Beragam metode kepemimpinan sudah dibahas. Mulai dari gaya otoriter yang menekankan bahwa anak buah harus tunduk dan menurut, gaya partisipatif yang memberikan kepercayaan kepada anggota tim untuk meningkatkan engagement dan sense of ownership, sampai yang berfokus pada penyusunan strategi untuk memastikan pencapaian target.
Mana gaya yang tepat sangat bergantung pada situasi dan kondisi, juga pada profil anak buah. Namun, perlu dicatat, apa pun gaya kepemimpinannya, pemimpin harus berhubungan secara manusia ke manusia dengan para pengikutnya. Bagaimanapun juga, kualitas serta warna hubungan tersebut akan menentukan efektivitas kelompoknya.
Seseorang menjadi pemimpin karena adanya orang lain yang dipimpin. Target yang harus dicapai, ia lakukan melalui “tangan” orang lain. Karenanya, semakin tinggi posisi kita dalam organisasi, semakin tidak penting keterampilan teknis kita dan semakin penting kemampuan kita untuk membangun keterampilan interpersonal. Menjadi pemimpin di bidang apa pun tidak hanya memberikan arahan atau mengejar target, tetapi juga membangun hubungan yang lebih dalam dengan anggota tim.
Orang sering melihat hubungan atasan-bawahan dalam kemiliteran bersifat formal instruksional atas dasar komando. Padahal, sebenarnya bonding antara atasan dan bawahan dalam kehidupan militer sangatlah kuat. Banyak cerita yang mengisahkan, betapa mereka rela mengorbankan diri satu sama lain demi keselamatan rekannya. Tidak hanya di lingkungan kerja, bonding pun terjadi dalam tali kekeluargaan yang saling mendukung satu sama lain.
Hubungan emosional antara pemimpin dan anak buah bukan sekadar “bonus”, melainkan merupakan fondasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif. Menunjukkan emosi dalam kepemimpinan sangatlah penting untuk membentuk hubungan kerja yang kuat.
Kepemimpinan yang emosional bukan berarti lemah. Emosi adalah inti dari interaksi manusia. Mengesampingkannya berarti kita menghilangkan bagian penting dari kepemimpinan yang baik. Calder mengatakan, “Segala sesuatu diselesaikan melalui manusia.”
Bagaimana kita bisa membuat anak buah merasa dihargai sehingga termotivasi untuk bekerja lebih baik, bukan karena mereka takut akan penilaian ataupun konsekuensinya, tetapi karena tidak ingin mengecewakan pemimpinnya.
Tony Fernandes, CEO Air Asia, dikenal dekat dengan karyawannya. Ia sering menghabiskan waktu berbincang dengan mereka di lapangan, mulai dari awak kabin hingga staf darat untuk mendengarkan keluhan dan aspirasi mereka. Ia berhasil membangun kepercayaan dan bonding yang kuat dengan timnya, membuat karyawan merasa dihargai dan termotivasi untuk memberikan yang terbaik.
Dalam dunia yang kian terotomatisasi ini, kita tidak membutuhkan pemimpin yang dingin dan robotik. Kita membutuhkan pemimpin yang berani mengedepankan emosi, yang mampu menginspirasi timnya dengan energi dan gairah yang tulus.
Emosi untuk membangun koneksi mendalam
Menyadari pentingnya emosi dalam membangun ikatan, bagaimana seorang pemimpin yang tidak peduli pada emosinya mulai beradaptasi dan menggunakan emosi untuk bonding dengan timnya?
Mulailah dengan mengenali diri kita sendiri. Ini bukanlah hal yang mudah karena memerlukan keberanian untuk jujur pada diri sendiri. “Knowing yourself is the beginning of all wisdom,” kata Aristoteles. Ini adalah tugas yang harus dijalani sepanjang hidup kita.
Mengapa saya bereaksi negatif terhadap kritik? Apa yang membuat emosi saya meledak tidak terkontrol? Bagaimana dampak yang saya buat pada orang lain? Dengan merenungkan pengalaman-pengalaman ini, kita akan lebih mudah memahami beragam emosi dan perannya dalam memengaruhi keputusan serta interaksi kita dengan orang lain.
Hal yang juga sangat penting dan sering kita sepelekan adalah teknik berempati. Empati tidak sekadar mendengar, tetapi juga merasakan perasaan orang lain. Sebagai pemimpin yang sudah tidak banyak terlibat dalam pekerjaan teknis lagi, bagaimana kita dapat memahami kerumitan yang dialami oleh tim di lapangan.
Apakah kita oversimplify permasalahan yang mereka hadapi hanya karena kita mungkin pernah berhasil pada masa lalu, padahal kondisi yang dihadapi saat ini sudah jauh berbeda. Secara manusiawi kita sering terburu-buru memberikan penilaian. Pemimpin yang memiliki empati kuat akan berhati-hati dalam berkomentar, berargumen, dengan memperhitungkan perasaan anak buahnya. Ini bukan berarti pemimpin bersikap lembek, tetapi justru memahami tantangan yang dihadapi anggota tim, baik di kantor maupun kehidupan pribadi.
Pemimpin pun perlu bersikap terbuka bahkan berani menunjukkan kerentanannya. Kerentanan yang ditunjukkan dengan bijaksana bisa memperkuat hubungan. CEO Microsoft Satya Nadella berhasil membangun emosi dengan bawahannya melalui cerita suka dukanya dalam mendidik putranya yang berkebutuhan khusus. Ini membantu tim merasa lebih terhubung karena mereka tahu bahwa pemimpin juga manusia yang bisa merasa ragu atau cemas.
Mengasah regulasi emosi
Di tempat kerja, tantangan dan konflik adalah hal yang biasa. Menurut Patrick Riccards, “Kepemimpinan bukanlah soal menghindari konfrontasi dan debat, melainkan berkenaan dengan cara kita menerima dan belajar dari orang lain, bawahan sekalipun.”
Cara pemimpin bereaksi terhadap situasi sulit menunjukkan kualitas kepemimpinannya. Seorang pemimpin yang mampu mengendalikan emosinya dalam tekanan, memberikan ketenangan bagi tim dan membantu menghindarinya dari membuat keputusan impulsif yang merugikan.
Sebagai penerus Steve Jobs, Tim Cook menghadapi banyak tekanan untuk mempertahankan standar inovasi Apple. Dalam banyak situasi penuh tekanan, Cook menunjukkan ketenangan dan kontrol emosional yang luar biasa. Ketika Apple menghadapi kritik tajam mengenai privasi dan etika dalam bisnis, Cook memilih untuk merespons dengan tenang dan fokus pada nilai-nilai perusahaan.
Ia juga secara rutin melakukan meditasi dan menjaga kesehatan mentalnya agar tetap seimbang dalam menghadapi tekanan. Dengan kemampuan mengelola emosi, Cook berhasil membangun kepercayaan dalam perusahaan, yang kemudian diteladani oleh timnya.
Kepemimpinan berbasis emosi tidak bisa dicapai dalam semalam. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan latihan dan dedikasi. Konsistensi adalah kunci. Juga, setiap pemimpin perlu berkomitmen untuk terus belajar dan berkembang.
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 7 Desember 2024
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #pemimpin #pentingkah #menyentuh #hati #anak #buah