Belakangan ini kita menyaksikan betapa orang sering tidak mendukung pemimpin sepenuhnya. Dapat dikatakan ‘followership’-nya sangat ‘poor’. Di pemerintahan misalnya, tidak jarang kita melihat, membaca dan mendengar, baik di media masa ataupun media sosial, bukan saja gerutuan, tetapi lebih ejekan, dan bahkan makian kepada pemimpin yang seyogyanya memimpin kita. Ada orang-orang yang kita lihat secara terbuka dan agresif menyatakan ketidaksetujuannya. Namun sebetulnya, lebih dominan dan lebih banyak lagi yang diam, namun sekaligus mengambil sikap menentang dan menantang. Apakah kita secara tidak sadar sudah mengembangkan kebiasan sikap pasif-agresif? Tidak setuju, tetapi tidak menyatakannya, dan kemudian bersikap pasif, berdiam diri dan “melawan dalam hati”.
Gejala ini tidak saja terjadi di lembaga-lembaga pemerintah, di perusahaan pun sering kita temui hal-hal seperti itu. Sikap yang terlihat bisa bentuknya ‘iya-iya, tetapi tidak’, di mana seseorang seolah setuju untuk mengikuti perintah, namun menunda-nunda pelaksanaannya. Saat perusahaan mengeluarkan program atau kebijakan tertentu, tidak disambut dengan energi positif dan tidak didukung melalui gerakan. Bahkan kemudian, kalau arahan dan hasilnya tidak sesuai harapan perusahaan atau institusi, dengan mudah ia berkomentar:”Tuh kan..., saya bilang juga apa...”. Sikap membiarkan keputusan yang salah atau arah yang tidak jelas seperti ini juga merupakan ekspresi pasif agresif, karena terasa betul ada keinginan agar pengambil keputusan terjerumus pada kesalahan.
Hal yang paling berbahaya adalah justru karena sikap ini tidak terlihat nyata. Individu nampak seperti bersikap kooperatif, padahal sebetulnya resisten atau bahkan samasekali berlawanan. Bayangkan betapa banyaknya energi negatif yang membuat lingkungan kerja tidak kondusif, bila kita memiliki orang-orang dengan sikap seperti ini dalam tim kita. Kebanyakan dari kita, tidak menyadari bahwa tumbuhnya sikap ini akan menggerogoti kinerja perusahaan atau negara, tanpa melihat ada yang salah. Hal yang terlihat adalah bahwa proyek, program atau kebijakan tidak berjalan mulus, karena pelaksanaan seolah-olah terhambat tanpa alasan yang nyata. Orang banyak berpendapat, berbicara dan pandai menganalisa, tetapi karena memang tidak turun ke lapangan, analisanya pun mentah, tidak berdasar. Kita bisa terjebak pada fenomena ‘pseudo-solution” di mana rapat-rapat diadakan untuk menanggulangi suatu permasalahan, banyak pendapat, banyak solusi bagus, tapi miskin pelaksanaan, miskin action. Baik pemimpin, maupun pengikut atau “follower” jelas perlu menjaga diri agar tidak mengembangkan sikap pasif agresif ini.
Berorientasi untuk Bergerak
Kinerja yang tidak prima sudah menjadi fenomena di mana-mana. Ini membuat kita seolah, semakin lama semakin mengalah pada kenyataan bahwa kepemimpinan dalam organisasi mandul, tumpul, dan tidak mempan. Kita pun kerap melihat seolah-olah di masyarakat terjadi kelainan: “Decision-to-action time lag”, di mana keputusan untuk melakukan suatu inisitatif sudah dicanangkan, tetapi kemudian keputusan, pembagian wewenang, “kick off” pelaksanaan, seolah-olah mundur dan tidak terjadi segera. Respons di media sosial mengenai berbagai kebijakan, seringkali begitu cerdas dan konstruktif, tetapi tetap tidak ada yang bergerak dan melakukan perbaikan terhadap hal yang dikritik, demikian pula di perusahaan. Apa yang terjadi? Kita melihat bahwa tidak banyak kata ‘kapan’ dipertanyakan. Kapan keputusan ini dilaksanakan? Kapan deadlinenya? Kapan pelaksana proyek ditunjuk? Kapan hasilnya bisa diresmikan dan segera dinikmati? Nampaknya pimpinan sendiri pun kadang tidak punya kekuatan untuk mendorong bawahan untuk bertindak dan mengambil resiko. Dan tidak jarang, sebelum proyek selesai, kepemimpinan dan wewenangnya dipindahtangankan ke orang lain, bahkan ditarik kembali ke pemimpin tertinggi. Ini tentu hal yang perlu kita waspadai.
Bukan saja pemimpin, tetapi kita sendiri sebagai pengikut, harus sadar bahwa norma dan mindset kita harus diarahkan pada efisiensi. Berarti, kegiatan, diam, menunggu, apalagi pasif tidak melakukan sesuatu adalah gejala yang negatif, tidak menguntungkan, bahkan juga tidak berintegritas. Kita perlu mengembangkan sikap berani menegur bila seseorang tidak mencapai deadlinenya. Kebiasaan menunda, tidak pernah boleh ada dalam kamus manusia modern yang efisien.
Responsibility: “Reponse-ability”
Seperti halnya kondisi fisik, kita pun perlu rajin-rajin menelaah kesehatan respon kita dan anggota tim kita. Individu yang sehat, pasti mau berespons aktif terhadap tantangan, kesulitan dan keadaan status quo. Individu yang sehat akan mempertanyakan dan berani mendebat hal -hal yang tidak benar di pandangannya dan bukan sekedar mengangkat bahu secara ‘helpless’. Kita juga perlu mengolah kembali budaya rapat, di mana hanya satu orang bicara dan yang lain diam, padahal kalau tidak diundang pun tersinggung. Kita perlu menciptakan suasana komunikasi yang efisien, berkomunikasi yang berujung ‘action”, dan selalu menyadari siapa yang bertanggung jawab, siapa yang harus memutuskan, dan apa risikonya. Kita juga perlu menyadari bahwa bertatap muka sangat berharga dan memakan waktu, karena itu kita tidak bisa melakukannya setengah-setengah, apalagi sambil berkomunikasi dengan orang lain sekedar membahas hal penting, melalui gadget canggih di genggaman kita. Kita perlu mempertanyakan kesehatan mental kita bila kita tidak nyaman bekerja tim. Orang yang bugar mental, pasti mempunyai tanggung jawab ( baca: responsability) dan mampu berespons positif ( response-ability).
(Dimuat di Kompas, 6 April 2013)