Seorang manajer yang sangat jago dalam membagi kerja, melakukan ‘people management’, menerapkan’excellence’ di timnya, suatu saat tercengang karena anak buahnya mengeluhkan kurangnya kedekatan tim. Ketika hal ini dipertanyakan, argumentasinya adalah bahwa anak buahnya sudah bertambah banyak, sehingga tidak lagi bisa ditraktir bersama-sama seperti saat jumlah anggota timnya masih sedikit. Hal ini ia akui menjadikannya kehilangan ‘feel’ pada anak buahnya. Bertambah besarnya tim, kesibukan mengejar bisnis, adanya prioritas dan urgensi tugas lain, memang satu dari sekian banyak hal yang bisa menjadi penghalang kita untuk menjalin kedekatan personal dengan rekan kerja kita. Padahal, kita tahu, kedekatan personal jelas-jelas bisa menciptakan ‘magic’ yang membuat semangat kerja menjadi ‘tidak ada matinya’.
‘Personal touch’ sebenarnya tak selalu perlu diartikan secara harafiah, ‘person to person’ bertatap muka. Pak Jokowi, sejak kepemimpinannya, bisa membuat orang merasa dekat dengan sosoknya. Kehadirannya, sikap terbuka untuk mendengar dan berkomunikasi, menjadi ciri yang membuat orang merasa ‘dekat’. Pak Ahok kita kenal berusaha meladeni semua orang yang meng-sms. Meski ia pun mungkin dibantu asistennya, namun sikap responsif menunjukkan betapa ia ‘hadir’ untuk melayani. Bapak Ignasius Jonan, justru dalam deskripsinya mengenai 27000 karyawannya, bisa menggambarkan betapa ia dekat dengan karyawannya. Kedekatan dibangun dalam bentuk kultur, di mana siapa saja bisa masuk kantor pimpinan, bisa mengatakan apa saja, bahkan bisa mengatakan “tidak” bila diperlukan. Kultur seperti inilah yang dibentuk oleh para pemimpin yang berfokus pada manusia.
Pentingnya Umpan Balik Interpersonal
Bila kita ingin bekerja efektif dan berbobot, kita perlu menyadari betapa tiap individu membutuhkan pemahaman bersama, hati ke hati, tentang apa ‘impact’ yang ia buat terhadap orang lain. Pimpinan perlu mengecek dan merabarasakan, bagaimana anggota timnya menerima apa yang ia sampaikan dalam ‘morning briefing’. Dengan menggali umpan balik, terbuka terhadap kritik, kita akan mempunyai kesempatan untuk menyesuaikan pendekatan kita. Kita perlu dengan kepala dingin mengevaluasi bagaimana reaksi kita terhadap umpan balik. Apakah kita mendalami isu yang disampaikan oleh anak buah atau malah ‘kill the messenger’, menyerang individu yang memaparkan brutal facts? Apakah kita terbuka menerima fakta pahit atau malah menutup salurah umpan balik, entah karena sikap pemarah, atau tidak mau mendengar, atau keras kepala? Bila kita tidak berlatih untuk menerima umpan balik, bukankah kita bisa kehilangan monitor yang super-penting? Bisakah kita membayangkan berada di lingkungan kerja, di mana kita tidak bisa buka mulut, dan harus membiarkan hal-hal yang tidak menguntungkan terjadi bahkan berlanjut?
Teman saya yang betul-betul percaya pada “personal touch”, mempraktekkan, mencontohkan, bahkan membuktikan bahwa memberi kritik kepada dirinya akan berdampak positif. Senegatif-negatifnya kritik, ia mengupayakan emosi dan sikap positif. Hal ini menyebabkan orang lain, di sekitarnya juga mempunyai kesiapan untuk tantangan dan menghadapi situasi yang sulit. Orang jadi mempunyai rasa’trust’ dan merasa ‘aman’’ walaupun umpamanya berbuat salah atau kurang perform.
Emosi, kerap kali kita pandang sebagai suatu hal yang negatif dan tidak ‘businesslike’. Bukankah ini pun perlu mulai kita pandang secara berbeda? Pembicaraan mengenai apa yang kita rasakan, membuat hubungan interpersonal lebih mudah. Bila kita menegur, dengan dilengkapi ungkapan perasaan, misalnya:”Kamu jangan tersinggung ya, aku pikir rok mu terlalu pendek, sehingga hal ini mengganggu konsentrasi teman-temanmu, baik pria maupun wanita”. Teman yang tadinya bisa tersinggung, karena sudah ada introduksi yang menyatakan bahwa pembicara mempertimbangkan emosinya, jadi lebih siap menerima masukan. Emosi seperti kaget, kecewa, terharu, sedih, bisa kita gunakan sehari-hari sebagai bumbu hubungan, di mana kita mendapatkan dampak emosional di samping hubungan kerjanya. Kita juga perlu bisa menjaga ‘rasa’ di lingkungan kerja kita, dengan menjaga ungkapan-ungkapan yang dominan positif. Seorang ahli mengatakan, antara dampak positif dan negatif harusnya ber perbandingan 5 : 1. Tidak ada salahnya royal memberi pujian pada individu yang memang kita tahu berupaya, bekerja keras dan pantas menerimanya. Dengan begini suasana ‘person to person’ bisa dijaga.
Banyak Melayani
Kita sebagai manusia sering mempunyai rasa gengsi juga, sehingga terbiasa untuk bersikap pasif dan ‘menunggu’. Padahal, apa yang kita harapkan bila kita pasif? Kita tahu benar betapa hubungan antar manusia itu selalu timbal balik. Ada yang mengatakan: “Bila ingin dicintai, berikan cintamu terlebih dahulu”. Hal ini juga berlaku di setiap situasi. Selama kita hidup, emosi tidak akan ada habisnya. Itu sebabnya, kepedulian kita ke anak buah dan lingkungan sekitar perlu kita latih dan praktekkan. Hal yang sederhana, seperti ulang tahun, perkawinan, dan kematian orang orang di sekitar kita, bisa kita ‘ikuti’ dengan lebih intensif. Ini adalah latihan kita untuk lebih ‘care’, lebih bersentuhan emosi dengan orang sekitar. Hal ini bisa dianggap sepele oleh sebagian orang, namun dalam kenyataannya, pemimpin yang banyak mengenal keluarga anak buah biasanya lebih disukai dan didukung oleh anak buahnya. Inilah dampak dari ‘personal touch’-nya.
Seorang pakar manajemen dari Harvard mengatakan bahwa orang yang ‘kalah power’ biasanya lebih peka terhadap kesenjangan yang ada dalam ‘values’ yang dianut para pimpinan dan juga lebih jeli melihat kebiasaan-kebiasaan mereka. Jadi, kita sebetulnya perlu juga memberi gambaran kepada orang lain tentang ‘value’ yang kita anut. Kitalah yang perlu aktif meminta tolong, meminta feedback, meminta orang lain untuk berpartisipasi. Kedudukan seseorang sebagai pimpinan tidak perlu menghentikan seseorang dari meminta dan melayani. Atasan atau pimpinan bisa berbuat salah, tetapi bila sudah ada keterbukaan, dan hubungan yang dirasakan ‘pribadi’ , maka bawahan pun akan berempati terhadap sukses dan gagalnya. Jadi, transparansi adalah prinsip utama dalam peningkatan ‘personal touch’ di organisasi. Transparansi dalam belajar, beremosi dan berkebiasaan.
(Dimuat di Kompas, 15 Februari 2014)