was successfully added to your cart.

50+ , masihkah banyak celah? Atau menyerah?

Teman saya , dalam tahun ini memasuki usia pensiun. Kata kata yang secara teratur saya dengar, dalam percakapannya sehari hari, e mail dan sms nya adalah : “saya merasa tua…”. Saya selalu meyakinkan teman ini , bahwa usia 55 samasekali tidak tua : “kakak saya, seorang “lawyer”, berusia 76 tahun, masih aktif membuat dokumen perjanjian dengan “billing” semakin lama semakin melambung. Bukankah : “tua tua kelapa, makin tua makin bersantan?””


Keluhan teman ini sebenarnya beralasan. Dalam kegiatan seleksi dan rekrutmen, banyak sekali kita amati persyaratan usia tidak lebih dari 35 tahun. Kita juga sama sama sadar bahwa para pemberi kerja sangat selektif dalam soal usia. Ada perusahaan penganut Gen Y ( generasi muda kreatif dan bersemangat wirausaha) , yang sudah menganggap usia 35 tahu sebagai usia yang “terlalu matang” alias “tua”. Alasan perusahaan biasanya berlatarbelakang pada sulitnya orang belajar dan mengikuti norma dan kultur perusahaan yang dimasukinya. Padahal ada beberapa “knowhow” dan “wisdom” yang dibutuhkan perusahaan yang hanya bisa di manfaatkan dari “special hires” yang sudah berpengalaman dan “matang”ini.


Di Amerika, sudah ada hukum yang melindungi diskriminasi terhadap “bias”usia. “Setiap orang yang mempunyai kompetensi yang sama berhak mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja.”. Di negara kita yang tercinta ini, selain tidak adanya hukum sejenis itu, kontrol terhadap proses seleksi sepenuhnya ada pada perusahaan perekrut. Bila yang dicari adalah orang yang berpengalaman, tentunya perusahaan akan menuntut pengalaman tidak kurang dari 5 – 10 tahun pada bidang tertentu. Tetapi, bila usia calon sudah melebihi 50 tahun? Tentunya perusahaan sudah mulai menyimpan keraguan. Apakah calon masih kuat bekerja? Berapa tahun lagi produktivitasnya? Masihkah mampu beradaptasi?


Tadi sore saya baru dikejutkan dengan seorang pelamar. Ia datang dengan senyum lebar, jabat tangan hangat , ingin melamar pekerjaan sebagai fasilitator. Ketika secara manis saya menanyakan berapa usianya. Beliau , sambil tersenyum , mengatakan : “Itulah satu satunya kelemahan saya”. “Usia saya , 58”. Kecuali rambut yang beruban,, semangat, kharisma, kompetensi dan sikapnya yang simpatik ini menimbulkan daya tarik, dan hasrat untuk merekrut bapak ini.


Apa yang membuat seorang pelamar di atas 50 menarik?


Copot tanda pangkat


Jabatan anda semasa bekerja di perusahaan terdahulu , apalagi bila jabatan tersebut termasuk tinggi, justeru akan membuat bahasa tubuh yang tidak fleksibel , statis dan “terlalu berbobot”. Kompetensi yang signifikan dan uniklah yang perlu anda pamerkan kepada pemberi kerja.


Sikap positif, “feel 30”, menunjukkan entusiasme, kelincahan dan tahu bagaimana cara berkontribusi ke perusahaan baru, adalah kunci sikap yang bisa menimbulkan daya tarik pemberi kerja.


“Passion”


Bawalah perekrut keluar dari paradigma “orang setua ini tidak bisa mengerjakan pekerjaan ini” dengan semangat dan emosi yang utuh pada profesi anda. Komunikasikan kecintaan anda pada pekerjaan dan buktikan bahwa rasa cinta ini sudah menimbulkan bukan saja kompetensi tetapi juga penguasaan hakekat pekerjaan tersebut. Tunjukkan bahwa anda sudah menguasai “seni” pekerjaan tersebut.


Keterbukaan, “updated” , dan sikap belajar


Sebentar berbincang dengan Bapak usia 58 yang saya sebutkan diatas, saya bisa menangkap bahwa ia masih aktif membuka web , aktif di kegiatan kegiatan sosial, mengembangkan hobi hobi baru dan “updated” soal perusahaan tempat ia bekerja dahulu dan industrinya secara keseluruhan. Bukankah ini tanda tanda orang yang masih “kuat belajar”?


Pilih Pewawancara Anda


Nilai apa yang bisa ditangkap seorang pewawancara muda dari pengalaman seorang yang sudah mengelola barisan “sales”sebanyak 300 orang selama 25 tahun? Pastikan bahwa yang mewawancarai anda adalah pengambiol keputusan dan seorang yang cukup senior untuk bisa memahami level kontribusi anda.


Katakan pada pewawancara junior bahwa anda bisa diwawancara awal melalui telepon, dan hanya akan datang pada wawancara penentuan.


CV , benarkah alat “marketing”?


Ada orang yang mengatakan bahwa resume tanpa tanggal, dan focus pada jam terbang, pengalaman proyek, serta tugas tugas khusu, bisa menarik pemberi kerja lebih baik, daripada segala macam pendidikan yang diperoleh. Tentunya CV seperti ini hanya digunakan sebagai pembuka jalan. Bila kemudian perusahaan meminta detil curriculum vitae anda , tentunya sebuah format CV lengkap bisa anda masukkan.


Namun demikian, bagi pewawancara yang trampil dan peka, cara ini juga bisa tidak bermanfaat . Bahkan dianggap sebagai upaya menutup nutupi sesuatu yang bisa saja kemudian menimbulkan rasa malas pewawancara untuk menggali.


Mungkin formula yang paling tepat adalah “be yourself” dengan “layout” dan penekanan pada keahlian anda.


Turunkan ekspektasi Anda


Salah satu keraguan pemberi kerja dalam merekrut individu 50+ adalah bagaimana mengupah mereka. Dalam hal ini, terimalah kemungkinan untuk mendapatkan upah yang tidak sama dengan apa yang pernah anda dapat di perusahaan lama, terutama karena masakerja anda yang sudah berpuluh tahun. Timbanglah bobot keahlian anda dengan tepat, dan bayangkan upah yang anda bisa dapat , sesuai dengan kontribusi Anda sebagai professional di perusahaan yang baru.


Jual kematangan Anda


Pamerkan rasa percaya diri anda, yang sudah tumbuh dari profesionalitas anda. Jam terbang yang diwarnai dengan pemecahan segala macam masalah dan konflik tentunya sudah memberi nilai lebih kepada anda dibandingkan dengan seorang “freshgraduate” keluaran Harvard sekalipun.


Jangan “bossy”


Terimalah bahwa hampir pasti anda di pekerjaan baru anda berhubungan dengan atasan yang lebih muda. Yakinkan bahwa anda biasa menghadapi situasi atasan –bawahan yang tidak terpengaruh oleh usia.


Cat rambut?


Warna abu abu memang lebih sendu dan “kelabu” daripada hitam. Timbanglah apakah anda pantas berpenampilan dengan warna coklat tua atau hitam kembali. Kalau anda kelihatan lebih segar : “Why not?”



Populasi orang usia antara 50- 65 tahun di Indonesia tidak kurang dari 35 juta . Bila saja 1 juta orang dari kelompok ini dimanfaatkan sebagai professional /pekerja berpengalaman, maka “human capital”di Indonesia pasti lebih berkembang.


(Ditayangkan di KOMPAS, 17 Juni 2006)
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi marketing@experd.com