Seorang teman khawatir dengan masa depan tempat kerjanya. Bisnis yang dulu begitu meriah, saat sekarang terlihat layu. Ia melihat ada kemungkinan suatu saat terjadi PHK atau paling tidak perusahaan menciut. Hal ini membuatnya galau karena merasa tidak bisa bergantung lagi pada perusahaan tersebut. Kekhawatiran ini juga dialami beberapa teman, yang melihat perkembangan bisnis tidak terlalu menjanjikan di tahun 2014. Ada pemilu-lah, banyaknya korupsi-lah, kesemuanya ini membuat kita gamang menghadapi masa depan, baik masa depan karir, perusahaan atau negara. Apakah kita sendiri pun merasakan hal yang sama? Kemanakah kita seharusnya menggantungkan diri? Bagaimana kita seharusnya bersikap terhadap kegalauan masa depan?
Era baru dari dunia kerja sudah terjadi sekarang. Perubahan ekonomi dan teknologi sekarang tidak bisa ditahan-tahan. Dari populernya telpon yang super canggih, kini muncul beragam telpon murah yang bisa berfungsi segala macam. Pekerjaan yang dulu dianggap bagus bisa tiba-tiba dirombak atau bahkan dibubarkan satu divisi karena dianggap sudah ‘basi’. Pendidikan dan ‘background’ yang kita sudah kantongi bisa saja tiba-tiba tidak memadai untuk memenuhi tuntutan jaman. Jadi, masa depan bisnis, perusahaan tempat kita bekerja, situasi politik, kesemuanya ini bukanlah alasan tunggal untuk menyebabkan kekhawatiran kita menghadapi masa depan.
Saat kita menatap masa depan, kita bisa jadi bertanya, siapa yang membentuk masa depan? Ada yang mengatakan bahwa dunia akan ditentukan oleh “generasi C”, yaitu para milenial yang hidup di alam digital. Namun, ternyata ada hasil penelitian baru yang mengatakan bahwa mayoritas pengguna facebook dan produk ‘smartphone’ lainnya adalah orang-orang berusia 50 tahun! Jadi, dunia digital dan masa depan kita bukan pula monopoli anak-anak muda yang belum berpengalaman. Ternyata, baik individu yang menemuni wirausaha ataupun tergabung dalam organisasi, sukses karir kita bergantung pada sejauh mana kita bisa menawarkan sesuatu yang baru: produk baru, ide baru atau solusi baru. Semua yang tidak baru itu usang, dan kalau kita tetap bertahan pada yang lama, maka bisa dikatakan kita hidup di masa lalu. Brian Solis, pengarang buku ‘What’s the future of business”, menyebutkan: “If you’re not asking questions about what’s different today, you’re on a path of complacency,” Ini saat di mana ‘harga’ kita tergantung pada kemampuan kita untuk berbeda dan berubah. Talenta yang ‘laku’ dipasaran sekarang adalah talenta individu yang sanggup berperan sebagai ‘change agent’.
Cara Pikir Gaya Baru
William Mulock, hampir seabad lalu sudah mengatakan: “The best of life is always ahead, always further on”. Lihatlah betapa filosofi itu masih sangat sesuai dengan kondisi kita sekarang. Kita memang tidak bisa diam dan puas diri, kita harus terus bergerak dan memandang ke depan. Situasi yang kita hadapi selalu butuh perbaikan. Tidak selamanya kita bertindak agar lebih baik dari kompetitior, namun setidaknya kita bisa selalu berbuat untuk lebih baik dari keadaan diri kita sendiri saat ini. Dan, kita bisa melihat bahwa kendalinya ada dalam diri kita. Disorientasi, frustrasi, kebingungan akan muncul justru pada ketidakinginan kita untuk bertanggung jawab. Terasa benar bahwa kita memang perlu menambah bobot tanggung jawab kita terhadap perubahan yang kita hadapi. Kitalah penarik pedati perubahan, bukan atasan atau CEO kita, bukan juga pelanggan kita. Peran apapun yang kita pegang di organisasi, kita butuh untuk mengembangkan cara pikir baru, yaitu cara pikir entrepreneur. Kita perlu punya inisiatif perbaikan, perlu menghitung efisiensi dan efektivitas kerjanya, perlu tahu apakah upaya kita memberi kontribusi signifikan pada laba atau pertambahan nilai organisasi. Bahkan, kita juga perlu waspada terhadap keadaan-keadaan yang sudah mulai ‘basi’ di sekitar kita.
