Integritas memang isu yang tidak ada habisnya. Saat menulis bukunya, The Millionaire Mind, Thomas J. Stanley mendapatkan jawaban yang seragam dari 733 miliuner yang ia wawancarai, yaitu betapa pentingnya integritas sebagai kunci sukses para pebisnis sukses tersebut. Bagi mereka, integritas bukan hanya menekankan pentingnya bersikap jujur, tetapi juga pentingnya memperkuat prinsip-prinsip moral yang diterapkan di perusahaan. Hal ini berarti tidak sekedar melarang menerima gratifikasi ataupun korupsi, melainkan mengupayakan agar semua individu di dalam organisasi mengembangkan sikap luhur yang utuh secara menyeluruh. Ini yang tentu harus kita juga kaji dalam pengembangan kultur integritas di dalam organisasi kita, bukan? Tidak semata menggaungkan kejujuran, menuntut kepatuhan yang kaku pada peraturan dalam poster campaign di seluruh organisasi, namun mengajak individu untuk mengembangkan kualitas pribadinya secara utuh.
Adakalanya ada atasan yang meminta staffnya untuk menolak tamu yang tidak disukai, dengan mengatakan bahwa beliau tidak di tempat. Begitu kita menganggap bahwa instruksi itu bisa dituruti karena ini dipandang sebagai hal yang sepele, kita sebetulnya juga bisa berpikir bahwa kita juga boleh berbohong dalam hal lain, seperti apa yang dilakukan oleh atasan kita. Dari contoh situasi kecil ini saja kita bisa melihat betapa integritas tidak gampang dikembangkan. Begitu banyak alasan yang bisa kita karang, bila misalnya, pengiriman barang tidak tepat waktu, lupa dengan kesepakatan yang dibuat, atau kita ‘kabur’ dari suatu pertemuan dengan alasan yang dibuat-buat. Situasi-situasi ini, sering membuat kita tidak kunjung berhasil untuk menegakkan integritas di dalam organisasi. Dari bagaimana individu berespon dan bersikap terhadap hal-hal kecil, kita sesungguhnya bisa membaca ada atau tidaknya integritas di lingkungan tertentu. Kita bisa menduga apakah kultur perusahaan memang tidak konsisten dengan nilai luhur yang dijunjung tinggi, yang biasanya tertera di dinding-dinding ruang kerja. Bayangkan betapa mudahnya pelanggan pergi bila merasakan adanya ketidakkonsistenan dalam pelayanan dan nilai. Karyawan sendiri pun tentu tidak akan nyaman, apalagi bangga, berada di organisasi yang tidak menegakkan integritas. Jelas, menanamkan integritas di perusahaan tidak semudah kita mengatakan atau mengumumkan di dalam acara sosialisasi saja. Namun, hal ini begitu krusial untuk digarap, bila tidak ingin pelanggan dan karyawan potensial merasa frustrasi.
Misi yang Memperkuat Integritas
Seorang CEO yang meyakini penanaman integritas sebagai kunci perubahan organisasi, ketika diwawancara mengatakan, bahwa beliau berupaya memperkuat ‘sense of purpose’ bagi seluruh jajaran. Jadi bentuk integritas terletak pada kejelasan misi perusahaan, sehingga setiap karyawan bisa dengan mudah menerapkannya. Katakanlah misi sebuah perusahaan angkutan adalah melayani kebutuhan dan keamanan pelanggan. Tindakan karyawan yang tidak membuat penumpang ’happy’ ataupun merasa aman, akan berlawanan dengan tujuan perusahaan. Dengan demikian, tujuan karyawan adalah agar semua pelanggan yang dilayani bisa merasa ‘aman’ dan dimudahkan.
Bila setiap karyawan kita dilengkapi dengan pemahaman tentang misi perusahaan, ia setidaknya akan mengetahui ‘Demi apa ia harus memuaskan pelanggan’, ‘Demi apa ia harus memperbaiki produk’, ‘Demi apa ia harus begadang menyelesaikan proyek’. Misalnya, perusahaan Negara bisa langsung mengaitkan kepentingan ‘bela negara’, sehingga karyawan bisa merasa dirinya sebagai ‘patriot’ yang berkontribusi bagi kemajuan dan kesejahteraan Negara. Perusahaan swasta pun bisa menggambarkan misi yang lebih mulia daripada sekedar mencari untung saja, misalnya mengembalikan sebagian laba kepada kesejahteraan karyawan, pengembangan karyawan dan juga pengembangn perusahaan. Berarti karyawan yang bergadang tahu bahwa misi kerjanya tidak sekedar memperkaya empunya perusahaan, tetapi mereka tahu bahwa tujuan kerjanya adalah juga untuk kesejahteraan dan pengembangan diri mereka sendiri.
Saat individu jelas dengan misi yang ia jalankan, mustahil orang melihat bahwa fungsinya di pekerjaan lebih penting daripada fungsi orang lain. Tanpa susah-susah, setiap fungsi pun otomatis akan menghargai fungsi lain, bahkan berusaha mendekatkan diri agar bisa berkolaborasi lebih efektif. Bagian pembelian, ‘engineering’, customer service mengerti bahwa mereka harus bergandengan tangan demi sasaran bersama: peningkatan kepuasan pelanggan. Pemahaman atas tanggung jawab ini pun tidak lepas dari integritas, bukan? Hanya dengan organisasi yang ‘clear’ seperti inilah kita bisa memperbaiki kualitas kepribadian individu sampai ‘ke dalam’.
Integritas yang Menyehatkan
Banyak pimpinan yang tidak menyadari bahwa ‘fairness’ juga bentuk dari integritas. Itu sebabnya, dalam memberi upah dan hukuman kita juga perlu mempertimbangkan integritas . Orang yang berkinerja perlu dihargai dan yang tidak berkinerja perlu pula mendapatkan peringatan. Ada perusahaan cenderung memberi ‘lebih’ kepada para karyawannya, namun pemberian ‘reward’ ini sering tidak ditinjau secara obyektif. Individu yang tidak berkinerja dihargai, dan sebaliknya yang berkinerja dilupakan. Bahkan, ‘upah’ yang ‘intangible’ seperti pujian, penghargaan, respek, dan ‘permainan politik’ yang tidak pas, bila tidak dilakukan dengan ‘fair’, bisa membuat individu yang kinerjanya baik menjadi frustrasi dan kehilangan semangat untuk mensupport perusahaannya. Tidak konsistennya pemberian upah ini akan berdampak pada pengembangan integritas. Terasa bahwa menanamkan integritas hanya akan ampuh bila diikuti dengan praktik-praktik yang ‘walk the talk’, bahkan tercermin di dalam system yang mengedepankan ‘fairness’. Kita perlu membuat sebuah arsitektur integritas dalam satu lingkungan sehingga perusahaan benar-benar bisa dipuji karyawannya sendiri, dan karyawan bangga bekerja di perusahaan ini.
Karyawan dengan integritas dirinya kuat, pastilah akan terlihat lebih keren daripada yang lain. Ia tidak akan melecehkan teman kerja. Ia pun tidak mengenal waktu. Ia tidak mengaku-aku pekerjaan orang lain. Pada dasarnya, setiap individu pastilah lebih happy bila ia menyadari dirinya menjalankan nilai-nilai luhur, menjadi manusia berkualitas yang ‘happy dengan dirinya sendiri’ dalam menjalankan misi perusahaan. Jadi, sebetulnya individu pun secara naluriah akan mendukung upaya penanaman integritas yang ujungnya akan membuat dirinya merasa lebih berharga.
(Dimuat di Kompas, 18 Januari 2014)