was successfully added to your cart.

WAWASAN BISNIS

Saat sebuah perusahaan mengumumkan tidak adanya bonus tahunan, seorang kepala produksi menggerutu dan mengatakan bahwa perusahaan terlalu banyak mengeluarkan dana untuk pemasaran. “Iklan itu ‘kan mahal. Mengapa harus beriklan, padahal produk sudah laku?”. Di perusahaan lain, seorang direktur sales tidak memahami mengapa CEO-nya marah besar, karena direktur tersebut tidak terlalu memperhatikan ketertiban pembayaran dari pelanggan, yang menyebabkan tagihan sebanyak 3 milyar macet. “Mengapa ia semarah itu? Target penjualan saya 800 milyar setahun. Bukankah tagihan yang macet tidak sampai setengah persennya?” Ini hanyalah sebagian kecil dari komentar yang menunjukkan betapa seringkali karyawan, bahkan yang sudah duduk di level manajerial sekalipun, tidak terbiasa melihat kelanggengan bisnis secara jangka panjang.

Mari kita sekali waktu merefleksikan juga pada diri kita sendiri, sejauh mana kepekaan dan ketajaman business acumen kita. Apakah kita memahami, bahwa tidak macetnya pembayaran pelanggan pada perusahaan bukan memotong angka target penjualan, tapi justru memotong pendapatan perusahaan, alias laba? Apakah kita pun memahami bahwa upaya marketing, penghematan, investasi produk baru, merupakan strategi yang perlu dilakukan oleh perusahaan untuk memastikan pertumbuhan perusahaan jangka panjang? Apakah kita karyawan, professional, bahkan pegawai negeri ataupun pekerja di lembaga LSM sekalipun, kita jelas perlu memahami bagaimana perusahaan, lembaga, bahkan negara, bisa tumbuh dan menjadi semakin makmur dan berkembang. 

Bisnis sekarang tidak lagi linier seperti jaman orang tua kita. Penyerangan pasar datang dari segala penjuru, inovasi pihak lain yang tidak disangka-sangka, sehingga kewaspadaan yang perlu kita bangun adalah kewaspadaan 360 derajat. Inilah yang membuat kita harus semakin yakin bahwa perkembangan bisnis bukan lagi sekedar tanggung jawab owner, CEO atau direksi saja, tapi tanggung jawab semua orang. Semua orang perlu memiliki pandangan yang sama akan logika dari jalannya bisnis, bahkan perlu menghayati logika “the money making” dari perusahaan. Jadi, segala macam upaya penghematan, penjualan, marketing, pengembangan produk, perlu mengacu pada perolehan laba perusahaan. Kreativitas dan pengetahuan pasar, bukan hanya perlu dimiliki bagian penjualan, tapi juga perlu dipahami oleh bagian produksi, R&D, pelayanan pelanggan, dan bagian keuangan. bisnis. Bahkan bila ada bagian yang tidak punya pemahaman yang sama, kita bisa beranggapan bahwa pihaknya adalah penghambat bisnis. Semua orang perlu mempunyai spirit dan mindset peka pasar, risiko bisnis, dan bersemangat ‘marketing’ dan berjualan, tanpa istirahat. Seperti yang dikatakan Ram Charan, ”Business acumen demands intense mental activity”. 

Memvisualisasikan ‘Big Picture” 

Teman saya yang sudah puluhan tahun berkutat di bagian keuangan, sangat hafal nama-nama pemasok maupun pelanggan. Ia kenal betul karakter setiap perusahaan mitra, mana yang sulit membayar dan mana yang pembayarannya lancar. Namun, bila kita membicarakan bisnisnya lebih jauh, misalnya pelanggan mana yang lebih prospek dan mana yang tidak, atau pemasok mana yang lebih bisa diajak ajak kerjasama atau tidak, ia mulai kehilangan jejak. Ini tidak mengherankan karena bila tidak ada upaya untuk mengimajinasikan apa yang terjadi di pasar, maka yang terlihat oleh individu adalah apa yang tertulis di kertas, dokumen yang sampai di hadapannya. Di jaman sekarang, kita semua harus mempunyai imajinasi mengenai kelancaran  alur kas. Kita tidak hanya bisa berkutat menyelesaikan apa yang menjadi tugas kita, namun perlu memahami mengapa orang perlu melakukan ‘networking’, mengapa iklan saja tidak cukup, mengapa harus mencari produk baru, bahkan juga kapan melakukan investasi, dan mengapa kita perlu melakukan upaya penghematan yang tepat.  

