Menggonta-ganti merek ponsel menyebabkan saya sering salah ketik saat menulis sms. Posisi tombol-tombol yang berbeda antara satu produsen dengan produsen lain, menyebabkan kebiasaan menekan tombol tertentu terbawa ketika kita mengetik di ponsel yang baru. Anak saya mengkritik:”Smsmu sering aneh. Kenapa sih tidak lebih berhati-hati saat mengetiknya?” Tentu saja kita bisa lebih berhati-hati dan bekerja lebih perlahan. Namun, seringkali saat terburu-buru, secara tidak sadar kita kerap membawa kebiasaan lama. Sadar ataupun tidak, salah satu sebab kita tidak lincah berubah, jalan di tempat atau bahkan mundur, terjadi karena kita tidak belajar untuk menghapus pola atau kebiasaan di masa lalu. Kita hanya bisa bergerak ke depan dan membuat terobosan bila kita mampu membebaskan diri dari hal-hal yang ‘ke-‘kini’-an”, bahkan masa lalu yang menghambat dan menggandoli kita untuk berubah.
Mengapa orang sulit membuang kebiasaan lama? Dan juga, mengapa orang sering berfokus pada kegiatan belajar hal baru, tanpa ‘concern’ pada menghilangkan kebiasaan lama terlebih dahulu? Ternyata, bila kita pelajari, tidak bisanya kita berubah, atau bahkan sikap pesimis kita untuk bergerak dan mengadakan perubahan banyak dilatarbelakangi oleh cerita sukses masa lampau, yang sulit kita hilangkan. Kalimat seperti: “Saya memang dari dulu begini”, “Biasanya ini yang saya lakukan...”. “Dari pengalaman saya, …”. Saat saya memberi saran pada seorang teman untuk mengurangi biaya hidup sebanyak 30%, sewaktu ia mengeluh tentang situasi krisis, serta merta ia menjawab:”Mana mungkin..? Sudah bertahun-tahun...”. Bila banyak orang memegang paradigma ini, bisa jadi kita akan mengalami keterpurukan lebih jauh.
Tahan Respons, Aktifkan Berpikir Kritis
Konon, mengajari para pilot juga dimulai dari proses ‘unlearning’. Proses emosi, asumsi dan kesalahan ekspektansi bisa membatasi presisi dalam mengukur jarak. Calon pilot harus belajar untuk menahan respons yang datang dan berupaya betul memikirkannya sejenak, sebelum bereaksi. Seorang salesman pun harus ‘menghapus’ pengalaman penolakan-penolakan yang pernah dia alami sejak kecil, baru kemudian bisa menumbuhkan “killer instinct’-nya.
Dalam perusahaan, terutama yang sudah sukses mengimplementasi cara konvensional, kebiasaan para pimpinan menyepelekan, bahkan menahan para junior untuk berpendapat, rasanya sudah saatnya di-‘unlearn’. Persepsi bahwa senior lebih pintar karena lebih berpengalaman, bisa membutakan seluruh organisasi dari ‘bad news’ yang ada. Bisa kita bayangkan betapa bahayanya bila kita jalan terus, menghadapi tantangan, tanpa menyadari bahwa masih ada faham-faham yang usang, asumsi-asumsi dalam sistem nilai yang menahan kita untuk berubah. Hal inilah yang menyebabkan orang maju mundur untuk berinovasi, terutama bila menghadapi tekanan.
Manusia yang sehat sebenarnya bisa membekali dirinya dengan daya berpikir kritis, yang sudah disebut-sebut Socrates di jaman dahulu. Berpikir kritis antara lain mempertanyakan persepsi, asumsi, sistem nilai yang ada dalam sistem penalaran kita. Dalam menghadapi tekanan, kita perlu mengaktifkan daya berpikir kritis kita untuk memerangi praktek-praktek usang yang sudah kita terapkan selama bertahun-tahun. Saatnya kita mempertanyakan: Apa masih mau meneruskan berhutang? Apakah masih akan meneruskan gaya hidup konsumerisme? Apakah kita akan meneruskan cara komunikasi yang lama? “Apa iya, tidak bisa diubah…?”
“The Reality Check”
Jangankan orang-orang pandai, pembantu rumah tangga saya pun mulai berubah pola membelinya. Pelanggan menjadi sangat selektif memilah-milah antara yang perlu dan tidak perlu, mana yang membuat mereka benar-benar ‘happy’ dan mana yang sekedar mengikuti tren. Kita memang harus mengkalkulasikan kocek konsumen yang akan mengempis karena situasi krisis. Bila kita bisa menangkap kebutuhan tersebut, kita pun bisa menyusun langkah untuk menjadi pemenang kembali. Inilah ‘reasoning’ utama mengapa cara lama yang membuat sukses sudah tidak bisa disebut-sebut lagi. Konstelasi pasar, organisasi, sistem penggajian akan berubah sesuai dengan keadaan terkini (baca: krisis global). Jadi, kita perlu masuk ke dalam tuntutan tuntutan baru dan menghapus kebiasaan lama. Tidak ada plihan.
Lalu, apa yang akan kita lakukan dengan kekuatan yang sudah kita bangun bertahun-tahun? Apakah kita buang begitu saja? Kekuatan seperti pengalaman sukses sebagai professional handal, tentunya bukanlah kekuatan yang tidak bisa digunakan lagi. Hanya saja, kekuatan tersebut harus disiapkan untuk menjawab situasi yang belum kita kenal, belum terbukti dan menantang kita untuk menemukan lahan-lahan baru. Karyawan lama yang kuat dan trampil harus bisa menghandel proses baru, membuat produk baru. Inilah tantangannya. Bahkan ada kompetensi yang perlu dibongkar dan diperbaharui. Misalnya, yang dahulu melakukan penjualan partai besar, sekarang masuk ke ritel bahkan menjajakan barang sendiri. Kita mesti bertindak, ber –mindset dan berparadigma ibarat pegawai baru yang membawa pemikiran dan persepsi yang segar.
“A Great Moment to Innovate”
Bertahannya manajemen perusahaan atau pemerintahan pada praktik-praktik lama, sering membuat kita yang berada di dalamnya merasa asing pada hal yang “tidak jelas”. Padahal kalau dipikir-pikir, di dalam ketidakjelasan itulah ada fakta yang membuka peluang bagi kita untuk berinovasi. Sulitnya, inovasi yang kita temukan di dalam ketidakjelasan ini hanya bisa kita lakukan bila kita percaya bahwa kesempatan itu ada, dan terjun di dalamnya. Dalam situasi ini kita tidak bisa mereka-reka karena tidak ada teori yang sudah bisa membuktikan kesuksesannya. Disinilah kita ditantang untuk kuat dan tetap komit pada semangat mengeksplorasi.
Dengan spirit optimistis kita sebenarnya bisa melihat bahwa budget yang mengkerut dan berkurangnya angka penjualan adalah momentum untuk melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif. Tentunya hal ini hanya terjadi pada orang-orang yang mempunyai keyakinan, ego kuat serta visi yang jelas. Sekaranglah waktunya meneguhkan diri untuk membuat pendekatan baru, menemukan pangsa pasar baru, membuat produk baru serta terjun dan menggunakan bahasa pelanggan baru.
(Ditayangkan di KOMPAS, 20 Desember 2008)