Alan Kay, seorang tokoh perintis di bidang komputer pernah berkata: “A change in perspective is worth 80 IQ points”. Dari sini kita diingatkan kembali betapa cara pikir kitalah yang menentukan kesuksesan masa depan kita, perusahaan kita, lembaga tempat kita bekerja, bahkan negara kita. Kita perlu mengevaluasi apa pikiran, praktik, aturan yang sudah usang dan membuat kita tidak bisa bergerak lincah di dunia kerja. Misalnya saja, bila kita masih berpikir internet perlu dengan ketat dibatasi, individu perlu diatur secara ketat dengan segala peraturan perusahaan yang detil dan rumit, kita bisa jadi menyuburkan praktek usang yang malahan menghambat kreativitas. Ini adalah dunia hiperkonektivitas, di mana kita perlu memanfaatkan individu yang bisa ‘memilih’ data, menyebarkan berita, karena ia berkoneksi banyak di media sosial maupun di lingkungannya. Jangan lupa, kita harus berada ‘on business’ bukan ‘in business’.
Attitude Brings Fortitude
Akuntabilitas terhadap masa depan sebetulnya perlu dipegang oleh semua individu yang ingin menentukan masa depan. Jadi, sebetulnya bukan teknologi yang menentukan, bukan juga segala macam ukuran hasil riset yang ada di pasar. Kita membutuhkan kekuatan mental dan emosional dalam menghadapi kesulitan, bahaya, dan cobaan-cobaan lainnya dengan gagah berani. Kapasitas kita untuk menumbuhkan kompetensi, know-how, dan pengetahuan tidak boleh kempes. Bahkan orang-orang yang haus ilmu, dan berambisi untuk berkembang teruslah yang dianggap normal dan bisa di’ajak’ untuk tetap maju dan mempunyai ‘competitive advantage’.
Kita juga perlu menyadari bahwa sikap menarik, disukai dan pandai berkawan, merupakan nilai plus yang besar dalam perubahan. Lihat saja Pak Jokowi, yang terkesan sederhana namun bisa begitu kuat memberi pengaruh. Bukankah yang ditunjukkan pak Jokowi adalah sikap untuk merangkul, berdialog, sehingga orang nyaman dengan beliau? Dalam era penuh perubahan dan ketidakpastian begini, seringkali kita perlu menawarkan sesuatu yang baru, yang mengandung resiko dan bisa jadi tidak bisa diprediksi kesuksesannya. Dari sini kita melihat betapa kita butuh ketrampilan mempengaruhi orang lain, karena orang hanya mau menurut pada orang yang dikagumi dan disukainya. Kitapun harus tahu bagaimana membangun ‘rapport’, menjadi komunikator yang ber-impact, menjadi ‘master’ dalam resolusi konflik dan berdiplomasi. Ketrampilan ini tidak bisa hanya dimonopoli oleh orang-orang yang bekerja dibidang humas saja,karena kitalah yang perlu menghumaskan pendapat kita dengan benar. Jadi, bila di akhir tahun ini kita biasa membuat “resolusi” untuk mengembangkan kemampuan diri, pastikan bahwa kita tidak lupa mengasah kemampuan komunikasi, persuasi, lobi dan negosiasi. Nah, bukankah kita bisa memulai tahun 2014 ini dengan optimis?
(Dimuat di Kompas, 28 Desember 2013)