was successfully added to your cart.

RESESI SOSIAL?

RESESI SOSIAL?

Tak jarang hati kita terenyuh melihat isolasi sosial akibat Covid-19. Ada yang mengunjungi orangtua dan hanya dari kendaraan, ada dokter-dokter yang hanya bisa menatap anaknya dari depan pagar rumah. Ada pula yang berbagi makanan atau hadiah-hadiah dengan sebuah tongkat sepanjang 1,5 meter.

SEMUA fenomena ini membuat kita terharu dan sedih. Pandemi ini sudah memisahkan kita dari orang-orang yang kita sayangi. Kita kehilangan spontanitas dalam pertemuan tak disengaja, senda gurau, gelak tawa dan bisik-bisik dalam arisan, pasca-ibadah, maupun reuni sekolah.

Dalam buku The Lonely City, yang mempelajari artis-artis visual seperti Edward Hopper dan Andy Warhol, Olivia Laing mendefinisikan loneliness alias kesepian sebagai suatu kekosongan. Kebutuhan untuk disayang, disentuh, dan digenggam yang tidak terpenuhi. Defisiensi ini bisa diikuti oleh semacam ancaman sosial, berupa rasa terkucil, rasa tidak percaya diri, dan tidak kompeten. Rasa kesepian ini juga bisa menumbuhkan persepsi negatif mengenai dunia, rasa curiga dan menarik diri.

Tidak mudah memang mempelajari mengenai rasa kesepian ini. Di Australia, misalnya, hasil penelitian tidak menunjukkan adanya gejala kesepian yang nyata meningkat pada masa Covid-19. Menurut para peneliti, kemungkinan hal ini disebabkan definisi rasa kesepian yang belum terlalu jelas. Selain itu, banyak orang yang enggan mengakui bahwa ia kesepian karena menganggap rasa sepi ini berkonotasi negatif.

Rasa kesepian ini memang kompleks. Sudah banyak gejala kesepian dialami orang sebelum wabah Covid-19. Ada orang merasa kesepian di tengah kerumunan orang, atau juga di tengah popularitas yang sedang naik daun. Namun, sebaliknya, ada yang sama sekali tidak merasa kesepian padahal dia sendirian saja. Covid-19 hanyalah salah satu pemicunya. Distancing pada masa pandemi ini memang sangat mempengaruhi suasana hubungan interpersonal karena kita sulit bertemu seperti biasanya.

Jadi, kita memang tidak bisa menarik hubungan langsung antara keharusan mengisolasi ini dan rasa kesepian seperti  menarik diri, merasa bahwa semua hubungan interpersonal tidak berarti, tidak ada tempat mengadu, sampai merasa tidak dimengerti oleh seorang pun di dunia ini. Bila gejala-gejala ini muncul, kita memang perlu menanggulangi rasa kesepian ini.

Tentunya tidak ada hanya satu kiat jitu untuk setiap orang yang merasa kesepian, tetapi yang jelas perasaan ini harus bisa diatasi.

Seorang pekerja yang sudah tidak ada kontak fisik dengan teman kerjanya sehubungan dengan kebijakan WFH awalnya merasa begitu kosong. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan layar kacanya untuk bertemu dengan teman kerjanya, baik untuk urusan pekerjaan maupun mengobrol santai dan membicarakan hal-hal ringan. Ia pun mengembangkan hobi baru menonton konser yang saat ini banyak ditayangkan melalui media sosial, sambil ikut memberi komen di ruang chat-nya, dan ternyata mendapatkan teman-teman baru sesama penonton.

Ia juga menggalakkan kebiasaan self care baru seperti olahraga, meditasi, dan memasak yang semua panduan dan sharing-nya dilakukan dengan cara daring. Ia berprinsip, A simple hello is a small step towards more meaningful interactions in the future. Ini adalah salah satu contoh penanggulangan physical distancing tanpa social distancing.

Sudah banyak studi yang menyatakan bahwa koneksi sosial mengurangi risiko penyakit, penularan dan mati muda. Setelah ada wabah Covid-19, dunia seolah terbangun dari tidur dan merasakan pentingnya koneksi sosial ini. Social health menjadi sorotan dan menjadi dimensi penting dari well being, kesejahteraan mental individu. Oleh karena itu, dalam situasi pandemi ini, kita lebih baik bukan meratapi rasa kesepian, melainkan justru berfokus pada paham we are all in this together. Kita justru perlu meningkatkan rasa solider dan mendukung satu sama lain.

Manfaatkan teknologi

Banyak yang mengingatkan bahwa kita perlu berterimakasih pada teknologi. Bayangkan bila pembatasan ini terjadi 30 tahun yang lalu, ketika kita tidak memiliki kemudahan komunikasi elektronik seperti ini?

Kita bisa membayangkan bagaimana kita bisa bersilaturahmi tanpa batas dengan berbagai komunitas. Kita bahkan bisa membuat beragam aksi seperti gotong royong membantu yang berkekurangan, berdiskusi mengenai kesehatan mental dan fisik, hobi, agama ataupun politik. Di sini, kita tidak melihat adanya resesi sosial bukan? Bahkan, revolusi social pun bisa saja terjadi. Kita bisa melihat bahwa bonding tidak selalu harus memeluk ataupun berhadapan secara fisik. Selama dikarantina, bekerja dari rumah, kita bisa memanfaatkan teknologi dengan sehat dan cerdas. Ada beberapa tips yang bisa kita lakukan:

  • Tatap muka dari jauh: kita memang harus puas berkomunikasi mata ke mata, hati ke hati sebatas layar kaca. Namun, kita pun bisa merasakan bahkan menciptakan kehangatan.

  • Kebaikan satu menit: bangun kebiasaan meluangkan satu menit untuk berbuat kebaikan, apakah itu memberi komentar positif ataupun mengirimkan pesan atau hal yang berguna pada orang lain.

  • Bangun komunitas virtual: beragam komunitas mulai dari sulam menyulam, memasak, diskusi budaya, menonton konser dan lainnya bisa kita ikuti untuk mengisi hidup kita.

  • Perluas dan perdalam: pada dasarnya ada dua cara memerangi rasa sepi, pelihara, dan pupuk hubungan dengan teman-teman lama atau mulai mencari teman baru. Hubungan bisa kita buat lebih baik, timbal balik, dan saling mengisi.

Pandemi ini sudah membuat kita sadar bahwa kontak fisik bisa menyebarkan penyakit. Namun, ingat, koneksi sosial, tanpa kontak fisik, juga mengembangkan kesehatan mental. Marilah kita mengambil kesempatan ini untuk mengupayakan pengembangan koneksi sosial kita, sehingga kita menjadi lebih sehat mental dan bahagia.

Diterbitkan di harian Kompas karier 17 Oktober 2020

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #wfh #workfromhome #resesi #sosial

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com