was successfully added to your cart.

JEBAKAN PERFEKSIONISME

JEBAKAN PERFEKSIONISME

Perfeksionisme sering dianggap sesuatu yang patut dibanggakan. Banyak perusahaan membanggakan nilai perfeksionisnya sebagai daya jual utama. Memang banyak pelanggan yang melihatnya sebagai tanda kedisiplinan, fokus, dan tekad kuat sehingga mengangkat reliabilitas dan kredibilitas perusahaan.

Namun, di balik situasi itu, kita sering melihat gejala perfeksionisme justru menjadi hambatan dalam kemajuan perusahaan, apalagi inovasi. Perfeksionisme bisa menjadi beban berat yang menyebabkan kelelahan karyawan, rasa tidak pernah puas, dan menumbuhkan perasaan kinerja kita tidak cukup baik.

Steve Jobs, misalnya, dikenal sebagai seorang perfeksionis. Ini diakui sebagai salah satu faktor yang membuat Apple menjadi perusahaan inovatif dan sukses. Namun, sifat perfeksionismenya tidak selalu memberikan dampak positif. Dalam beberapa kasus, perfeksionisme Jobs justru menghambat kinerja Apple dan mengakibatkan tantangan serius di dalam perusahaan.

Perfeksionisme Jobs acap membuat pengembangan produk berjalan lebih lambat. Misalnya, Jobs sangat terobsesi dengan desain layar kaca iPhone. Dia memaksa timnya untuk menemukan cara menggunakan kaca yang lebih tahan lama. Perfeksionismenya menyebabkan penundaan dalam proses produksi karena pencarian bahan yang sesuai dan pengembangan teknologi untuk membuatnya.

Perfeksionisme Jobs memang mendorong Apple menuju puncak inovasi, tetapi keadaan ini bukanlah sesuatu  tanpa biaya. Sikapnya yang sangat kritis dan obsesif terhadap detail, sering menghambat kemajuan, menciptakan ketegangan dalam tim, dan menyebabkan penundaan yang mungkin bisa dihindari.

Sementara banyak orang mengagumi dedikasinya terhadap kesempurnaan, ada pelajaran penting dari kisah Jobs: terkadang, mengejar kesempurnaan yang mutlak justru bisa menjadi penghalang bagi pertumbuhan dan kemajuan.

Standar terlalu tinggi

Banyak orang mengira perfeksionisme selalu berakhir dengan kesuksesan. Seorang perfeksionis mungkin beranggapan, standar yang tinggi mendorong mereka bekerja lebih baik. Pada dasarnya, perfeksionisme adalah keyakinan bahwa seseorang harus mencapai standar yang sangat tinggi dan tidak realistis di segala aspek kehidupan.

Meski berusaha untuk menjadi lebih baik, perfeksionisme kerap melampaui batas. Yang sering terlupakan, perfeksionisme sebenarnya berakar pada ketakutan—takut gagal, takut dikritik, dan takut tidak cukup baik.

Di dalam kehidupan sehari-hari, orang sering melihat perfeksionisme sebagai hal yang walaupun disegani tetapi tetap positif. Beda antara perfeksionisme ekstrem yang mengaburkan dampak negatif dengan positif. Bila reputasi dalam kehidupan sosial memang perfeksionis, sebaiknya kita mewaspadai gejala seperti yang diungkapkan para psikolog.

Para perfeksionis perlu waspada ketika mereka menyadari sering mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan, khawatir membuat pilihan yang salah. Bahkan, keputusan sederhana, seperti memilih menu apa di restoran. Bagi perfeksionis ekstrem ini, jika sesuatu tidak sempurna, itu tidak berguna.

Mereka cenderung melihat segala sesuatu secara hitam-putih tanpa ada ruang kompromi. Sepintar-pintarnya individu, ada perfeksionis yang sering mencari validasi dari orang lain secara berlebihan dan berulang ulang karena membutuhkan jaminan bahwa pekerjaan atau keputusan mereka sudah benar.

