DALAM kunjungan saya ke seorang klien, seorang wirausaha dan CEO sukses, dimejanya ada tulisan, “The Boss Is Not Happy” menghadap ke kursi-kursi hadap. Reaksi pertama saya: ”Tega amat, Bapak ini”. Namun, kemudian saya berpikir bahwa kalau happy, dia tidak akan ada di meja kerjanya dan tidak akan melakukan perubahan.
Ketika saya tanyakan, mengapa tulisan itu dipasang di situ, beliau membalikkan signage itu dan ternyata terdapat pula tulisan yang sama menghadap dirinya. “Saya selalu harus menyatakan ‘perang’ pada diri sendiri: Jangan cepat berpuas diri, dan kepada tim saya,” demikian katanya. Hal ini kemudian membuat saya jadi teringat pada seorang CEO sukses, yang juga selalu mengatakan kepada putra-putri dan timnya: ”Kita ini bukan nomor satu.” pasti ada yang lebih baik daripada kita.
Dalam dunia olahraga, kita mengenal Haile Gebrselassie asal Etiopia, yang memecahkan 30 rekor lebih dalam lomba lari maraton. Banyak yang beranggapan bahwa Geb memang menang fisik dengan kakinya yang super panjang itu. Namun kemudian, para ahli olahraga mengambil kesimpulan bahwa mental attitude Geblah yang sesungguhnya menentukan kesuksesannya. Seusai memenangi Maraton pertamanya di Berlin, pada 2007, Geb dikelilingi para wartawan. Kalimat pertama yang diucapkannya adalah: “I can run faster.” Kemudian, hal ini ternyata benar dibuktikannya pada tahun berikutnya, ketika ia mampu mencapai garis finis dengan catatan waktu 27 detik lebih cepat. Demikianlah terjadi seterusnya sehingga Geb dianggap sebagai contoh atlet bermental juara. Atlet pada umumnya merasa bangga ketika mereka berhasil meraih kemenangan. Namun, seorang juara sejati tidak berhenti sampai di situ saja. Tidak lebih dari semenit sesudah menggenggam kemenangan, mereka memutuskan dan menyatakan bahwa mereka bisa lebih baik daripada prestasi sekarang. Mereka tidak pernah puas.
Banyak orang langsung berasumsi bahwa orang yang tidak pernah puas pasti tidak bahagia. Hal ini belum tentu benar. Orang bisa saja mempunyai mentalitas “selalu tidak puas” dan pada saat bersamaan bekerja penuh passion. Hal itu bisa terjadi dalam bidang olahraga, berwirausaha, maupun berkarier. Geb adalah contoh orang yang selalu tidak puas, tetapi selalu tersenyum dan tampak bahagia. Orang dengan passion yang tinggi pasti akan semakin bahagia bila ia tidak pernah mencapai puncak kepuasannya.
Tidak puas bukan disruptif
Ingat bahwa kita sering kali belajar dari ketidakpuasan pelanggan, dan akhirnya mendapatkan ide untuk membuat produk yang lebih baik. Paham ini bukan paham yang negatif, tetapi mungkin saja disruptif. Di zaman di mana hal-hal yang mainstream akan berbahaya untuk terus dilakukan tanpa evaluasi, sikap waspada inilah yang tampaknya kita butuhkan. Complacency bisa kita anggap sebagai kanker yang bersarang dan mengintai, dan begitu kita lengah, akan merusak mental kita. Keyakinan bahwa segala sesuatu pasti baik-baik saja dan akan terus berlangsung bisa menjebak kita dalam rasa nyaman yang palsu. Sementara itu, dunia di sekeliling kita berubah tanpa henti, kita mungkin asyik berdiam dalam zona nyaman yang sejatinya tidak aman. Hal ini terjadi karena kita dibuai oleh kemapanan, malas melihat sekitar atau malah enggan menatap ke depan.
