was successfully added to your cart.

MENGAMBIL SIKAP

Kita semua rasanya masih terhenyak, dengan berita kasus kekerasan seksual yang mencuat 2 minggu ini, di sebuah sekolah yang dikenal sangat ketat pengawasannya. Reaksi media, masyarakat dan media sosial yang bermuatan emosi, terasa simpang siur dan kerap membuat kita semakin bingung. Pihak otoritas dan pakar pun terasa lebih bernuansa adu retorika, sehingga kita seolah menonton film horor yang tidak berujung. Kita jadi bertanya-tanya, apa yang terjadi pada ‘awareness’, kewaspadaan, sumpah profesi dari para pendidik, penguasa, “pengusaha” pendidikan, yang sehari-hari menangani dan mendidik anak? Mengapa pemberitahuan ke orang tua murid terlambat, seolah hal ini tidak urgen? Mengapa yang ditekankan oleh para pembuat aturan justru hal-hal yang tidak berkenaan dengan bahaya dan penderitaan anak? Mengapa tiba-tiba kita melihat bahwa kepedulian menjadi tumpul, justru di lembaga di mana anak tumbuh dan belajar membedakan baik dan buruk? Lalu, apakah kita tidak bisa bersikap tegas, menyatakan niat memerangi kejahatan ini, sampai titik darah penghabisan? Ke mana hati nurani yang mendasari kebijakan keputusan kita sebagai profesional? 

Albert Einstein mengatakan, “The world is a dangerous place to live, not because of the people who are evil, but because of the people who don't do anything about it.” Jadi, mengambangkan masalah, membiarkan sebuah masalah berkepanjangan, berlarut-larut apalagi mendiamkan, adalah suatu kesalahan profesi yang sangat besar. Ketika kita merasa geram, melihat orang tidak bertindak saat menemui pelanggaran hak maupun etika, ada baiknya kita juga melakukan refleksi pada diri kita sendiri. Apakah kita melakukan intervensi ketika melihat senior yang melakukan perploncoan di luar batas kepada para juniornya? Apakah kita diam saja saat melihat ada rekan kerja yang mencuri ide rekan lainnya, dan sang korban tidak kuasa menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya? Bagaimana sikap kita bila melihat ada informasi yang tidak dikelola secara transparan? Apakah kita menutup mata saat mengetahui ada informasi diputarbalikkan atau bila ada pihak yang tidak bersalah namun dijadikan kambing hitam karena kegagalan yang dilakukan oleh pihak lain? Sebagai professional di dunia kerja, dari waktu ke waktu, kita tentu dihadapkan pada ujian untuk menegakkan etika dan integritas juga. Kita jelas juga perlu melatih untuk “mengambil sikap”, bila kita memang ingin memperkuat profesionalisme, juga kepemimpinan kita.

Keberanian Angkat Bicara

Kita bisa tidak mengambil sikap karena berbagai alasan. Kita tahu begitu banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang tidak dilaporkan, karena pelakunya adalah orang yang disayangi atau orang yang ia kagumi. Orang kadang merasa lebih baik tutup mulut, daripada melaporkan sikap tidak etis yang dilakukan oleh guru atau sosok yang punya nama baik di lingkungan. Kita sendiri pun, mungkin bisa saja menyetujui perintah untuk menandatangani dokumen yang “salah”, karena khawatir kehilangan pekerjaan yang menghidupi keluarga kita. Bila pimpinan kita sendiri yang berbuat curang atau bersikap tidak adil, kita kerap enggan bersuara karena takut dianggap berkhianat. Tidak jarang, alasan untuk tidak melapor, tidak bersuara, tidak mengambil sikap adalah karena kita tidak mau terlibat terlalu jauh di dalamnya. Ini semua bukti betapa mengungkapkan kebenaran itu tidak selamanya mudah. Ungkapan ‘don’t kill the messenger’ membuktikan betapa sering orang yang mengungkapkan kebenaran justru dipersalahkan. Bisa kita bayangkan, betapa besarnya konflik yang dialami para ‘whistleblowers’, seperti kasus Enron lalu, ketika mereka kemudian mengungkapkan fakta dan kebenaran ke muka publik. 

