
Dalam banyak situasi, konflik berkepanjangan yang berdampak pupusnya kepercayaan dan keterlibatan tim sering kali berawal dari isu komunikasi. Bayangkan seorang pemimpin menerima pesan dari klien bahwa proposal yang dijanjikan belum diterima, lalu langsung menegur timnya tanpa menanyakan masalahnya.
Padahal, ada kendala teknis yang belum terselesaikan, prioritas pekerjaan lain yang mendesak, serta tenggat waktu pengiriman yang sebenarnya masih aman. Alih-alih membangun kesepemahaman, pemimpin tersebut membuat tim merasa tersudut dan tidak dihargai. Percakapan ini berubah menjadi miskomunikasi yang berdampak buruk.
Kita sering meninggalkan pertemuan dengan keyakinan bahwa telah menyampaikan maksud dengan jelas dan mengharapkan segalanya berjalan sesuai rencana. Namun, pada akhirnya, kita menyadari bahwa tidak semua orang memahami atau menyetujui ide kita. Ada kesenjangan antara persepsi kita dan realitas.
Situasi ini menunjukkan betapa pentingnya kecerdasan percakapan, yaitu bagaimana kita membangun kepercayaan, menciptakan dialog bermakna, dan menjalin hubungan yang kuat.
Kecerdasan percakapan itu penting
Setiap kali berbicara, kita tidak hanya bertukar kata, tetapi juga memberi pengaruh pada otak, terutama bagian prefrontal cortex yang bekerja keras untuk mengolah dan menafsirkan informasi, serta mengatur respons kita. Aktivitas ini membantu menghubungkan sel-sel otak dan membuat otak lebih mudah beradaptasi serta belajar hal baru.
Jika terlibat dalam percakapan yang bermakna dan penuh pengertian, kita akan lebih menstimulasi otak, memperkuat daya pikir, serta membuka ruang bagi perspektif baru. Sebaliknya, jika interaksi dipenuhi konflik atau stres, proses di otak bisa terganggu, bahkan memicu respons negatif yang menghambat kreativitas dan pengambilan keputusan.
Percakapan yang bermakna bukan sekadar sarana untuk menjaga hubungan, tetapi juga kunci mengasah cara berpikir yang lebih adaptif dan kolaboratif. Dalam lingkungan kerja, hal ini sangat penting untuk memecahkan masalah secara efektif, menggali ide-ide segar, serta mendorong inovasi yang berkelanjutan.
Dari sekadar berbicara ke percakapan bermakna
Judith E Glaser, pencetus konsep kecerdasan percakapan, membagi percakapan menjadi tiga tingkatan berdasarkan tingkat kepercayaan yang terbangun di antara pihak yang terlibat.
Pertama, percakapan transaksional, yang sering ditemui dalam pembicaraan sehari-hari. Saat atasan memberikan instruksi atau ketika kita menanyakan informasi, pertukaran informasi terjadi tanpa keterlibatan emosi. Tidak ada eksplorasi lebih lanjut dan rasa keterhubungan. Jika kita hanya beroperasi di tingkat ini, percakapan cenderung kering dan tidak memperkaya hubungan.
Kedua, percakapan posisional, saat kita terlibat dalam persuasi dan negosiasi, seperti rapat strategi yang penuh perdebatan. Masing-masing pihak sibuk mempertahankan pendapat, terkadang dengan nada yang makin tinggi. Perbedaan pendapat bisa menjadi sumber inovasi, tetapi jika tidak dikelola dengan baik, dapat memicu ketegangan dan merusak kepercayaan.
Tingkatan yang paling ideal adalah percakapan transformasional. Ketika semua peserta rapat mendengarkan satu sama lain, bukan untuk mencari siapa yang benar atau salah, tetapi demi mencari solusi bersama. Tidak ada yang mendominasi, tidak ada yang merasa diabaikan. Percakapan seperti ini membangun keterbukaan dan kepercayaan.
Ketika seorang pemimpin tidak mengasah kecerdasan percakapan, komunikasi sering kali mandek dan hubungan menjadi memburuk. Kita bisa melihat pembicaraan belum lama ini antara Trump dan Zelensky yang memanas. Dengan saling menyahut dan dominasi salah satu pihak, dialog yang setara pun terhambat.
Di tempat kerja, kita juga kerap menyaksikan individu yang memilih diam atau menarik diri ketika merasa suaranya tidak dihargai. Sebelum menyalahkan anggota tim yang tidak responsif, ada baiknya kita bertanya pada diri: apakah saya telah menciptakan ruang untuk berbicara secara bebas? Apakah saya benar-benar mendengarkan atau cenderung menginterupsi?
Kualitas percakapan yang kita bangun menentukan apakah komunikasi menjadi jembatan pemahaman atau justru dinding penghalang.
Meningkatkan kecerdasan percakapan
Salah satu alasan utama mengapa percakapan sering kali tidak membuahkan hasil yang diharapkan adalah kurangnya pemahaman terhadap kebutuhan dan respons lawan bicara. Kita sering gagal menangkap sinyal ketidaknyamanan sehingga tidak menyesuaikan cara berkomunikasi. Keterbukaan dan kesediaan untuk mengevaluasi komunikasi yang kurang efektif menjadi kunci dalam membangun kecerdasan percakapan.
Komunikasi memang bertujuan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain, tapi hal itu tak jarang membuat kita sibuk memikirkan apa yang perlu dikatakan dalam pembicaraan. Kita luput memahami bahwa pihak lain pun butuh menyampaikan pesan mereka. Tentunya kita perlu terus melakukan refleksi tentang apa yang membuat kita antusias atau khawatir dalam situasi ini, kemudian mengelola emosi dengan positif.
Langkah selanjutnya adalah mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga nantinya kita bisa meminjam perspektif lawan bicara untuk memperkuat pesan kita. Teknik sederhana seperti merangkum atau mengulangi poin utama lawan bicara dapat memastikan pemahaman yang baik dan pada akhirnya membangun kepercayaan.
Ketika tidak memahami atau tidak setuju dengan lawan bicara, kita cenderung membangun asumsi sendiri dibanding berusaha mencapai kesepahaman. Kita sedang menaiki ladder of conclusions. Namun, semakin tinggi kita memanjat tangga ini, semakin sulit kembali pada realitas. Cara terbaik untuk menghindari jebakan ini adalah bertanya sebelum menyimpulkan.
Jika ada pernyataan ambigu, jangan langsung menarik kesimpulan. Ajukan pertanyaan sebelum bereaksi, seperti “Bisakah Anda menjelaskan lebih lanjut?” atau “Apa maksud Anda dengan itu?”
Sebagai pemimpin, kita perlu mengarahkan fokus pada keberhasilan bersama, bukan sekadar memenangkan perdebatan. Membangun komunikasi yang kondusif berarti memberikan ruang bagi perbedaan pendapat dan diskusi yang terbuka sehingga semua pihak merasa didengarkan dan dihargai, bukan terintimidasi atau dihakimi. Komunikasi yang setara menempatkan kedua belah pihak sebagai subyek dalam proses komunikasi.
Seperti dikatakan Judith E Glaser, “Words create worlds.” Kata-kata yang kita gunakan memiliki kekuatan untuk membangun atau merusak hubungan. Dengan lebih sadar terhadap cara kita berbicara, kita dapat menciptakan komunikasi yang lebih produktif, saling menghargai, dan penuh kepercayaan.
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 22 Maret 2025
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #kecerdasan #percakapan