was successfully added to your cart.

SOFT SKILLS IN DIGITAL ERA

SOFT SKILLS IN DIGITAL ERA

TANPA kita sadari, membanjirnya para milenial ternyata juga mempengaruhi gaya komunikasi kita. Kalau pada dekade yang lalu kita masih mengeluh bagaimana mengoptimalkan email untuk membuat komunikasi menjadi lebih efektif dan proses kerja menjadi lebih efisien, sekarang ini dengan perkembangan teknologi terakhir dimana cara berkomunikasi dengan ponsel ini sudah menyatu dengan gaya komunikasi, baik personal maupun profesional, ternyata malah sering membuat kita seolah-olah menjadi warga negara di dunia lain.

Tanpa kita sadari perubahan dunia terjadi dengan sangat drastis. Teknologi, harapan pelanggan, demografi yang bergeser dan memudar batasannya menyebabkan perubahan dalam cara hidup kita, seperti juga dalam bisnis organisasi. Ekosistem korporasi juga berubah sesuai dengan harapan dan kebutuhan pelanggan yang berubah drastis. Pertanyaannya, apakah kita yakin bahwa keadaan seperti ini bisa membawa produktivitas yang lebih baik? Bagaimana dengan engagement karyawan, apakah suasana komunikasi ini membuat karyawan lebih kompak dan mau memikirkan nasib perusahaan ? Seberapa jauh birokrasi bisa menyesuaikan diri dengan era digital ini? Apakah kebiasaan menunggu keputusan, rujukan, disposisi, sekarang bisa menjadi lebih lancar dengan menggunakan bantuan perangkat elektronik ini?

Dalam perusahaan tertentu dimana sistem pengelolaan sumber daya manusia sudah banyak dilakukan secara elektronik, permohonan cuti, ijin tidak masuk pun berjalan secara otomatis. Namun setelah beberapa tahun berjalan, terasa bahwa ternyata engagement menjadi sangat berkurang, karena bawahan merasa tidak perlu lagi menemui atasan untuk persetujuan, tidak ada komunikasi santai dengan atasan mengenai alasan pengambilan cutinya. Alhasil, atasan pun kehilangan kontak mengenai kehidupan anak buahnya di luar kantor. 

Hati-hati deficit empati

Kerja masa sekarang ini memang banyak dimudahkan dengan teknologi. Namun, satu hal yang tidak bisa digantikan dengan mesin terletak pada kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain, memahami, membangun dan membina hubungan. Meskipun supremasi ketrampilan STEM (science, technology, engineering, math), dibutuhkan untuk membangun mesin-mesin yang nantinya bisa menggantikan otak manusia, tetapi ternyata orang-orang dengan kemampuan teknis ini tetap sangat membutuhkan kemampuan sosial, seperti pemahaman kebutuhan manusiawi pelanggan.

Artinya, keterampilan STEM yang canggih ini perlu dikombinasikan dengan kemampuan sosial yang mumpuni. Kita bisa melihat dalam dunia kesehatan, di mana analisa seorang dokter saat ini banyak dibantu dengan program canggih yang meyimpan jutaan database mengenai penyakit, antrean pasien yang panjang terjadi pada dokter yang membuat mereka merasa diperhatikan, didengarkan keluhannya dengan seksama, bukan hanya sekadar datang untuk mengambil resep jitu.

Ada perusahaan yang mengubah budayanya menjadi lebih digital dan modern, ternyata malah mengalami kesulitan karena setiap manusianya tidak terbiasa untuk mengasah keterampilan interpersonalnya. Manajer tidak biasa melakukan corrective action ke anak buah, sesama kolega tidak terbiasa untuk melakukan brainstorming dalam rapat, dan akhirnya pelanggan semakin berkurang karena merasa tidak mendapatkan pelayanan sebagaimana yang diharapkan. Perusahaan ini hanya hidup dari SOP (standar operasi) semata. Secanggih apapun perangkat elektronik yang akan diinvestasikan di perusahaan ini, sangatlah sulit untuk meraih kemajuan yang diharapkan, kalau ketrampilan hubungan interpersonal ini tidak digarap.

Banyak orang mengira bahwa keterampilan empati diperlukan hanya untuk bidang bidang nonbisnis, sementara bidang bisnis apalagi pemerintahan tidak terlalu membutuhkannya. Pendapat bahwa dalam bisnis kita perlu berdarah dingin tidak melibatkan emosi sudah usang. Banyak juga yang mengira bahwa orang yang berempati itu adalah orang yang lembut dan tidak bisa mengambil keputusan yang tegas. Berempati adalah memperdalam pemahaman perasaan orang lain. Dengan memahami perasaan orang lain, kita bisa membuat hubungan interpersonal yang lebih baik dan lebih mendalam. Dan dengan melatih diri, otomatis kita lebih terampil berhubungan dengan orang lain, yang menjadi dasar engagement, motivasi, dan bekerja tim. Empathy is like a muscle: it can be honed and strengthened. 

Perusahaan dengan basis teknologi justru akan menjadi semakin maju dengan kemampuannya mengintegrasikan empati dalam teknologinya. Melalui studi psikologi yang mendalam, Amazon bisa memprediksi buku-buku lain yang senada dengan buku yang sedang dibeli pelanggannya. Steve Jobs bahkan bisa memperkirakan kebutuhan manusia di masa mendatang dengan pemahamannya akan perilaku manusia.

Dari dunia informasi ke dunia konseptual

Daniel Pink, seorang ahli manajemen, meramalkan bahwa orang yang bisa sukses adalah orang yang mempunyai kualitas otak kanan yang lebih kuat, di mana ini akan nampak dalam kemampuan berhubungan interpersonalnya. Mesin seperti Artificial Intelligence bisa mengelola the how dari tingkah laku manusia, tetapi belum pernah sampai  pada the why alias alasan mengapa tingkah laku manusia tertentu itu muncul. ”It is about user centricity within the digital landscape. Organizations can solve the right problems for their specific needs by articulating what those problems are." ujar Todd Clare dari KPMG Digital and Mobile Solutions.

Jadi, justru dengan perkembangan seperti sekarang, fokus kita harus lebih berfokus pada manusia dengan segala dinamikanya. Ketika menciptakan algoritma untuk mesin atau aplikasi tertentu, kitapun tetap perlu membayangkan apa yang akan terjadi pada si pemakai perangkat itu nanti. Kita perlu secepat kilat mempelajari tingkah laku manusia, cepat memahami, dan cepat mengambil kesimpulan yang tepat, karena kita berkejaran dengan kompetitor yang bisa berbentuk individu lain, atau mesin yang sudah diciptakan untuk mengatasi gejala yang sama. Dan akhirnya, kita tak pernah boleh lengah, selalu melakukan perbaikan dari hal kecil sampai yang menyeluruh. People skills will continue to become more, not less, important.

Dimuat dalam harian Kompas, 13 Januari 2018

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com