Sebelum tahun 1990, Apple dikenal sebagai perangkat yang banyak digunakan kalangan kreatif, bukan sebagai perangkat yang fungsional, melainkan lebih sebagai gadget pelengkap. Mengapa? Orang sering tidak menggunakannya karena sistem operasi Apple tidak sama dengan yang umum dipakai orang.
Semua itu kemudian berubah ketika iklan Apple keluar dengan tagline “Think Different” sebagai reaksi terhadap kampanye IBM yang berbunyi “Think IBM”. Beberapa tahun kemudian, Steve Jobs mengakui bahwa ia sebenarnya tidak menyukai kampanye itu, tetapi secara intuitif ia sadar bahwa iklan ini akan efektif untuk menaikkan nilai perusahaannya. Dan, ternyata hal itu benar.
Pada masa kini saat data dianggap raja dan banyak keputusan mengandalkan data, kita seolah-olah bergantung dan tidak berkutik bila data belum tersedia. Di sisi lain, tidak jarang kita temui seseorang yang menjadi terdepan dalam membuka bisnis atau menginisiasi otomasi karena mampu mengendus kebutuhan tertentu dan melihat masa depan bagai cenayang. Terobosan-terobosan seperti ini biasanya menyebabkan perusahaan melesat dengan mencengangkan.
Apa yang membedakan orang-orang ini? Di ilmu psikologi sering digunakan istilah intuisi atau gut instinct yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk memahami sesuatu secara kilat, tanpa melalui proses reasoning yang disadari. Orang sering menyebutnya sebagai indra keenam.
Ada pemimpin yang mengasah judgement-nya setelah pengalaman bertahun-tahun sehingga ia dapat seketika mencerna informasi dan akhirnya mengambil keputusan lebih cepat dari rata-rata manusia normal. Intuisi ini bukan menebak karena dasarnya tetap informasi yang obyektif dicampur dengan informasi yang subyektif. Intuisi juga bukan reaksi impulsif atau emosional karena dasarnya adalah pengalaman.
Perbedaan orang yang intuitif dengan yang tidak adalah bahwa inner voice-nya bersuara lebih keras sehingga bekerja seperti insting. Dengan memvalidasi keputusannya, ia seolah membuat eksperimen dan mengasah judgement-nya.
Konon, pada 1950-an, Boeing hanya memproduksi pesawat tempur. Lalu Bill Allen yang memimpin Boeing saat itu tiba-tiba menginisiasi pesawat dengan daya terbang yang jauh lebih panjang. Ia meyakinkan pemegang saham untuk menginvestasikan 16 juta dollar AS dan melahirkan Boeing 707 pada 1957.
Bayangkan bila Allen hanya menjalankan business as usual dan tidak berani mengambil keputusan karena tidak ada datanya. Jadi, intuisi bisa dikatakan semacam seni. Kita perlu mempercayainya sehingga dengan data yang terbatas sekalipun, kita tetap dapat membuat keputusan yang cepat dan efektif. Richard Branson, pemilik Virgin Atlantics berkata, “Saya lebih mengandalkan insting daripada meneliti statistik dalam jumlah besar.”
Kecerdasan saja tidak cukup
Pada era perubahan dan tantangan yang tiada henti ini, tuntutan pada seorang pemimpin kian kompleks. Inteligensi konvensional sudah tidak cukup untuk menanggulangi masalah yang bergerak tanpa kejelasan.
Dalam teorinya yang disebut Polyfagal Theory, Prof Stephen Porges menyebut konsep “subtle intelligence” yang merupakan reaksi terhadap sinyal yang datang. Reaksi ini berada di tingkat subsadar kita, seperti ekspresi kaget bila kita hampir jatuh. Reaksi ini dipengaruhi medula, bagian otak yang secara refleks dan instan memerintahkan kita untuk bertindak tanpa pikir panjang dalam keadaan sehari-hari. Bagian lain dari otak yang bernama serebrum biasanya menggarap masalah yang kita hadapi dengan mengandalkan apa yang kita alami di masa lalu.
Dalam situasi yang kompleks yang sering kali tidak terjangkau oleh akal, kita butuh mengoordinasikan kerja serebrum dengan kelima indra kita. Serebrum yang merupakan seksi analitikal otak dalam proses berpikir perlu dihubungkan ketajaman indra agar mendapatkan jawaban yang lebih holistis. Inilah yang sering disebut dengan indra keenam. Seperti yang dikatakan Kahlil Gibran, “Ketika sampai pada akhir dari apa yang mesti diketahui, Anda akan berada pada awal dari apa yang harus rasakan.
Bayangkan, seorang eksekutif yang sedang menjajaki kerja sama dengan satu korporasi besar. Di tengah presentasi, ia merasakan adanya ketegangan dan merasa bahwa presentasinya tidak akan membawakan hasil yang ia inginkan. Ia membuatnya langsung mempercepat presentasi agar bisa melanjutkan pertemuan one-on-one dengan calon mitranya itu. Di sinilah intuisinya bekerja, dan bisa membawa hasil yang lebih efektif.
Keputusan dalam situasi seperti ini tidak cukup mengandalkan rasionalitas saja. Pemimpin harus berani memanfaatkan intuisinya. Bila ia sering melakukannya, keputusannya akan terasah sehingga ia bisa mengembangkan hubungan yang lebih dalam, menerawang berbagai kemungkinan, dan menciptakan solusi inovatif.
Menavigasi kompleksitas dan ketidakjelasan
Dalam membuat keputusan bisnis, indra keenam seorang pemimpin bisa menjadi panduan untuk mengidentifikasi informasi penting. Pemimpin perlu meningkatkan kepekaan untuk merasakan tantangan potensial dan harus yakin mengambil keputusan dalam keadaan ambigu sekalipun. Dengan kekuatan perkembangan teknologi, seorang pimpinan perlu melampaui judgement para programer untuk mendorong inovasi produk baru yang tidak terpikirkan oleh timnya.
Dengan timnya, pemimpin juga perlu membuat hubungan yang lebih mendalam agar bisa mengantisipasi kebutuhan timnya serta menciptakan suasana saling percaya dan berempati. Intuisi pemimpin dibutuhkan untuk tetap menciptakan lingkungan yang dinamis, mengikuti zaman, dan memfasilitasi aspirasi anggota timnya.
“Semakin Anda mempercayai intuisi Anda, semakin kuat intuisi tersebut. Dengarkan.”
Anna Taylor
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 18 November 2023
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #indra #keenam #sixthsense