was successfully added to your cart.

WORK LIFE BALANCE?

WORK LIFE BALANCE?

PONSEL berdering saat makan malam. Pesan di whatsapp group yang harus segera dijawab pada saat acara tiup lilin anak yang sedang berulang tahun. Ini memang sudah bukan jam kerja lagi. Masih relevankah jam kerja 9 to 5 untuk kondisi saat ini?

Beberapa eksekutif yang saya kenal, yang beberapa tahun lalu masih merasa sungkan untuk meletakkan ponselnya di atas meja. Saat sekarang malahan hampir selalu menggengam ponselnya di mana pun ia berada sambil terus mengeceknya jangan sampai ada pesan yang terlewat. Kenyataannya sekarang ini, tanpa diminta kita menjadi available 24/7, 24 jam 7 hari secara sukarela.

Banyak orang mengeluhkan stres, lelah karena pekerjaan. Pekerjaan seperti tiada habisnya, mengikuti kita di manapun kita berada. Teknologi digital memang memudahkan kita untuk lebih fleksibel. Kita bisa bekerja dari rumah, bisa mengikuti perkembangan anak anak dengan CCTV, bisa berkomunikasi sambil melakukan hal-hal lain. Hidup seharusnya menjadi lebih efektif dengan setiap waktu yang dimanfaatkan. Tetapi, mengapa data menujukkan bahwa tingkat stress lebih tinggi? Mengapa data sepertinya mengatakan bahwa work life balance merosot?

Hasil penelitian di Inggris menyatakan bahwa dengan berpindahnya komunikasi kerja ke ponsel, dan komputer pribadi, jam kerja menjadi sulit dibatasi. Di sinilah timbul rasa khawatir karena individu tidak pernah bisa menyatakan pada dirinya, kapan pekerjaan atau tugasnya benar-benar selesai. Mengaburnya batasan waktu kerja juga bisa menimbulkan sikap menunda karena kemudian kita berpikir untuk melanjutkan lagi mengerjakannya di rumah. Belum lagi, adanya flexible working hours yang memang membuat kita yang sudah di rumah tetap dikontak oleh rekan-rekan yang saat itu masih berada di kantor karena perbedaan jam kerjanya.

Jadi, apa yang harus dilakukan perusahaan dan karyawan dalam menghadapi samarnya batasan antara kehidupan pribadi dan bisnis ini? Apakah perusahaan perlu mengikuti tindakan perusahaan manufaktur Volkswagen yang mematikan server-nya setiap jam kerja berakhir? Atau pekerja secara pribadilah yang bertanggung jawab menentukan batas-batasnya sendiri?  Bagaimana kita meyakinkan bahwa perhatian pada worklife balance ini tidak menjadi bumerang bagi produktivitas?

Manusia : sutradara “life balance”

Profesor Jon Whittle dari Lancaster University mengatakan bahwa saat sekarang tidak ada jawaban yang tepat untuk mengatasi gejala switching roles ini. Bukankan kita juga menyadari bahwa selagi karyawan seharusnya fokus pada pekerjaannya, jendela chattingnya juga tetap terbuka. Bisa saja ia chatting masalah pekerjaan, membina kontak dengan klien, tetapi mungkin juga chatting dengan pasangan atau pengasuh di rumah, bahkan berbelanja online. Gejala switching roles ini berlangsung secara kilat, karena kita memang selalu tersambung. Bisakah kita bayangkan bahwa sebenarnya hal inilah yang bisa menyebabkan stres dan tidak fokus pula? Jadi, ketika di kantor individu tidak bisa melepaskan pikirannya dari urusan-urusan pribadi dan rumah tangganya, sementara ketika berada di rumah ia masih memikirkan tanggungjawab di pekerjaannya yang belum selesai. Tanggung jawab siapakah ini? Karyawan atau perusahaan?

 “We think, mistakenly, that success is the result of the amount of time we put in at work, instead of the quality of time we put in.”. Arianna Huffington

Kerja kita sudah banyak sekali dibantu oleh teknologi. Seorang dokter tidak perlu memegang data-data pasien dengan kertas atau foto lagi. Semua rumah sakit modern sudah memiliki sistem yang begitu terintegrasi, sehingga data seorang pasien dapat dianalisa oleh para dokter spesialis secara bersama dari tempat mereka masing-masing. Anak-anak begitu terampil membuka Google bila tidak memahami istilah tertentu. Hidup kita memang tidak lagi bisa lepas dari teknologi.

Saat ini, mungkin kita perlu mencari work life integration ketimbang work life balance yang sudah ketinggalan jaman, mengintegrasikan kehidupan kita dan menemukan sense of balance dalam bentuk lain. Dengan tuntutan untuk berinovasi terus menerus, rasanya kita memang tidak bisa untuk menghentikan proses berpikir kita akan pekerjaan begitu selesai jam kerja. Dengan medici effect ide-ide kreatif justru bisa timbul lewat pengalaman kita pada hal-hal yang berbeda dan kejelian melihat celah perbaikan dalam pekerjaan ataupun produk yang kita miliki. Kecemasan akan pekerjaan yang menumpuk sebenarnya bisa diatasi dengan menetapkan sasaran-sasaran yang lebih singkat yang kita susun setiap hari untuk aktivitas kita. Selain membantu kita untuk berdisiplin mengarahkan pikiran, tetap fokus untuk pencapaian target tersebut sebelum kita beralih pada hal lainnya, juga dapat dan mengurangi ketegangan karena merasa pekerjaan yang masih menumpuk dengan sense of achievement dari setiap pencapaian target itu.

Ada beberapa hal yang perlu kita ingat dan tidak bisa dibantu oleh komputerisasi. Gerakan fisik bukan saja menjamin kesehatan tetapi juga terbukti mengurangi tingkat stres. Kehidupan digital di satu sisi membuat kita tidak bergerak dan duduk terlalu lama, harus kita manfaatkan agar memotivasi kita untuk lebih banyak berolahraga. Komputerisasi memang sangat sakti, tetapi sense of control tetap ada di diri masing-masing individu. Apakah kita mau mematikan total perangkat elektronik kita atau tetap membiarkannya stand by agar kita tetap berada dalam situasi on call setiap saat?

Mengoptimalkan perangkat digital jangan sampai membuat kita lupa untuk mengoptimalkan kerja otak. Kita berhenti menghafal nomer telpon, alamat rumah, dan arah jalan karena semuanya kita serahkan pada perangkat yang ada. Kekuatan otot otak kita perlu terus menerus kita latih agar ia tidak menjadi aus dan juga untuk mengurangi tingkat ketergantungan pada perangkat digital kita.  

Sudah banyak orang tua yang menyadari untuk mengurangi kegiatan digital anak dan mendorong mereka agar lebih menikmati aktivitas luar ruangan. Tentunya hal ini juga berlaku bagi kita sendiri. Masih ingat pesan Stephen Covey? Kita perlu berfokus pada hal yang penting, tetapi tidak urgent dalam kehidupan kita.

Dimuat dalam harian Kompas, 3 Februari 2018

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com