Sering sekali kita mendengar dalam rapat-rapat penting, sekelompok eksekutif dengan malu-malu mengatakan: “Kok kita tidak kepikiran tentang hal itu ya…” Padahal solusi atau celah yang dikemukakan orang lain adalah sesuatu yang tidak hebat-hebat amat, sehari-hari dan simpel. Itulah ‘common sense’. Sebegitu langkanya sehingga ada ahli yang mengatakan: “If it is so uncommon, why people call it ‘common sense’?
‘Common sense’, menurut pendapat modern adalah penilaian yang sangat masuk akal terhadap suatu situasi. Sesederhana seperti tidak menyentuh radiator mobil saat panas, membawa baju hangat saat akan pergi ke daerah dingin, tidak banyak bergurau saat melayat orang meninggal atau bahkan sekedar menyampaikan “maaf” jika kita merasa kata atau perbuatan kita menyakiti atau tidak berkenan bagi orang lain. Singkat kata, common sense adalah penilaian yang sangat ‘lazim’, yang didapat dari pengetahuan dan pengalaman dalam kejadian sehari-hari, di mana kehadirannya tidak terlepas dari segala macam proses logika dan pendapat pribadi. Di
Kita semua sejak lahir sudah memanfaatkan persepsi, memori, proses pemikiran, kewaspadaan, berhitung, sedikit ramalan dan penilaian. Kesemua proses pikir inilah modal dalam memberdayakan ‘common sense’. Yang sering membuatnya macet adalah bila salah satu dari banyak proses ini tidak di kembangkan, sehingga proses pikir lainnya yang akan bekerja intensif. Katakanlah seorang yang dalam pekerjaannya banyak membuat penilaian yang dilandasi fakta tertulis dan tercatat, bisa saja kehilangan kebiasaan untuk memanfaatkan imajinasi, pengalaman dan kewaspadaannya dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, individu bisa menjadi ‘kering’ dan tidak berwarna dalam memandang situasi atau kepayahan dalam menyelesaikan masalah.
“Common sense” = Tahu Esensi
Dalam kelas-kelas kreativitas yang kami laksanakan secara rutin, sering peserta pelatihan yang baru mempelajari cara pikir yang melebar, ‘out of the box’, terjebak ketika mereka harus mendefinisikan benda biasa seperti meja, misalnya. Jarang terjadi bahwa seseorang melihat esensi dari meja sebagai salah satu perabot rumah tangga. Yang sering terjadi adalah peserta terpancing mengeluarkan jawaban yang sekreatif mungkin menyangkut kegunaan meja, bentuk – warna – ukuran meja, dan lain lain. Inilah kenyataan hidup yang sering kita hadapi: “Wong tidak susah, kok dibikin susah”, kata mantan presiden kita.
Kita memang sering terjerat pada fenomena berpikir yang mengikat kita pada asumsi-asumsi dan informasi yang seolah ‘keren’ tapi nyatanya sempit, berpola dan tidak membuka wawasan ke hal yang sebenarnya merupakan masalah yang sebenarnya.
Richard Branson, si jenius berbaju santai, pemilik Virgin Atlantic Airways, mempelopori ‘low cost carrier’ alias penerbangan murah dengan menemukan esensi sasaran para penumpang, yakni “Yang penting nyampe...”. Begitu dicetuskan, maka semua orang seolah menyaksikan telur kolumbus dan mengatakan “Oh iya…, kita juga bisa…”
KISS (Keep It Simple, Stupid)
Dengan banyaknya produk dan promosi mengenai peningkatan inteligensi, kita sering mempunyai dorongan untuk melihat inteligensi sebagai kapasitas untuk mengerjakan sesuatu yang kompleks. Dalam suatu situasi konflik baru-baru ini saya terkejut ketika seseorang yang tidak terlibat dalam proyek dan mempunyai tugas yang lebih sederhana bisa mengungkapkan hasil observasi yang tajam dan tepat sebagai solusi, sesuatu yang terlewatkan bagi teman-temannya yang lebih kompeten untuk mencari solusi.
Berlatih untuk mencerap hal-hal di sekitar kita ‘sebagaimana adanya’ dan melakukan kegiatan rutin yang memang harus dilakukan dengan penuh kesadaran merupakan hal yang sering ‘taken for granted’. Bahkan ada ahli yang mengatakan common sense adalah melihat esensi permasalahan yang sebenarnya ada di depan hidung setiap orang. Common sense hanya bisa dipertajam bila kita melibatkan insting, ketajaman indera, imajinasi, memori dan relaksasi dalam kegiatan pikir kita.
Mengendapkan Pikiran bukan Berhenti Berpikir
Membuat coret-coretan di kertas sambil berpikir sebetulnya dapat membantu kita untuk menyaring informasi yang dibutuhkan dan mengorganisir memori kita, sehingga pikiran kita lebih rileks, terarah dan sederhana. Namun, tidak jarang kita merasa ‘stuck’ dan frustasi bila berpikir keras sudah tidak membuahkan hasil. Padahal, kesadaran bahwa otak kita adalah komputer berkapasitas sangat-sangat besar, seharusnya menjadikan kita dapat membiarkan suatu masalah mengendap dan disimpan di ‘tempat’ yang benar di dalam pemikiran kita sebagai memori. Karenanya, kita tidak boleh ragu untuk mengendapkan persoalan-persoalan di dalam otak kita. Komputer otak kita juga terkadang perlu mengolah sendiri soal-soal yang rumit dan memerlukan waktu untuk memprosesnya. Keyakinan mengenai hal inilah yang perlu kita tanamkan didalam diri kita.