkan: “People with humility do not think less of themselves; they just think about themselves less.”

Membangun ‘kerendahan hati”

Pernah seorang teman bercerita, ketika ia melakukan coaching pada anak buahnya dengan menjabarkan beragam kekurangan anak buah yang harus diperbaiki, anak buahnya berkomentar:” kayak Bapak nggak gitu aja.... “ . Komentar seperti ini bisa jadi memang menampar kita, sekaligus membuat kita bertanya-tanya, apakah sebagai pemimpin kita tidak boleh menunjukkan kelemahan kita, kekurangan kita, kesalahan kita di depan anak buah? Seorang pemimpin malah perlu mengingat bahwa berbagi cerita mengenai saat – saat kelam, bagaimana perjuangannya untuk bangkit kembali akan membuat anak buah merasa memiliki harapan bahwa dengan kerja keras dan pergulatan panjang, keberhasilan niscaya akan diraih. Anak buah akan bisa melihat bahwa pemimpin juga manusia yang memiliki kelemahan. Menyampaikan proses pengembangan diri kita, jatuh-bangunnya kita,  tidak seketika akan membuat anak buah tidak lagi mempercayai pemimpinnya, bahkan sebaliknya malah memberi inspirasi yang lebih besar. Disini pemimpin berkesempatan  mencontohkan  ‘resilience’ atau bagaimana ia ‘bounce back’ dari keterpurukan. 

Pemimpin juga tidak perlu selalu memiliki jawaban atas segala yang terjadi. Ide berharga bisa datang dari mana saja. Yoris Sebastian pernah bercerita bahwa di Hard Rock, bahkan ide dari seorang office boy pun pernah mereka gunakan untuk mengangkat penjualan  perusahaan ketika perusahaan dalam keadaan krisis. Itu sebabnya kita tidak perlu takut untuk membicarakan kegagalan, kelemahan maupun blind spots kita serta bagaimana hal-hal tersebut menjadi cambuk bagi kita untuk belajar lagi dan meningkatkan kemampuan diri mencapai kesuksesan. Hal ini akan membuat kita menjadi pemimpin yang lebih efektif, yang tetap menonjol namun sekaligus juga merunduk. 

Dimuat di KOMPAS, 28 Mei 2014

 

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com