Berbagai tindakan strategis tampak diupayakan oleh pemerintah untuk mendorong perbaikan. Mulai dari memberi arahan, blusukan sampai kepada reshuffle kabinet yang baru-baru ini dilakukan. Namun tampaknya perubahan yang diharapkan tak kunjung terasa. Dalam pelaksanaannya masih banyak hal yang belum, atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Kita sadar bahwa di balik ajakan “Ayo kerja” yang cukup gamblang, kondisi lapangan tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Namun apakah fakta-fakta tersebut bisa dijadikan alasan untuk tidak melakukan apa-apa? Kita jadi bertanya-tanya, mengapa perubahan demikian lambat? Apakah kondisi lapangan yang demikian kompleks bagaikan benang kusut membuat para pelaksana seperti mengalami learned helplessness? Kita juga melihat hal serupa di organisasi-organisasi yang sudah lama berdiri. Ketika organisasi baru seperti start-ups mampu menembus persaingan dan melesat maju, perusahaan-perusahaan lama yang sudah memiliki jajaran manajemen yang ahli dan berpengalaman malah seperti jalan di tempat. Apakah ini berarti bahwa tidak setiap lapisan manajemen tahu apa yang dikerjakan dan mau mengerjakannya dengan cepat dan tepat? Apakah manajemen puncak hanya bisa terkaget-kaget pada saat hari evaluasi tiba dan ternyata rapor merah yang didapat?
"Follow up"
Beberapa pemimpin perusahaan kecil yang berkembang menjadi raksasa penguasa dunia, berbagi rahasia kesuksesannya:”simple saja, follow-up sangat penting”, komentar Mark Zuckerberg pemilik Facebook. Tentunya untuk perusahaan baru, yang relatif masih mudah dikontrol, follow up bisa terlihat cukup nyata. Setiap hasil rapat bisa dengan cepat ditindaklanjuti dan hasilnya pun dengan segera terlihat. Kita memang tidak bisa menyamakan situasi ini dengan perusahaan besar, yang mungkin memiliki sistem pelaporan canggih, namun kompleksitas birokrasi di dalamnya membuat individu memiliki mindset bahwa follow up bukan bagian dari tanggung jawabnya. Rapat demi rapat kerap dilakukan sampai ada berkomentar, ”Rapat terus, kapan kerjanya?“ Kebiasaan follow up harus digalakkan mulai dari atas sampai jajaran terbawah. Semua orang perlu menghayati bahwa pekerjaannya merupakan rantai proses yang berkesinambungan dan melihat hubungan yang langsung antara sasaran tindakannya dengan hasil yang diharapkan organisasi. Berkomunikasi dan melakukan brainstorming memang sangat penting, tetapi seni pelaksanaan dan seni menuntaskan merupakan kunci utama.
Samakan prinsip
Walaupun alat komunikasi sudah semakin canggih lengkap dengan perangkat monitornya, follow up yang dilakukan oleh jajaran di bawah kita seringkali berjalan alot. Tidak jarang bahkan kita menjumpai orang yang mengejek atasan yang mengejar follow up dengan pernyataan bahwa atasannya itu "tidak mengerti apa-apa”. Sudah pasti atasan dan bawahan tidak berkeahlian sama. Anak buah bisa jadi memiliki ketrampilan yang jauh lebih mumpuni dibandingkan atasannya. Namun kita juga perlu bertanya, sudahkah atasan menularkan prinsip, nilai dan mentalitas yang dimilikinya kepada anak buah? Dengan prinsip, derap dan mentalitas yang sejajar kita baru bisa melakukan perubahan terutama yang berukuran besar dan kompleks. Kesamaan prinsiplah yang bisa membantu jajaran manajemen untuk tidak menunggu solusi dari pimpinan puncak. Dengan prinsip yang sama, anak buah memiliki kebebasan melakukan modifikasi di lapangan sesuai dengan realitas yang dihadapinya. Kepala cabang perlu berperan sebagai CEO kecil di areanya. Mereka harus menghayati target yang diberikan sebagai sasaran pribadinya, mengingat satu arahan dari kantor pusat perlu ditindaklanjuti dengan 1000 langkah lanjutan dengan terjemahan yang bisa berbentuk lain sesuai dengan keadaan di lapangan. Hanya dengan kesamaan prinsip itulah organisasi bisa tetap berjalan. Prinsip yang sama menyebabkan seluruh manajemen dan karyawan, bukan saja saling mengerti, tetapi juga menyadari porsi perannya dan ingin merealisasikan arahannya karena percaya pada prinsip yang sedang diperjuangkan itu.
"Hire people with the same passion"
Kita memang tidak mudah untuk memberdayakan orang yang sudah lama ada di organisasi, yang sudah mengalami banyak pimpinan dan berbagai suasana maupun situasi yang berbeda. Banyak orang yang mengatakan, bahwa passion yang sama alias tingkat kepedulianlah yang paling penting dalam merekrut orang. Namun perlu diingat, ekspertis dan pengalaman yang sudah menjadi aset organisasipun perlu diperhitungkan. Yang bisa kita lakukan adalah "melamar kembali" orang-orang yang sudah berpengalaman di internal organisasi ini, bicara dari hati ke hati, dan mengecek ke mana arah passion mereka. Bangun minat dan komitmen mereka untuk bersama-sama memperbaiki organisasi, seperti yang dilakukan oleh Gerstner ketika ia diminta untuk memimpin IBM. Ia mengurangi jumlah board of directors-nya dari 18 menjadi 12, memilih hanya yang terbaik di bidangnya sehingga ia memiliki kontributor yang sangat kuat, engaged dan efektif. Gerstner membuktikan bahwa dengan penanganan yang tepat, gajah pun bisa diajak berdansa.
Dimuat dalam KOMPAS, 22 Agustus 2015