Saat ini, kita semua sedang menghadapi badai kesehatan dan ekonomi yang entah kapan akan berakhir. “Show must go on”, banyak organisasi yang sekedar berusaha untuk survive sebisanya, berpikir kreatif, berusaha menangkap setiap celah kesempatan yang ada.
Perubahan yang kita alami bukan main dramatis, berdampak pada berbagai organisasi dan bidang usaha. Laju perusahaan pun harus dijalankan secara digital, work from home menjadi the new normal. Banyak organisasi yang kemudian mengurangi budget pengembangan karyawan. Padahal, terutama di masa seperti inilah pengembangan karyawan menjadi sangat penting, baik itu reskilling untuk mengingatkan akan keterampilan yang sudah ada ataupun upskilling yang dapat membantu karyawan agar bisa tumbuh dan berkembang menyesuaikan diri dengan tuntutan yang ada.
Perusahaan tetap harus bersaing dan memenuhi kebutuhan pelanggan yang sudah berbeda dalam situasi sekarang ini. Saat sekarang, pengembangan bukan saja hardskills atau softskills, tetapi juga perlu dikombinasikan dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Kemarin-kemarin kita begitu menikmati pembelajaran dengan experiental learning secara tatap muka. Saat sekarang, ketika kita harus beralih dengan belajar secara digital, dan merasakan banyaknya kendala.
Inilah saatnya kita memikirkan bagaimana menggantikan experiental learning ini dengan cara-cara yang digital. Hasilnya tentu tidak 100 % sama, tetapi kita perlu berkreasi untuk tetap bisa melaksanakannya. Bahkan, sebenarnya ada beberapa keuntungan yang bisa kita dapatkan bila pembelajaran dilakukan secara digital. Kita tidak perlu mentransportasikan para peserta pelatihan ke suatu tempat karena mereka bisa belajar dari tempatnya masing-masing. Perusahaan seperti Twitter sudah meyakini bahwa mereka bisa menjalankan semua proses belajar secara daring.
Apa yang sebenarnya sulit tergantikan dalam pembelajaran offline ini? Banyak orang merasa bahwa pembelajaran daring bisa dilakukan dengan memberi tugas belajar untuk kemudian dibahas melalui video call. Atau, sedikit lebih maju, dengan menampilkan semua slide yang digunakan dalam kelas secara daring. Kedua cara ini bisa kita sebut sebagai static e-learning, yang sering membuat peserta kehilangan fokus dan lelah belajar. Alih alih membuat materi pengajaran menempel di benak peserta, cara mengajar seperti ini membuat peserta mungkin sibuk membuka dan mengerjakan halaman lain di komputernya selama saat pelajaran.
Diskusi kelompok, sesi sharing sesama peserta mampu membawa pengaruh positif pada suasana belajar. Selain bisa membandingkan dirinya dengan orang lain, mereka juga bisa bertukar pikiran. Tentunya mengupayakan pembelajaran daring secara berkelompok memerlukan upaya ekstra. Namun, usaha ini sepadan dengan hasilnya karena pembelajaran akan menjadi lebih kaya. Beberapa kegiatan gamification juga sangat berkesan pada peserta pelatihan karena mendorong keterlibatan emosi yang sangat kuat dari mereka dalam suasana yang fun. Hal-hal inilah yang perlu kita upayakan dan carikan penggantinya bila kita ingin merancang suatu pelatihan daring.
“Learner focus” dalam pelatihan daring
Dalam pelatihan tatap muka, pengajar dengan mudah masuk ke dalam diri peserta karena pertemuan tatap muka otomatis melibatkan emosi dan fisik. Hal ini tidak bisa dengan mudah didapatkan secara daring. Pengajar perlu benar-benar memikirkan bagaimana dapat mengarahkan percakapan yang mendorong pada keterlibatan emosi peserta sehingga pikiran mereka pun terbuka.
Kita harus ingat bahwa dalam pelatihan orang dewasa, setiap peserta sudah memiliki pandangan dan pengalamannya sendiri terhadap materi yang diberikan. Di sinilah peran pengajar tidak saja sebagai orang yang sekedar mempresentasikan konsep, tetapi juga menjadi fasilitator untuk bertukar pendapat dengan pesertanya. Ia perlu menjaga agar komunikasi berlangsung sejajar dan dalam suasana saling menghargai. Di sini, kita tidak bisa sekedar berbicara dalam tingkat rasional, tetapi juga harus menyentuh tingkat emosional. Agar pelatihan mengena, fasilitator harus mampu memahami kebutuhan individual para pesertanya.
Kita juga perlu tetap mempertimbangkan bahwa pelatihan daring yang dilakukan harus memiliki hasil yang terukur. Pimpinan perusahaan pada saatnya akan mempertanyakan apa dampak dari pelatihan yang sudah dilaksanakan. Untuk itu, sebaiknya fasilitator semenjak awal menyampaikan sasaran pelatihan serta bagaimana cara mengukurnya.
Berbeda dengan situasi kelas biasa, fasilitator perlu memotong-motong pelatihan ke dalam beberapa babak dengan memberi jeda di antaranya, mengingat fokus pada layar komputer terus menerus bisa membuat peserta pelatihan lebih cepat lelah.
Partisipasi aktif peserta
Agar pelatihan sukses, peserta juga harus memiliki kesediaan untuk bekerjasama dalam situasi belajar yang berbeda ini. Peserta sebaiknya mempersiapkan diri baik secara fisik maupun mental sebelum menghadiri kelas. Lingkungan tempat belajar pun harus dipersiapkan agar bebas dari gangguan dari anggota keluarga lain.
Mereka harus memiliki komitmen mengingat kontrol untuk belajar 100 persen ada di tangan mereka. Selain itu, peserta juga perlu menyadari bahwa social learning lebih efektif daripada belajar sendiri. Oleh karena itu, mereka perlu aktif berkolaborasi dan mengikuti kegiatan kelompok untuk ‘make the learning stick’.
Diterbitkan di harian Kompas karier 30 Mei 2020
#experd #expert #experdconsultant #hr #hrconsultant #wfh #workfromhome #corona #covid19 #digital #learning