Kita tahu, semua lini dan bidang di pemerintahan bergerak untuk mengatasi pandemi ini, tetapi terlihat hasilnya tidak terlalu menggembirakan.
Baru saja kita melihat di media sosial seorang ahli epidemologi mengkritik pemerintah atas cara kerja mereka yang tidak terencana dan terstruktur dalam mengatasi pandemi sehingga membuat Indonesia berada di papan atas untuk jumlah kasus positif dan kematian akibat Covid-19.
Memang kita melihat, semua negara mengalami masa sulit mengatasi keadaan ini, tetapi dengan koordinasi yang lebih baik ternyata negara, seperti China, Selandia Baru, disusul beberapa negara Eropa, bahkan Amerika yang tadinya terlihat parah berhasil melalui masa-masa kritis dengan lebih cepat.
Melihat karakter koordinasi negara yang makro sebenarnya juga dapat tecermin dari organisasi kecil sebagai miniaturnya. Kita bisa belajar bagaimana proses koordinasi di rumah sakit besar bisa terasa seamless sekali. Setiap petugas terlihat dengan mudah dapat mengetahui informasi pasien terkini tanpa harus bolak balik bertanya kepada pasien. Sejarah riwayat kesehatan pasien tersimpan dengan baik sehingga tim yang menangani dapat mengambil keputusan dengan cepat berdasarkan keahlian mereka masing-masing.
Betapa indahnya sistem yang menjadi tulang punggung koordinasi ini sehingga pasien merasa, mereka benar-benar berada di tangan yang baik dengan penanganan yang terasa personal meskipun baru sekali bertemu karena setiap petugas paham dengan baik kondisi pasien. Pasien tidak lagi mengalami frustrasi yang tidak perlu karena harus berulang-ulang menjelaskan kondisinya ketika ia berpindah bagian.
Gampang susahnya berkoordinasi
Di permukaan koordinasi memang terlihat mudah sekali digambarkan, dipetakan, dan dijalankan. Namun, dalam kenyataannya, tidaklah demikian. Koordinasi yang kuat memerlukan dukungan infrastruktur yang disusun dengan sangat komprehensif pula, seperti yang dilaukan oleh Perdana Menteri Tony Blair dengan program joined up government dan Perdana Menteri Selandia Baru dengan program restore the center-nya.
Ada beberapa hal yang menyebabkan koordinasi itu tidak berjalan. Bagaimanapun, koordinasi dijalankan oleh manusia, yang setiap orang dalam organisasi memiliki spesialisasi; tujuan, baik divisi maupun pribadi; dan keyakinannya sendiri. Setiap unit dalam organisasi memiliki cara dan standar untuk mengevaluasi metode kerjanya sendiri karena konsep kerja yang memang berbeda-beda.
Profesionalisme dari jabatan yang diemban pun dapat menumbuhkan ego, di mana demi prinsip terkadang orang sulit bertoleransi. Manusia juga seringkali memiliki persepsi dan orientasi yang berbeda terhadap waktu. Itu sebabnya sense of urgency sering tidak sama. Ada yang merasa, suatu masalah harus dimatangkan dulu baru ditindaklanjuti, sementara ada yang merasa, waktu adalah jawaban terbaik untuk semua masalah. Ketika harus berkoordinasi, kepentingan-kepentingan inilah yang perlu diwaspadai.
Cara berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain pun bisa jadi berbeda. Kesamaan almamater atau profesi seringkali membuat komunikasi lebih mudah karena adanya kesamaan bahasa dengan latar belakang yang sama.
Seorang ahli manajemen berpendapat, komunikasi internal di dalam organisasi harus menjadi prioritas utama. Banyak pesan yang tidak tersampaikan dengan mulus, e-mail yang tidak terbaca karena begitu banyak, tidak adanya tindak lanjut hasil meeting yang jelas, kesulitan untuk mendorong individu mengungkapkan pendapatnya dalam rapat-rapat, juga top management yang sangat reaktif sehingga membuat tim kebingungan dalam menentukan arah. Padahal, komunikasi internal yang buruk, pasti berdampak pada komunikasi eksternal.
Sebagai rakyat, kita juga merasakan kebingungan ketika mendapati koordinasi pemerintah terkesan simpang siur antara apa yang diumumkan dengan kenyataan praktik di lapangan. Untuk itu, perlu adanya governance yang jelas untuk mengawal koordinasi.
Dokumentasi: Sering kali dilihat sebagai beban sehingga membuatnya jadi dinomorduakan. Padahal, dokumentasi ini justru bisa menjadi kunci komunikasi internal. Kita memang perlu menyusun dengan jelas data apa yang penting untuk dicatat, bagaimana metode pencatatannya, dan bagaimana data tersebut akan diolah lebih lanjut. Sekedar mencatat segala hal yang terjadi tanpa memahami esensi dari pencatatan tersebut bagi pekerjaan akan mengakibatkan penumpukan data selain juga menghabiskan waktu. Pada akhirnya, hal ini akan menurunkan motivasi pihak-pihak yang terlibat karena mereka sendiri tidak merasakan manfaat dari usaha yang sudah dikeluarkan. Informasi yang terlalu berlebihan malah akan membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih sulit bila mana pengambil keputusan tidak bisa memilah mana informasi yang penting dan tidak penting. Hal ini pada akhirnya justru menghambat koordinasi. If information is power, it is also a pain – Scott Canon.
Briefing: kita tahu bahwa untuk membuat semua partisipan berada pada satu tingkat gelombang pemahaman tidaklah mudah. Oleh karena itu, briefing intensif yang melibatkan semua orang sangatlah penting untuk dilakukan. Dalam briefing ini, kita harus memastikan terjadinya tanya jawab dan diskusi untuk memastikan keseriusan koordinasi dan tercapainya pemahaman yang setara.
Standarisasi. Dokumentasi dan briefing intensif belumlah cukup untuk memastikan koordinasi akan berjalan lancar. Kita sering lupa bahwa setiap divisi dengan keahlian dan sasarannya masing-masing bisa memiliki istilah, jargon, atau standar yang berbeda. Karenanya kita perlu membuat standar dalam bahasa yang betul-betul bisa dipahami bersama. Standarisasi ini sekaligus juga memperkuat bahwa sasaran yang akan dicapai adalah kesuksesan bersama, bukan kepentingan masing-masing. No one can whistle a symphony. It takes a whole orchestra to play it – H. E. Luccock
EXPERD | HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 14 Agustus 2021
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #koordinasi #coordination