Di masa kampanye seperti sekarang ini, sangat menarik mengamati berbagai cara wakil rakyat maupun calon pemimpin bangsa untuk menarik simpati rakyat. Papan iklan besar yang biasanya menjadi tempat korporasi berpromosi, sekarang berganti foto dari calon wakil rakyat. Paling umum yang kita lihat adalah poster, spanduk, selebaran dengan “kalimat promosi” yang menjual kualitas diri, dipasang di pagar, tembok, pohon, juga kendaraan. Ada calon yang lebih memanfaatkan teknologi, misalnya mengirim sms, promosi lewat situs pribadinya. Tidak sedikit yang safari keliling daerah, membagikan buku, “amplop”, bingkisan. Bayangkan betapa besarnya biaya, moril maupun materiil untuk menarik simpati pemilih. Dengan biaya besar seperti itu pun, tidak ada jaminan bahwa pemilih terpikat atau mau menyerahkan kepercayaan pada yang bersangkutan.
Pepatah “tak kenal, maka tak sayang”, menjadi kita ingat lagi melihat situasi ini. Rekan kerja saya sudah sangat mantap akan memilih calon anggota legislatif tertentu, karena ia memang kenal betul betapa yang bersangkutan sangat dekat dan dikagumi oleh warga di lingkungannya. Bila orang merasa telah mengenal betul sosok calon wakilnya, tidak perlu lagi calon tersebut susah-susah “membeli” suara, pengaruh-mempengaruhi pilihan. Pemimpin, baik pemimpin bangsa maupun dalam organisasi, memang perlu simpatisan. Namun, membeli simpatisan, menyogok, mengiming-imingi hanya akan membawa hubungan yang tidak langgeng. Sejujurnya, kita sendiri bisa melihat dan merasakan apakah pengikut kita itu bersimpati betul pada kita atau sekedar basa-basi. Misalnya saja, ketika kita melihat pemimpin menyampaikan humor yang dianggapnya lucu, dan semua pengikut kita tertawa terpaksa. Sebaliknya, bila pengikut atau simpatisan mendukung 100%, apapun yang yang dikatakan pemimpinnya dipercaya dan dilaksanakan, tanpa mempertanyakan banyak-banyak dan tanpa perlu diseret-seret untuk menurut.
Bila beberapa minggu lagi, kita mempunyai kesempatan memilih wakil rakyat dan calon presiden, dalam perusahaan atau berorganisasi terkadang kita tidak bisa memilih pemimpin. Sering terjadi, kita tiba-tiba memang sudah mempunyai pimpinan. Namun demikian, pemimpin mana pun, dipilih atau memang sudah terberi, hanya bisa berkinerja lancar bila mendapat simpati dari para pengikutnya. Rumitnya, pengikut bisa sekali tidak ‘jujur’ dalam memberi masukan pada pemimpinnya. Hubungan seperti inilah yang sangat lemah dan tidak berjiwa, karena tidak saling mengerti. Seorang pemimpin perlu memperhitungkan motivasi, pengalaman dan berbagai kebutuhan dan kondisi emosi individu, bila ia sungguh-sungguh ingin memenangkan simpati para pengikutnya.
Kedalaman Rasa Suka
Sebuah hasil penelitian mengatakan bahwa simpati selalu mengandung unsur rasa suka. Dari penelitian itu, dikemukakan juga bahwa hal-hal seperti kekayaan, uang, status sosial dan daya tarik fisik, kalah kuat untuk membuat seseorang menyukai pemimpinnya dibandingkan dengan kehangatan, keterbukaan, keramahan dan sikap pemimpinnya. Inilah sebabnya kita perlu memperhitungkan waktu dan upaya menanamkan “kebaikan” dan “ketulusan” kita sebagai pemimpin, jauh-jauh hari.
Rasa suka simpatisan kepada pemimpin, perlu fanatisme atau kelekatan rasa yang lebih mendalam. Ini jelas tidak seperti saat seseorang memberi tanda jempol “like” di social media bila melihat sesuatu yang menarik tentang seseorang. Kita melihat bahwa beberapa tokoh pemimpin muda yang memiliki begitu banyak simpatisan, misalnya Ibu Risma dan Kang Ridwan Kamil, tidak terlalu banyak berkoar-koar di media. Namun, simpatisan berdatangan dengan sendirinya karena mereka menghargai profesionalisme yang ditampilkan pemimpin baru ini. Sebaliknya, bila pemimpin atau wakil rakyat tidak bisa membuktikan bahwa ia adalah orang yang bisa diandalkan secara profesional, tidak cakap menyelesaikan masalah, tidak bisa menjadi tempat bertanya, maka ia perlu jungkir balik untuk menebarkan pesonanya. Jadi, pengikut bisa bersimpati bila ada keseimbangan antara ‘skills’ (kecakapan) dan ‘will’ (kemauan) seseorang, dengan kehangatan di mana ia berbagi minat dan kepeduliannya.
Memperjelas Sikap
Beberapa waktu lalu, kita mungkin masih bisa menerima pemimpin tanpa sikap. Kita tidak terlalu mempermasalahkan tokoh atau pemimpin yang sekedar menjalankan kinerja apa adanya, tanpa warna yang jelas, atau membawa nama partai atau kelompok tertentu tanpa menunjukkan sikapnya dengan nyata. Kita bisa jadi tidak menyadari betapa hal ini sering menyebabkan pengikut dan pemimpin tidak memiliki kedalaman relasi atau “engagement”. Kita bisa merasa dekat dan terlibat, memiliki kedekatan emosi dengan pemimpin, karena kualitas pribadinya, tetapi kita bisa lebih ‘engaged’ lagi bila kita memahami dengan jelas apa yang diperjuangkan oleh pemimpin tersebut yang tampak dari sikapnya yang konsisten. Bisakah kita membayangkan betapa disukainya pemimpin yang memiliki prioritas menyelesaikan masalah, kemudian mencanangkan setiap minggu sekali berkeliling ke seluruh area kerja untuk mencari solusi dengan agenda “mendengarkan siapa saja”? Betapa semakin dalam dan kuatnya keterlibatan “rasa” antara pemimpin dan bawahan, bila hasil dari “mendengarkan” masukan kemudian ditindaklanjuti oleh pemimpin tersebut.
Di masa sekarang, kita memang memerlukan model pemimpin yang “membumi” dan ada di lapangan. Kita pun ingin menyaksikan bahwa sikap ‘turun tangan’-nya memang tulus dan tidak dibikin-bikin. Tidak heran bila tindakan ‘blusukan’ dengan cepat membangkitkan simpati. Apalagi bila ia pun kemudian menguasai apa yang terjadi pada pengikutnya, apa suka dukanya, juga menyatakan empatinya. Transparansi juga sekarang sudah menjadi daya jual. Keputusan, populer ataupun tidak populer, tetap bisa didukung dan mendapat simpati, bila alasannya bisa dilihat dengan jelas oleh pengikutnya. Simpati membawa kehangatan. Semua orang senang bersimpati dan mendapat simpatisan, dan hal ini perlu dilakukan dua arah. Tidak hanya pengikut yang perlu melakukan berbagai cara untuk mendapat simpati, sebagai pengikut kita pun perlu berusaha menyukai pemimpin kita dan memahamimnya. Seperti ada pepatah “ give what you want to receive” , sikap ini berlaku untuk kedua pihak, si pemimpin dan si simpatisan
(Dimuat di KOMPAS, 29 Maret 2014)