Seorang teman dikenal memiliki reputasi sebagai “supersalesman”. Kemampuannya dalam product knowledge dan mempersuasi pelanggan tidak diragukan lagi. Dengan catatan prestasinya ini, ia diangkat menjadi manajer penjualan dan ditantang untuk membawahi 10 orang ‘salesman’. Dengan track record seperti ini, saat ia memangku jabatan baru, kita tentu mengharapkan sudah tidak ada resistensi lagi dari anak buah. Namun ternyata, terasa benar ada ketidakinginan anak buah untuk bekerja sama dengannya, bahkan ada bisik-bisik yang mendiskreditkannya. Ia yakin bahwa dengan kemampuan ‘sales’-nya, suatu saat ia akan bisa memimpin tim dengan baik. Namun demikian, momentum itu tidak kunjung datang. Ia tetap sulit ‘mingle’ dengan anak buah. Pertanyaannya ditanggapi dengan muka kecut, jawaban seadanya, bahkan kerap membuat ‘berang’ anak buah. Padahal, ia tidak pernah mengungkapkan kata kata-kasar, memarahi, atau menyudutkan anak buah. Timbul pertanyaan, mengapa orang bisa-bisanya menutup hati untuk suatu hubungan baik, sehingga seolah-olah ada dinding yang tidak tertembus?
Kita tentu bertanya-tanya, apa yang membuat seseorang tidak bisa memulai hubungan dengan bawahan? Padahal, kita sadari betapa kepemimpinan bisa macet, bila tidak ada hubungan interpersonal yang lancar antara atasan dan bawahan. Situasi ini juga membuka mata kita betapa pembentukan hubungan baik merupakan dasar dan menjadi persyaratan utama dari kepemimpinan, juga hubungan ‘coaching-mentoring’. Dalam ilmu psikologi, pencairan hubungan antara satu orang dengan yang lain ini disebut ‘rapport’. Rapport ditandai keinginan kedua belah pihak untuk saling menguatkan. Para ahli mengatakan bahwa dasar dari rapport adalah menghilangnya rasa curiga dan tumbuhnya rasa percaya. Pertanyaannya, Mengapa ada orang yang begitu sulit menembus dinding penahan rasa percaya ini?
Membuka diri dengan ‘life lessons”
Seorang teman, bercerita bahwa ia pernah mendapat sahabat justru ketika ia mengalami kecelakaan kecil. Saat itu, orang yang menyaksikan menaruh iba dan menunjukkan empati pada kejadian yang dialaminya. Momen ini kemudian membuka jalan keduanya lebih membuka diri dan tidak ragu untuk berbagi pengalaman hidup, sehingga tanpa disadari hubungan baik pun terbentuk. Namun, membuka diri memang bukan hal yang mudah. Dalam hubungan bisnis atau hubungan atasan bawahan, kita sering dikelabui oleh hubungan yang diwarnai oleh wewenang, sehingga seorang anak buah terpaksa mematuhi perintah atasan, ataupun seorang customer service memang mempunyai keharusan melayani pelanggan. Rapport tidak terjadi.
Dalam hubungan atasan-bawahan, di mana atasan menuntut bawahan untuk berprestasi, tetapi sekaligus belajar, hubungan tanpa raport tidak akan mempan. Ini sebabnya, atasanlah yang perlu aktif berstrategi membina rapport. Kitalah yang mesti membiarkan diri mengalami penetrasi sosial. Kuncinya sebetulnya sederhana, orang bisa dengan mudah ‘masuk’ dalam hubungan yang lebih mendalam, bila mengenal orang lain secara lebih mendalam. Artinya, pengenalan tidak di permukaan saja. Bayangkan bagaimana rasa percaya dan hubungan bisa mendalam, jika banyak hal dalam kehidupan pribadi ataupun di pekerjan dirahasiakan, disembunyikan, ditutup-tutupi? Membuka diri bukan berarti membuka aib kita. Namun, yang kita bagi adalah pelajaran hidup atau “life lesson” secara rendah hati, yang diperoleh dari asam-garam pengalaman.
Seorang coach basket mengatakan bahwa bila ia tidak berbagi ‘life lessons’ dengan timnya, maka timnya tidak akan mengembangkan kualitas hubungan baik antar tim. Ia memberi contoh, bahwa dengan mengajak anggota tim untuk memberi bantuan pada orang-orang yang memerlukan, kelompoknya lebih peka terhadap kegiatan memberi. Hal yang kemudian dipelajari oleh anggota tim adalah bahwa membuat seseorang senang juga membuahkan kesenangan. Hal-hal inilah yang bernilai jauh lebih besar daripada pengajaran ‘hardskill” yang lebih teraga, namun ini juga yang sering dilupakan para atasan. Padahal banyak sekali hal-hal yang bisa di ‘share’ yang juga akan membangun simpati ke diri kita, misalnya kebiasaan bicara apa adanya, bersikap proaktif, kerja keras, berusaha memahami orang lain tanpa minta dipahami, tidak mengeluh dan selalu memfokuskan perhatian pada hal-hal yang positif. Dalam hubungan atasan-bawahan atau tim, seorang atasan juga bisa berbagi, tentang bagaimana ia menghadapi kesulitan, bagaimana ia belajar atau bagaimana ia menyayangi orang disekitarnya. Kita perlu berani mengekspose ‘life lessons’ kita pada anak buah, karena mau tidak mau, sebagian besar dari materi coaching juga berisi “life lessons”: “laws of life”, ”truths of life”, yang berupa sikap dan nilai-nilai kehidupan. Rapport akan lebih mudah terbentuk bila daya tarik dan ‘familiarity’ sudah terjadi.
Menciptakan ‘rasa dimengerti”
Rapport terjadi bila individu merasa aman sepenuhnya dengan keberadaan kita. Selain itu, ia perlu merasa bahwa ia dimengerti. Ini sulit terjadi bila atasan terlalu sibuk dengan agenda dirinya dan memikirkan dirinya sendiri. Untuk itu, atasan perlu untuk sementara waktu bersikap ‘selfless’ dan ‘selesai’ dengan dirinya sendiri. Caranya, antara lain dengan menunjukkan dirinya 100% siap menolong, menghadapi orang lain dengan tulus dan penuh minat mencari tahu tentang keadaan bawahan. Sikap proaktif seorang pemimpin tetap harus terarah pada anggota tim, bukan kepada dirinya sendiri. Karisma dan sikap saling mengerti hanya terarah pada anggota timnya, tidak pernah memikirkan untung rugi atau timbal baliknya hubungan. Ketika mengajukan pertanyaan atau ditanya, kita pun perlu bersikap sebagai “open space listener”, yaitu dengan sabar menunggu jawaban dan pendapat orang lain, tanpa kehendak untuk mengeluarkan pendapat kita sendiri, karena ‘agenda’ kita memang tidak lain daripada membuat orang lain merasa dimengerti. Hanya dengan upaya keras untuk membuat ‘impact’ pada pihak lainlah kita bisa membina hubungan kondusif yang ujungnya bisa mempengaruhi anggota tim kita untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik.
(Dimuat di Kompas, 12 Januari 2013)