was successfully added to your cart.

PENGALAMAN

MENULISKAN bahwa pengalaman kami, Experd, berkarya dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun, kadang-kadang tidak terasa nilainya, sampai suatu hari, ada perusahaan sejenis yang ingin bermitra karena tidak memiliki track record yang sama.

Saat ini, di mana dalam setiap proses pelelangan kami dituntut untuk menjabarkan dengan runtut dan jelas tentang keberhasilan menuntaskan berbagai proyek secara kuantitatif maupun kualitatif, kami semakin yakin bahwa pengalaman itu penting dan tidak tergantikan oleh pendidikan formal. Di sini kami juga melihat bahwa gelar pendidikan yang panjang, tanpa diimbangi kemampuan untuk membuktikan pengalaman, belumlah cukup. Pengalaman itu ternyata sangat berharga, bahkan bernilai material. Lagipula, tidak bisa diperjualbelikan, melekat pada organisasi, nama, ataupun interelasi stakeholdernya.

Bukan main saktinya pengalaman itu. Namun, apakah kita kerap merasa bahwa berbagai pengalaman dahsyat yang kita alami ternyata sekadar lewat dan terlupakan? Misalnya, banyak orang yang justru jatuh bangun dan kegagalan sebagai disaster. Sebagian orang lagi melihatnya sebagai takdir. Individu-individu yang demikian kemudian tidak menyimpan track record yang tebal dan positif, bahkan justru cenderung negatif. Apalagi kalau hal ini kemudian menyebar menjadi mental bangsa. Misalnya ada ungkapan bahwa orang Indonesia ini pelupa. Bahkan, ada acara khusus di media yang bertajuk “melawan lupa”. Bukankah kita memang tidak boleh meniadakan sejarah? Bukankah kita memang perlu sebanyak-banyaknya belajar dengan menimba pengalaman, untuk kemudian bertambah bijak. Bukankah know how  yang belum kita punyai harus kita pelajari perlahan-lahan sehingga pengalaman beserta jatuh bangunnya begitu terasa dan melekat dalam diri kita?

Pengalaman : laboratorium kehidupan

Teman saya selalu menyebut-nyebut kegagalannya sebagai uang sekolah. Pendidikannya S1 perhotelan dari sekolah perhotelan paling ternama di Swiss. Ia mempunyai passion dalam bidang restoran. Restoran pertama dibukanya besar-besaran, sampai harus menjual asetnya yang berharga. Ia banyak tertipu oleh staf, tidak melakukan pengawasan, dan akhirnya gagal. Ia bangkit, dan menyadari kesalahannya dan restoran keduanya segera dibuka. Pengawasan kemudian diperketat dan banyak hal yang diubahnya. Tapi, ia gagal lagi. Baru di restoran ketiga, dengan mitra yang baru, gaya kolaborasi yang know how  yang semakin kental, ia merambat sukses. Ia tetap ingat pada “pelajaran-pelajaran” berharga di tahun yang telah lewat. Ia bercita-cita kelak ingin menjadi konsultan di bidang restoran, bila ia sudah merasa lulus dan menguasai ilmunya.

Ada teman lain, yang berani berbelok arah setelah jatuh-bangun. Ia bahkan berpendapat bahwa kegagalan itu bukan sekadar fakta, tetapi data. Kegagalan tidak pernah ia pandang sebagai momok atau sumber menyalahkan diri atau orang lain. Teman ini dibesarkan di pesantren, pernah jadi jurnalis, tim sukses, aktif di NGO, kemudian berbelok arah menjadi wirausaha dan akhirnya sukses. Akhirnya, sikap mawas diri dan keyakinan untuk menjadi wirausaha didapatnya ketika setelah berbelok-belok itu dituangkannya dalam 2 buku. Sejak itu ia menemukan dirinya dan tahu apa yang ia mau.

Teman ini mempunyai pandangan yang superpositif mengenai kegagalan. Setiap kali ia mendapat umpan balik negatif, atau keluhan mengenai kinerjanya, ia tidak pernah menyalahkan dirinya, tetapi justru menganggap keluhan tersebut sebagai data yang sah untuk dipelajari. Ketika akhirnya ia semakin tahu kekuatannya, ia beranggapan bahwa hal itu adalah sebuah inovasi, bahwa ia bisa menemukan dirinya. Baginya, bagian terbesar dari memahami pengalaman adalah menemukan kerangka, pola kegagalan dan kesuksesan. Ia pun sudah tahu rasanya gagal dan memulai kembali sehingga ia mengerti seninya dan mempunyai bekal pengalaman bila memulai sesuatu yang baru.

Pengalaman tidak bisa ditiru komputer

Kalau kita berbicara mengenai pengetahuan, pemikiran kita selalu melayang ke buku, jurnal, rumus, komputer, ataupun textbook. Pengalaman tidaklah seperti itu. Pengalaman adalah pengetahuan yang sulit dikomunikasikan. We can know more than we can tell, demikian ujar Michael Polanyi, ahli kimia Hungaria, penulis buku The Tacit Dimension. Dari pengalaman, banyak sekali hal yang tidak tertulis, tidak bisa diterjemahkan dengan kata-kata yang secara praktis disimpan oleh manusia normal, berlandaskan emosi, rasa, insight, intuisi, observasi, dan pengetahuan yang sudah diinternalisasikan.

Pengetahuan informal ini didapat dari interaksi dengan orang lain dan aktivitas bersama, yang walaupun dicatat, tidak akan terekam secara keseluruhan. Lokasi pengetahuan ini hanya berada di ketidaksadaran individu. Juga, hasil pengalaman ini bersifat kontekstual dan personal. Pengetahuan seperti inilah yang sering memperkaya kekuatan inovasi individu. Misalnya, ketika sebuah perusahaan IT berencana membuat program untuk mengatur ekspedisi kendaraan seluruh Indonesia, mereka menyadari bahwa banyak sekali taktik lapangan yang sulit diperhitungkan. Alhasil, mereka merekrut preman jalanan yang sudah berpuluh tahun mengurus ekpedisi pengiriman barang antar pulau. Pengalamannya tidak bisa digambarkan dalam SOP, tidak pula dalam jangka waktu pendek dapat ditransfer.

Sekarang, tinggal bagaimana kita menyikapi pengalaman pahit dan sukses yang telah kita lalui. Bila kita tetap berkutat pada sikap pointing fingers dan tidak mau belajar dari kegagalan. Bagaimana kita mau maju?

Dimuat dalam KOMPAS, 11 Maret 2017

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com