Itu sebabnya, “timeline” pun sering menjadi terulur. Ada juga kebiasaan para perfeksionis ekstrem ini yang berlebihan. Mereka sering kali bekerja terlalu keras, merasa harus memberi 110 persen untuk setiap hal yang mereka lakukan. Bahkan kalau perlu mengorbankan kesehatan atau kehidupan pribadi mereka.

Perfeksionisme sebagai tekanan mental

Orangtua perfeksionis selalu mendorong anaknya mendapat nilai sempurna dan unggul dalam olahraga. Meskipun niatnya memotivasi sang anak, yang terjadi justru sebaliknya. Anaknya merasa selalu dihakimi dan dikritik sehingga hubungan mereka menjadi tegang.

Salah satu bahaya terbesar dari perfeksionisme adalah burnout atau kelelahan mental dan fisik. Para perfeksionis kerap bekerja tanpa henti karena takut gagal, mengabaikan waktu istirahat, dan mengorbankan kesejahteraan pribadi mereka sendiri.

Lucunya, walaupun terkesan pekerja keras, banyak perfeksionis menunda untuk  memulai tugasnya karena takut tidak bisa menyelesaikannya dengan sempurna. Ini menjadi lingkaran setan—menunda pekerjaan hanya menambah tekanan, yang pada akhirnya membuat pekerjaan dilakukan terburu-buru atau bahkan terlewat tenggat waktunya.

The art of good enough

Apakah seorang perfeksionis bisa berubah? Kabar baiknya, sepanjang kesadarannya ditingkatkan dan pola pikirnya berubah, ia bisa mengubah situasi menjadi lebih kondusif.

Pertama, kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah kita sering menghakimi diri sendiri tentang hasil kerja yang menurut orang lain sudah sangat baik, tetapi tidak menurut kita sendiri? Ketika pikiran demikian muncul, kita perlu menantang pikiran tersebut.

Misalnya, ketika kita berpikir, “jika presentasi ini tidak sempurna, atasan saya akan menganggap saya tidak kompeten”, kita bisa bertanya pada diri sendiri, “apakah benar begitu?” Sering kali, pikiran-pikiran itu dilebih-lebihkan atau didasarkan pada ketakutan yang tidak realistis.

Thomas Curran dalam presentasinya di Ted Talk mengatakan, “Pelajari lebih lanjut tentang penyebab fenomena ini dan bagaimana kita dapat menciptakan budaya yang merayakan kegembiraan dari ketidaksempurnaan.” Sementara itu, Brene Brown dalam bukunya The Gifts of Imperfection menyebutkan, lepaskanlah apa yang Anda pikirkan tentang siapa Anda seharusnya dan terimalah diri Anda apa adanya.

Perfeksionis kerap menjadi kritikus paling keras untuk dirinya sendiri. Untuk melawannya, kita perlu berlatih menyayangi diri sendiri. Kita perlu yakin, setiap orang membuat kesalahan dan kesalahan tersebut tidak menentukan nilai kita sebagai pribadi.

Orang yang perfeksionis sering lupa menikmati proses. Mereka terlalu berorientasi pada hasil. Padahal, dengan menikmati proses, kita bisa berfokus juga pada usaha dan pembelajaran yang didapat di sepanjang jalan, bukan hanya pada hasil akhirnya.

“Perfeksionisme tidak membuat Anda merasa sempurna. Hal itu membuat Anda merasa tidak mampu. Tidak masalah untuk memperlambat atau tidak menyelesaikan setiap item dalam daftar tugas Anda. Anda masih cukup karena Anda tetaplah Anda.” Liz Fosslien

EXPERD   |   HR Consultant/Konsultan SDM

Diterbitkan di Harian Kompas Karier 12 Oktober 2024

#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #jebakan #perfeksionis

For further information, please contact marketing@experd.com