Business acumen adalah kemampuan untuk menilai situasi, baik yang kuantitatif maupun kualitatif, untuk mendorong pertumbuhan bisnis. Business acumen tidak sekedar mencapai sasaran penjualan atau pekerjaan yang menjadi KPI unitnya saat sekarang, namun lebih pada kemampuan membaca data, situasi, dan gejala-gejala yang akan terjadi di masa depan. Business acumen menguatkan insting kita untuk mengambil keputusan, dilandaskan pada hal-hal yang tidak bisa diprediksi dan tidak jelas. Anak-anak muda usia 20 tahun-an yang memang sejak lahir terbiasa dengan perubahan, ketidakjelasan, kita lihat terkadang malah bisa membuat program-program nyata yang dibutuhkan oleh pasar mendatang, tanpa ragu dan tanpa banyak pikir panjang. Business acumen seolah sudah ada di jiwa mereka. Kita yang sudah lebih matang di dunia kerja, namun terbiasa dididik dengan pemikiran yang tidak mengarah ke bisnis, perlu mawas diri dan mau tidak mau memang perlu mengembangkan pola pikir “big picture” untuk memastikan kita terus mengembangkan ketajaman dalam business acumen ini. 

Bertanam Bisnis Mindset

Dengan kecepatan perubahan dan banyaknya ketidakjelasan di masa kini, tidaklah mungkin kita masih mengkotakkan tugas memikirkan strategi pengembangan bisnis eksklusif hanya pada  “CEO suite”. Di perusahaan seperti BP-British Petroleum, yang menyadari perlu menyebarnya mindset bisnis ini, semua karyawan diharapkan berhubungan dengan pihak luar, bukan sebatas bertransaksi, tetapi juga bertukar pikiran, agar mampu mengembangkan ide-ide yang lebih luas daripada sekedar apa yang ditekuninya di meja kerja. Wawasan bisnis bisa didapat bila individu secara teratur belajar memahami cara pikir orang lain, sehingga kemudian terlatih untuk melihat peluang. Setiap individu di organisasi perlu berperan sebagai mata dan telinga para eksekutif. 

Selain itu, di banyak situasi di perusahaan, kita menemui individu akrab satu sama lain, tetapi  dalam diskusi sehari-hari tidak pernah menyinggung, apalagi berdebat masalah pekerjaan. Mereka bisa akrab secara personal, tetapi tidak memandang bisnis sebagai ‘game’ yang bisa dimainkan bersama. Padahal, bila kita benar-benar ingin memanfaatkan pikiran semua karyawan untuk ‘membela’ dan ‘memperjuangkan’ bisnis, karyawan perlu melakukan pembicaraan bisnis secara mendalam, mengulik, dan bahkan saling mengeksplorasi pikiran dan pengetahuan masing-masing. Dengan cara inilah bisa muncul ide-ide pengembangan atau perbaikan baru. Istilah-istilah keuangan yang umum, seperti ’pemasaran’, “kelancaran arus kas”, “jangka waktu pembayaran”, bunga pinjaman, ‘overhead’, dan laba, perlu menjadi subyek pembicaraan yang lazim. Hanya dengan budaya seperti inilah, pengambilan keputusan dan penilaian yang cermat dapat tersebar di seluruh perusahaan. Hanya dengan upaya, yang disengaja dan sitematis, kita bisa membuat individu dan otomatis seluruh perusahaan menjadi: ”stay relevant”.

Dimuat di KOMPAS, 26 April 2014

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com