Masyarakat sesungguhnya sangat menghargai saat seorang professional, pemimpin, pemegang otoritas tidak menyalahkan pihak lain, tidak diam saja, dan justeru  secara terbuka menyatakan, “saya salah”, “saya minta maaf” atau “saya bertanggung jawab”. Kita bisa melihat ada tokoh seperti Perdana Menteri Korea Selatan, yang mengundurkan diri karena kesalahan kapten kapal Sewul. Masyarakat, tidak malah kemudian mencela tokoh ini,bukan? Masyarakat malah kemudian menilai bahwa perdana menteri ini berpihak pada kebenaran. Kita, sebagai penonton, pastilah bernafas lega bisa menyaksikan ketegasan, kejantanan sikap dan pembedaan benar- salah yang tegas. Kita bisa melihat bahwa dibutuhkan keberanian besar untuk bersikap, dan inilah yang sebetulnya akan menegaskan profesionalisme kita.

Dilema Profesionalisme

Kita tahu tidak semua situasi bisa dituangkan secara “hitam-putih”. Kita bisa mem-PHK karyawan yang mencuri barang, namun bagaimana dengan karyawan yang mencuri ide? Bila kesalahan dilakukan oleh pihak yang punya “power”, apakah kebenaran akan diungkapkan? Dalam situasi di mana kebingungan terjadi, bisa kita bayangkan sorot mata orang di sekitar kita yang menunggu sikap pemimpin atau profesional mengenai situasinya. Bila situasi terlalu kompleks, tidak ada rumusnya, tidak bisa diselesaikan dengan panduan SOP (Standard of Procedures), sebetulnya masih ada kode etik yang kita bacakan saat wisuda atau dilantik dulu. Kalau kode etik tidak menggariskan apa-apa, masih ada hati nurani yang bisa membimbing pilihan kita. 

Dalam film Cinderella Man, yang diangkat dari kisah nyata kehidupan juara dunia tinju kelas berat James Braddock, terdapat sebuah adegan yang sungguh mengharukan, yaitu saat seorang anaknya mencuri daging untuk keluarganya yang kelaparan. Pemilik toko sebetulnya tidak menyadari dagingnya dicuri. Apa yang dilakukan Braddock sebagai ayah? Ia membawa anaknya untuk mengembalikan daging tersebut, meminta anaknya mengakui kesalahannya, namun tidak menghukum si anak dan tetap menunjukkan rasa cintanya yang besar pada anaknya. Dengan tegas ia berkata, “Sesulit apapun situasi kita, kita tidak mencuri.”. Standar yang jelas seperti inilah yang juga perlu dinyatakan oleh para pemimpin dalam organisasi, untuk memandu sikap dari anggota timnya. 

Kita akan melihat betapa tingkat professionalitas dan kehebatan seseorang sebagai pemimpin justru dinilai dari keberaniannya mengambil sikap dalam situasi dilematis. Mengapa? Karena dalam dilemma  inilah individu menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan pertimbangan-pertimbangan moralnya dalam mencari data dan membuat keputusan. Harga profesional dan kepemimpinan kita justru terletak pada seberapa kuat kita membuat pilihan-pilihan berat dengan penuh kesadaran akan konsekuensinya. Kita perlu menunjukkan prinsip kita, dan tahu yang mana yang berarti untuk diperjuangkan. Memilih sikap untuk berpihak pada kebenaran, misalnya melaporkan anggota tim yang melakukan kesalahan, bukanlah bentuk pengingkaran pada cinta, malah sebaliknya meneguhkan cinta kita pada profesi, pada kebenaran. Kalimat bijak ini, ada baiknya selalu kita ingat: “Washing one’s hands of the conflict between the powerful and the powerless means to side with the powerful, not to be neutral” – Paulo Freire

Dimuat di KOMPAS, 3 Mei 2014

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com