Pandemi membuat manajemen krisis menjadi makanan sehari-hari. Istilah “zona nyaman” tampaknya sudah tidak relevan lagi. Kita sudah berada dalam modus bersiap-siap, bertahan, memahami, lalu mengelola perubahan. Kita dipaksa untuk pandai-pandai menjinakkan krisis.
Hanya perusahaan atau bahkan negara yang bisa menciptakan suasana, produk, dan cara hidup barulah yang bisa bertahan menghadapi perubahan drastis ini. Imajinasi yang tadinya kita anggap sebagai proses berpikir tambahan yang sifatnya fun, bertransformasi menjadi hal yang sangat penting.
Sayangnya, imajinasi bukan hal yang mudah untuk dikembangkan begitu saja. Apalagi bila kita berada di bawah tekanan. Dari perkembangan ekonomi, hanya 14 persen perusahaan yang sukses berkompetisi karena mampu berinvestasi di lahan yang tepat.
Apple, contohnya, merilis iPod pertama kali pada 2001. Gebrakan ini dilakukan saat ekonomi AS mengalami resesi yang berdampak anjloknya pendapatan perusahaan. Bukannya kapok, Apple malah melipatgandakan investasi dan mengubah portofolio produknya.
Dengan peluncuran iTunes Store pada 2003 dan iPod baru pada 2004, pertumbuhan Apple langsung melonjak. Ini membuktikan bahwa kekuatan imajinasi bisa mengalahkan segala pemikiran strategis yang konvensional.
Adanya kecerdasan buatan (AI) saat ini, kita harus mengakui bahwa kita sedang memasuki peradaban lain. Bila dahulu zaman agrikultur berevolusi menjadi industrial, lalu memasuki era informasi, sekarang kita sudah bergeser ke era imajinasi.
Rasional ke imajinatif
Kita telah berkenalan dengan big data, yang memengaruhi kebutuhan masyarakat akan informasi akurat yang selalu didasarkan data. Proses utak-atik data bisa menjelaskan fakta-fakta penting yang menjadi dasar menyusun strategi dan mengambil keputusan.
Pada era imajinasi, banyak pekerjaan analisis yang berdasar pengetahuan eksplisit sudah dipindahkan ke mesin. Dengan pengolahan yang semakin canggih, analisis dapat dilakukan dengan cepat oleh teknologi. Lalu, bagaimana kita meningkatkan daya saing kita?
Di sinilah kapasitas imajinasi kita menjadi kunci untuk menciptakan economic value. Di tengah gempuran teknologi, nilai tambah pekerjaan yang dilakukan manusia terletak pada soft skills yang perannya sangat besar pada masa mendatang, seperti imajinasi, kreativitas, kapasitas emosi, dan kecerdasan sosial.
Imajinasi adalah proses esensial untuk menemukan solusi-solusi baru. Seseorang yang mampu berimajinasi dapat menciptakan dan mengembangkan gambar atau konsep tentang hal yang belum ada saat ini. Berbeda dengan pemikiran rasional yang kita gunakan untuk menganalisis data atau obyek yang nyata, pemikiran imajinatif kita gunakan ketika memikirkan sesuatu yang tidak ada di depan mata kita atau tidak masuk penginderaan kita.
Di situlah kita perlu kemampuan untuk membentuk “representasi mental” dalam benak kita. Gambaran yang kita buat dalam pemikiran kita bisa berasal dari pengalaman masa lalu, atau bisa saja datang dari khayalan kita.
Imajinasi penting dalam pemecahan masalah. Kita tidak akan menemukan jalan keluar baru tanpa daya imajinasi yang kuat. Apalagi bila kita tidak menemukan jawaban atas masalah tertentu, saat sedang merencanakan masa depan, berempati dengan orang yang asing, atau merancang sesuatu yang baru.
Martin Reeves dan Jack Fuller menulis di Harvard Business Review tentang pentingnya imajinasi untuk menciptakan peluang baru dan menemukan cara baru yang mengarah pada pertumbuhan.
