
"Melakukan kesalahan adalah hal yang manusiawi," demikian kata pepatah. Selama hidup, manusia tentunya tidak luput dari kesalahan, besar maupun kecil, disengaja ataupun tidak. Dalam berbagai ajaran moral, manusia diajarkan untuk tidak cepat menghakimi orang lain karena setiap individu juga memiliki kekurangan dan kesalahan. Oleh sebab itu, sejak kecil, kita diajarkan untuk berani meminta maaf dan memaafkan, sebagai bagian dari proses menjadi manusia yang lebih baik.
Saat ini, permintaan maaf tampak menjadi SOP standar manakala terjadi perilaku tidak pantas terungkap ke publik. Mulai dari yang tertangkap basah pesta narkoba, menyebarkan berita bohong, hingga melakukan tindak kekerasan.
Netizen pun kemudian berkomentar, “Ah, paling-paling nanti juga minta maaf karena khilaf, beres.” Publik menangkap kesan permintaan maaf yang dipaksakan sekadar untuk meredam kecaman, bukan karena penyesalan.
Di suatu tempat kerja, seorang karyawan terbiasa datang terlambat ke rapat tim. Setiap kali masuk ia berkata, “Maaf ya, macet,” atau “Sorry, ada urusan tadi.” Namun, kebiasaannya tidak juga berubah, ia tetap datang terlambat di pertemuan berikutnya. Rekan-rekannya melihat bahwa permintaan maafnya sebatas formalitas, tidak ada niat memperbaiki diri.
Seberapa sering kita meminta maaf sekadar untuk menjaga hubungan, meredam kemarahan, tanpa benar-benar dilandasi penyesalan dan niat untuk berubah? Apakah permintaan maaf ini bermanfaat bagi orang lain atau justru untuk ketenangan hati kita sendiri yang merasa sudah melaksanakan kewajiban sopan santun?
Bahkan ada individu yang mengalami sorry syndrome, sedikit-sedikit meminta maaf untuk hal-hal kecil yang bahkan bukan tanggung jawabnya, sekadar untuk menghindari konflik atau agar lebih diterima.
Keterampilan memahami esensi permintaan maaf berawal semenjak kita kecil. Apakah kita diajarkan untuk benar-benar memahami kesalahan dan bertanggung jawab atas konsekuensi serta melakukan perbaikan, atau cuma mengucapkan “maaf” untuk menyudahi masalah tanpa refleksi.
Ketulusan dalam meminta maaf
Permintaan maaf yang tulus bisa jadi sulit karena kita harus menekan ego untuk mengakui kesalahan, khawatir mengekspos kelemahan diri, serta kemungkinan dimanfaatkan pihak lain di kemudian hari. Bertanggung jawab atas kesalahan membutuhkan kerendahan hati, introspeksi, serta penyesalan yang bisa melukai harga diri kita.
Namun, tidak semua permintaan maaf dapat memperbaiki hubungan yang rusak. Ungkapan seperti, “Saya minta maaf, karena sudah membuat Anda marah,” justru menggeser tanggung jawab ke pihak lain. Seolah yang menjadi masalah adalah perasaan marah mereka, bukan tindakan yang kita lakukan.
Ada kalanya kita merasa perlu menjelaskan alasan di balik tindakan kita yang melukai perasaan orang lain. Namun, kita harus berhati-hati agar penjelasan tersebut tidak berubah menjadi pembenaran. Jika tidak disampaikan dengan bijak, ini justru dapat memperdalam luka karena terkesan menyalahkan pihak lain yang mendorong kita melakukan kesalahan tersebut. Ketulusan meminta maaf tercermin dari cara kita mengungkapkan kata-kata.
Menggunakan kata “saya” dan secara langsung merujuk pada perbuatan yang dilakukan, menunjukkan kesadaran serta tanggung jawab terhadap situasi yang terjadi. Contohnya, "Maaf atas ucapan saya yang tidak pantas. Saya sadar telah melukai perasaan Anda dan Anda berhak merasa kecewa terhadap saya."
Ungkapan tadi mencerminkan permintaan maaf yang tulus karena secara eksplisit mengakui kesalahan, menunjukkan empati, dan memberikan ruang bagi pihak lain untuk merespons dengan jujur.
Selain meminta maaf, kita perlu menunjukkan kesungguhan hati dengan melakukan perubahan agar kesalahan yang sama tidak terulang. Setulus apa pun kata-kata permintaan maaf, jika kesalahan terus berulang, permintaan maaf itu akan kehilangan makna dan kesungguhannya pun diragukan.
Terakhir, meski sudah meminta maaf, kita tidak boleh memaksa pihak lain untuk segera memaafkan. Memaafkan adalah sepenuhnya hak mereka. Kita perlu menunjukkan empati terhadap emosi mereka dan memikirkan bagaimana membangun kembali kepercayaan serta memperbaiki hubungan yang sempat rusak.
Memaafkan
Meminta maaf dan memaafkan seperti dua sisi mata uang. Keduanya sama-sama tidak mudah. Saat hati terluka, kita sering enggan memaafkan dan justru menyimpan rasa sakit, berharap agar mereka yang menyakiti kita juga merasakan penderitaan yang sama. Padahal, menyimpan kemarahan lebih banyak menyakiti diri sendiri ketimbang pihak lain, ibarat menenggak racun dan berharap orang lain yang celaka.
Dalam sebuah konflik, sering kali kedua pihak sama-sama merasa sebagai korban. Kita meyakini bahwa pihak lainlah yang seharusnya bertanggung jawab dan meminta maaf lebih dulu. Namun, kita perlu memahami bahwa memaafkan adalah sebuah emosi, seperti halnya cinta. Jika menggantungkannya pada permintaan maaf, berarti kita menyerahkan kendali emosi kita kepada orang lain, yang mungkin tidak berencana untuk meminta maaf ataupun peduli apakah kita akan memaafkan mereka atau tidak.
Mensyaratkan permintaan maaf sebelum bisa memaafkan membuatnya menjadi seperti transaksi jual-beli, bukan proses emosi yang bisa kita kelola sendiri. Belajar memaafkan tanpa ada yang meminta maaf justru memberi kita kebebasan. Kitalah yang memiliki kendali atas emosi kita, yang berhak memutuskan kapan dan bagaimana melepaskan luka, tanpa perlu bergantung pada tindakan atau kesadaran orang lain.
“Ketika berjalan keluar dari pintu menuju gerbang yang akan membawa pada kebebasan, saya tahu jika tidak meninggalkan kepahitan dan kebencian, saya akan tetap berada di penjara,” kata Nelson Mandela.
Frederick Luskin yang meneliti tentang memaafkan di Universitas Stanford, dalam bukunya Forgive for Good, menguraikan bahwa memaafkan adalah keterampilan yang perlu dilatih demi kesehatan mental dan fisik kita. Kita perlu belajar memahami bahwa tidak semua hal akan berjalan seperti yang kita harapkan.
Meminta atau menerima permintaan maaf adalah sesuatu yang kita lakukan untuk menjaga hubungan dengan orang lain. Sementara itu, memaafkan adalah sesuatu yang kita lakukan untuk membantu kita menyelesaikan konflik dalam diri.
Pada bulan penuh rahmat ini, marilah kita berlatih meminta maaf dan memaafkan. Tidak hanya demi hubungan dengan orang lain, tetapi juga agar kita bisa lebih berdamai dengan diri sendiri.
“Berbuat salah itu manusiawi, memaafkan itu Ilahi.” –Alexander Pope
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 15 Maret 2025
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #maaf