Hampir setiap hari, apalagi menjelang momen besar seperti pemilu sekarang ini, kita disuguhi perbedaan pendapat dan kepentingan antar berbagai pihak. Bahkan dalam partai yang sama sekalipun, kita melihat bagaimana pimpinan partai menghadapi “jagoan-jagoannya” yang tidak cocok satu sama lain. Dalam situasi menghadapi perbedaan dan oposisi inilah kita bisa melihat kematangan pemimpin diuji. Pimpinan partai dihadapkan pada tantangan untuk mendamaikan dan memastikan bahwa tidak ada di antara kedua jagoannya yang mundur. Kondisi yang sama juga kita saksikan nanti, ketika pemimpin negara, perlu bersikap ‘fair’ terhadap semua partai politik, yang berbeda misi dan paham. Dalam perusahaan pun, kerap kita melihat kebijaksanaan seorang pemimpin diuji, apakah ia bisa menghandel dua atau lebih pihak dengan perbedaan pendapat dan kepentingan, dengan tetap menjaga pencapaian targetnya, bahkan visi dan misinya.
Kita sesungguhnya tahu bahwa dalam banyak hal, oposisi bisa dimanfaatkan sebagai “second opinion” atau juga pemberi pandangan lain. Pemimpin yang bijaksana, jelas akan bisa mengintegrasikan kepentingan golongannya dan oposisinya, untuk menghasilkan keputusan dan pertimbangan yang lebih kaya. Namun, mengapa banyak orang yang tidak menyukai konflik atau oposisi? Kita bisa melihat, beberapa individu menganggap oposisi dan perbedaan sebagai suatu “disaster”. Jangankan berpikir untuk berkawan atau memelihara oposannya, kerap kita melihat satu pihak “melibas” pihak-pihak yang tampak tak sejalan. Orang seperti ini, oleh seorang ahli dikatakan sebagai orang yang berpikir sangat tradisional alias “kuno”, lebih kuno daripada abad ke 17. Pada masa sebelum Renaissance, kita mengenal seorang pemikir bernama Medici. Ia justru mengumpulkan pemikir-pemikir dari berbagai bidang ilmu, dengan pandangan yang berbeda-beda, agar dapat menemukan berbagai solusi tajam atas permasalahan yang kompleks yang sudah menjadi masalah klasik. . 60 tahun yang lalu, F. Scott Fitzgerald, sudah pernah menulis bahwa individu yang bisa berpegang pada dua ide bertentangan, mempertahankan, bahkan menahan ketegangan dari konfliknya, dan kemudian menjalankan fungsinya dengan efektif, adalah orang yang betul-betul inteligen.
Pertentangan yang Menguntungkan
Lihatlah posisi jempol kita. Kita bisa menyadari bahwa posisi kedua jempol tersebut berseberangan. Justru dengan adanya “pertentangan” ini, kita bisa melakukan banyak hal. Kita bisa mengangkat benda berat, merajut, juga melakukan hal-hal motorik halus, seperti pembedahan laparoskopi. Dari tubuh kita sendiri, begitu banyak contoh betapa posisi, fungsi dan peran yang “berlawanan”, misalnya otak kiri dan otak kanan, bila dioptimalkan akan memungkinkan kita melakukan analisis secara kreatif, sehingga solusi yang dihasilkan bisa lebih memuaskan. Bayangkan betapa ruginya bila kita tidak mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan tentang hidup untuk memanfaatkan 2 hal yang bertentangan ini. Bila kita tidak terbiasa melakukan tek-tok antara 2 ide yang berbeda, kita jelas akan kehilangan kesempatan mendapat ide baru. Ini sering terjadi pada kita, bukan?
Kita tentu merasa kagum bila melihat tindakan seorang eksekutif yang mengambil keputusan yang ‘pas’ dan simpel, namun bisa tepat menyelesaikan masalah kompleks yang ada. Kita bisa melihat bahwa sebetulnya ia melakukan proses pikir yang mendalam dan terus-menerus. Sebaliknya, ada eksekutif yang terbiasa sekedar meminta laporan, usulan dan masukan anak buahnya, lalu meneruskan lagi pada atasannya, hampir-hampir tidak lagi mengolah pemikirannya lagi. Praktik ini memang sah-sah saja, namun berakibat pada cara pikir bersangkutan, yang akhirnya jadi sangat kaku dan simpel. Bila kita terbiasa berpikir dikotomis: “salah atau benar”, tanpa mendalami adanya hal-hal positif yang dimiliki berbagai sisi, maka kesempatan kita untuk berpikir ‘out of the box’ pun hilang. Namun, mengapa banyak orang tetap saja menggunakan pola pikir linier dan konvesional? Ternyata, berpikir kompleks membuat adrenalin berproduksi lebih keras, sehingga juga memicu stres. Kebanyakan orang menghindari hal-hal ambigu dan kompleks, memilih hal-hal yang simpel dan terang, karena tidak kuat menahan ketegangannya. Itu sebabnya, individu yang terbiasa berpikir mendalam, akan lebih terlatih menghadapi stres. Sebaliknya, individu yang terbiasa berpikir linier dan konvensional cenderung lebih rentan dalam menghadapi stress.
“Integrative thinking”
Dari wawancara dengan 50 CEO, seorang ahli manajemen menemukan bahwa semua pimpinan itu berpikir mendalam, berpikir kompleks. Salah seorang CEO muda yang sukses, Bob Young, ‘founder’ dan mantan pemilik Red Hat, perusahaan software yang sukses, bahkan berhasil mencampur logika perusahaan yang kaku seperti Microsoft dengan pemikiran ‘open source’ dari Linux. Dengan berpikir terintegrasi, ia malah bisa menawarkan jasa-jasa yang memanfatkan linux secara gratis, namun menjual berbagai aplikasi, yang menyerupai jasa Microsoft. Young mengatakan:”We must resist our natural leaning toward simplicity and certainty”. Jangan berpikir memilih salah satu dari opsi yang ada, namun selalulah berpikir “ini dan itu”, mengabungkan, mengintegrasikan. Mungkin, hal ini jugalah yang bisa kita temukan pada pimpinan BUMN yang sukses seperti Ignasius Jonan atau Tommy Sutomo. Beliau-beliau inilah yang tampak selalu mengeluarkan solusi praktis, namun dibaliknya tidak berhenti berpikir. Dalam berpolitik, bila pemikiran pemimpin selalu satu sisi dan tidak terintegrasi, maka jelas-jelas negaralah yang dirugikan. Kita pun, sebagai professional, harus senantiasa melatih berpikir terus-menerus dan mendalam, agar senantiasa bisa memberi nilai tambah yang bisa kita berikan untuk kebaikan organisasi dan masyarakat.
(Dimuat di KOMPAS, 15 Maret 2014)