Mengembangkan daya imajinasi
Beberapa ahli menyarankan berbagai hal seperti kebiasaan meluangkan waktu untuk berefleksi atau mengosongkan pikiran. Dalam keadaan terjepit atau saat menghadapi krisis, kita sering berpikiran jangka pendek dan melupakan masa depan.
Otak kita yang mengeluarkan hormon-hormon pemicu tindakan hit and run membuat sistem parasimpatik yang melakukan fungsi mencerna tidak efektif bekerja. Sistem saraf ini hanya bisa beristirahat bila kita dalam keadaan relaks.
Ketika relaks, seperti saat bermain, kita bisa berlatih berkreasi dan berimprovisasi. Ahli saraf Srini Pillay, dalam bukunya Tinker Dabble Doodle Try: Unlock the Power of the Unfocused Mind mengatakan bahwa bekerja keras terus-menerus bukan jawaban untuk tetap kreatif. Apalagi dari pengalamannya, ia merasa bahwa belajar nonstop ketika berkuliah di fakultas kedokteran menyebabkan kelelahan fisik dan mental.
Ketika ia mulai memasukkan istirahat singkat, jalan-jalan pendek, dan meditasi ke dalam rutinitas belajarnya, hasilnya meningkat pesat dan pandangannya terhadap kehidupan membaik secara drastis.
Dari sisi pikiran, kita juga perlu mengasah rasa ingin tahu dan kepekaan melihat situasi eksternal yang tidak terduga. Ketika memahami hal yang tidak biasa, otak kita yang terbiasa mencari pola akan melakukan penyesuaian “representasi mental”. Proses ini akan memicu kita untuk memikirkan ulang apa yang sudah kita ketahui serta menemukan kemungkinan-kemungkinan berbeda yang dapat diterapkan.
Kita juga bisa mengasah mental untuk mengajukan pertanyaan aktif dan terbuka. Pertanyaan aktif akan memancing kreativitas dalam mengeksplorasi ide untuk menghadapi situasi tersebut. Contoh pertanyaan aktif, bagaimana kita menciptakan sistem baru? Atau, apa pendekatan kepada pelanggan yang belum kita lakukan?
Dalam proses eksplorasi ide, perlu dibangun sistem untuk berbagi ide dan mengembangkan imajinasi kolektif organisasi. Oleh karena itu, perlu ada forum komunikasi terbuka bagi anggota tim dengan beragam latar belakang, untuk menyampaikan ide-ide tanpa rasa takut akan ditolak atau dihakimi. Proses ini akan semakin kuat dengan penerapan budaya kerja inklusif.
Selain itu, para pemimpin perlu mendorong eksperimen di tempat kerja. Ide-ide yang kita miliki hanya bermanfaat jika diuji di dunia nyata. Menguji ide baru sering kali membuahkan hasil yang tidak terduga dan merangsang pemikiran serta inovasi lebih lanjut.
Contohnya, Ole Kirk Christiansen, tukang kayu yang membuat perabot rumah tangga dan hampir bangkrut pada awal 1930-an saat terjadi Depresi Besar. Situasi ini memaksanya untuk bereksperimen dengan mainan kayu. Ketika sumber kayu menipis selama tahun-tahun perang, ia bereksperimen lagi dengan memperkenalkan mainan plastik yang merupakan bahan baru pada saat itu. Inilah cikal bakal merek Lego yang terkenal sampai saat ini.
Terakhir, pemimpin perlu membalut imajinasi dengan sikap optimisme. Dalam beberapa situasi, imajinasi akan memicu rasa tidak nyaman karena ada ketidakpastian tentang hasil yang akan diperoleh. Saat tidak yakin bahwa imajinasi akan berujung positif, seseorang akan memilih bersikap pasif sehingga hasil akhirnya pun tidak akan efektif.
Oleh karena itu, pemimpin wajib bertanya pada diri sendiri: apakah saya memberikan alasan kepada anggota tim untuk berharap, berimajinasi, dan berinovasi? Atau, apakah saya menggunakan bahasa pesimistis yang menurunkan kehendak tim untuk bereksplorasi?
“Tidak pernah dalam hidup kita, kekuatan imajinasi begitu penting dalam menentukan masa depan kita.” – Jim Loree
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 8 Juni 2024
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #era #imajinasi