was successfully added to your cart.

Kita memang mengakui betapa dinamika bisnis, kompetisi dan bernegara memang semakin rumit dan kompleks. Kondisi ini membuat kita melihat banyak pemimpin yang sering mengeluhkan orang lain di depan umum atau bahkan memelas di depan umum, menganggap dirinya adalah korban ‘unfairness’, kecurangan dan sikap agresif dari pihak lain.. “Victim-syndrome” ini semakin lama memang semakin trendi. Mengapa? Karena dengan mengumandangkan keadaan ini kita secara tidak langsung menyatakan bahwa:"the world that is not fair" , "The world owes me""I really deserve a better deal" ..Ada orang yang mengatakan bahwa individu seperti ini, memang memanfaatkan ‘emosi’ sebagai alat menarik simpati. Mungkinkah letak ‘fair’ dan “tidak fair’ nya kehidupan yang menyebabkan seseorang merasa berhak untuk mengeluh terus terusan? Bagaimana dengan Nelson Mandela yang selama beberapa dekade di penjara tanpa kebebasan, namun tetap tidak terlihat sedikit pun mengeluh?

Logikanya, pemimpin adalah orang yang didengar dan mempunyai pengikut. Keputusannya berdampak besar, suaranya selalu didengar. Orang akan menyoroti: “Apa kata si pemimpin?”. Itu sebabnya, seorang penulis, Kevin de Young pernah mengatakan: hal terburuk yang bisa dilakukan seorang pemimpin adalah merengek dan mengeluh. dan kalau yang didengar kata kata cengeng, follower pasti kecewa. “The more people who report to you, the more people who can be upset with you”. Tentunya, pemimpin adalah manusia juga, tetapi tentunya ada cara agar supaya musibah ataupun hal yang merugikan tidak diratapi di depan umum.

Kita memang kerap tidak bisa menghindari musibah. Teman saya mengatakan, bahwa ketika ayahnya meninggal pada saat ia berusia 9 tahun, ia  merasa dunia runtuh. Seusai pemakaman, ketika semua orang bubar, ibunya mengatakan:”Kau lihat kerumunan orang itu? Hari ini mereka menyatakan belasungkawa. Besok, kita sudah sendirian. Jadi kita harus tegar.” Mungkin ketegaran seperti inilah yang juga menyebabkan Nelson  Mandela bisa menularkan ‘sense of authonomy’, bahkan ke presiden Obama, dari dalam penjara. Kita bisa menyaksikan keharuan Pak Jonan ketika melepas ke 3 awak lokomotif di upacara penguburan, dan kita tidak bisa membayangkan betapa lemas tidak bertenaganya yang bersangkutan yang baru saja mendarat di Kualanamu dan tidak bisa segera pulang. Ratapan tak akan ada artinya, bahkan  arahan untuk ‘bouncing back’ yang ditunggu para ‘followers’nya harus dikeluarkannya segera. Jonan segera mengeluarkan 3 tindakan yang perlu dilakukan terhadap korban, jalur kereta apa, dan penanggulangan gaanti rugi terhadap semua pihak. Dalam kekecewaan yang parah, keluhan tidak memberi solusi.

Di jaman yang bergerak cepat, baik secara ekonomi maupun pengetahuan dan inovasi, kita memang tidak bisa mengandalkan pikiran saja. Perasaan juga perlu di manage. Perasaan yang timbul sebagai akibat pengalaman sehari hari perlu dikelola. Kita perlu mendekati perasaan kita dengan serius, dan siap menggarapnya dengan penuh perhatian, berlandaskan nilai yang kita anut, dengan cara yang produktif. Inilah yang sering disebut:”emotional agility”. Dengan bekal emotional agility yang kuat, individu bisa bekerja lebih efektif, karena bisa menanggulangi stres, mengurangi kesalahan , dan menjadi lebih inovatif.

Waspadai ‘Self Pity’

Sebagai individu dewasa, ternyata kita sering memelihara perasaan negatif, terkait dengan kejadian-kejadian yang menimpa diri sendiri. The Passive-Aggressive Pride of Self-Pity  di mana seseorang menyombongkan pengorbanannya, dan akibat perbuatan orang lain, bahkan penderitaannya  tanpa rasa, bahwa ia sebenarnya menurunkan  martabatnya. Teori psikologi mengatakan, saat seseorang mengalami rasa terpuruk, misalnya tertimpa musibah, sampai kematian, ia perlu bangkit dari perasaan lemah dan ratapan, paling lama 6 bulan. Apabila, kita adalah sosok pimpinan dan dijadikan panutan oleh ‘followers’ kita, tentu kita harus bangkit lebih cepat lagi, menampilkan otonomi dan kekuatan kita, tidak boleh cengeng. Bila kita merasa sedih, misalnya karena banyak orang yang tidak menyukai kita, sentimen dengan program yang kita buat, melupakan hal-hal baik yang telah kita lakukan, menunjukkan “self-pity” jelas tidak akan memberi hasil positif apapun. Kita boleh saja berkontemplasi, refleksi, ataupun bahkan berdoa, namun yang pasti ‘self pity’ tidak akan membawa kita ke mana-mana, karena hanya akan menggaungkan kepedihan kita keluar dan mempengaruhi ‘mood’ orang lain.

Kita mempunyai perasaan. Kita bisa sakit. Kita boleh takut. Terkadang kita pun boleh mundur. Tetapi kita sebagai individu perlu sadar, bahwa merengek dan mengasihani diri tidak akan berguna.

Tanggung jawab emosional

Orang berkekuatan emosi, biasanya mendapat kekuatan dari tanggung jawab terhadap perasaannya. Dengan keyakinan bahwa ialah yang bertanggung jawab mengkontrol perasaannya, ia justru terlatih untuk menjadi orang yang kuat emosinya. Bagaimana caranya? Pertama, mereka bisa meraba-rasa perasaan, mengenalinya, dan memberi ‘nama’ pada perasaan tersebut. Ketika, misalnya, ia merasa “emosi” karena mendapat kritik, ia perlu dapat membedakan, apakah emosi yang ia rasakan kecewa, marah, sedih atau takut, karena masing-masing emosi itu berbeda. Kalau kita terlatih mengenali dan memberi judul yang tepat pada perasaan kita, kita pun tidak akan sulit untuk mengkomunikasikan, terutama kepada diri sendiri dan juga pada orang lain. Langkah selanjutnya adalah memutuskan bagaimana membuat perasaan yang negatif tidak seterusnya bersarang pada diri kita. Untuk itu kita sering memerlukan analisa terhadap nilai-nilai yang kita pegang teguh. Saat saya berpegang pada kebenaran, saya tidak perlu merasa takut diintimidasi atasan. Berpegang pada  afirmasi nilai ini, kita kemudian bisa mengambil tanggung jawab penuh terhadap perasan kita dan mengambil tindakan yang sesuai. Kebiasaan ini akan membuat kita senantiasa ‘bounce back’ bila merasa terpuruk. Seperti yang dikatakan Bill Gates: “Life is not fair. Get used to it”.

(Dimuat di Kompas, 14 Desember 2013)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com