Banyak orang meneriakkan slogan untuk keluar dari comfort zone. Namun, apakah kita memang keluar dalam arti yang sebenarnya? Bagaimana caranya? Coba kita renungkan. Pertama-tama, bagaimana kita mencari masukan dari pelanggan? Apakah kita sekedar menanyakan apakah ia puas? Menghitung angka kepuasan pelanggan, atau justru meminta kritikan dan saran perbaikannya? Jawaban umum tentang kepuasan adalah ‘ya’ karena orang justru juga malas untuk berpanjang-panjang menyatakan ketidakpuasannya. Hal inilah yang sering meninabobokan kita dengan merasa bahwa tidak ada yang perlu diperbaiki lagi di pihak kita. Sebuah hotel terkenal bahkan memberikan hadiah kepada pelanggan yang menyampaikan keluhan karena menurut mereka keluhan adalah kesempatan untuk melakukan perbaikan.
Hal lain yang juga selalu kita lupakan dan tidak kita biasakan adalah melakukan blusukan secara teratur. Kenyataan di lapangan itu tidak bisa digambarkan di laporan tertulis, apa lagi sekedar dalam bentuk angka-angka. Kita tetap harus menggunakan ketajaman indera kita, bahkan indera keenam kita, alias common sense untuk mencium perkembangan pasar. Banyak orang membedakan antara pekerjaan kotor dan bersih, lantas mengalokasikan lebih banyak waktu di tempat yang aman dan nyaman. Padahal, di tempat kotor itulah terdapat banyak sumber kemajuan. Tidak ada salahnya kita mengantar tamu untuk melihat-lihat kamar hotel, walaupun kita sudah menjabat sebagai general manager sebuah hotel. Tidak ada salahnya sekali-sekali ikut memanggang ikan bakar, saat restoran kita penuh, walaupun kita seorang manajer restoran. Tidak ada salahnya kita menuju tempat penyimpanan bahan baku yang paling ujung walaupun kita si empunya pabrik. Kejutan-kejutan yang kita dapatkan akan jauh lebih berharga daripada laporan survei mana pun. Fakta-fakta terkini dan segar yang kita temui akan menolong kita untuk tetap berjejak pada realitas.
Satu hal yang bisa menjadi upaya untuk berubah adalah mencoba cara yang selama ini kita tolak, bahkan kita hindari. Memikirkan ulang efektivitas dari pola kerja kita yang baku, dan membuka diri terhadap cara-cara baru, bisa membawa kita pada peluang-peluang yang tak terpikirkan. Tanyakan “Why not”? Kemudian cobalah, mungkin dimulai dengan investasi yang tidak besar. Namun, mental mencoba ini harus dihidupkan dengan subur.
Jangan samakan pencapaian dengan kepuasan
Dalam ilmu psikologi ada istilah hedonistic adaptation di mana seseorang akan merasakan kegembiraan yang amat sangat ketika membeli mobil, rumah ataupun benda lainnya. Namun, kenikmatan tersebut hanya sementara karena tingkat kepuasan kita cenderung kembali ke titik netral. Justru hal inilah yang perlu kita adaptasi ketika bergembira terhadap pencapaian sasaran kita. Kita mesti cepat menyadari sifat “sementara” itu. Menyadari kecenderungan alamiah ini dapat membuat kita lebih waspada untuk tidak terjebak dalam rasa nyaman yang menghambat peluang untuk maju.
Kebahagiaan dari menikmati kesuksesan serta pencapaian adalah hal yang baik, tetapi menentukan tujuan-tujuan baru, melakukan cara-cara baru, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, serta berbagai pengetahuan yang saat ini terbentang luas, tetap menjadi upaya untuk menyediakan kesempatan untuk berkembang. Hal-hal itu juga yang membuat kita lebih mampu beradaptasi terhadap perubahan yang bergerak semakin hari semakin cepat.
Dimuat dalam KOMPAS, 5 Maret 2016