Berapa orang di antara pembaca yang termasuk golongan milenial? Terus terang, saya bukan milenial. Saya tergolong generasi baby boomers. Meski demikian, saya tidak antidisrupsi. Saya merasa bila tidak menjadi disruptor dengan sendirinya saya akan tergilas. Sudah lama saya insyaf dan tidak mau berada di situasi status quo
DALAM dunia korporasi, ketika good corporate governance menjadi patokan etika perilaku dan keputusan di perusahaan, sikap yang sesuai dengan aturan dan norma tentunya menjadi landasan yang sangat penting. Bila ada yang mengusulkan hal baru dan belum pernah dikenal oleh organisasi, dengan cepat biasanya para senior akan mengajak semuanya untuk kembali ke aturan yang berlaku dan mencari solusi yang dekat dengan praktik-praktik yang sudah biasa dilakukan. Kata-kata kunci seperti “aturan” dan “rumus” adalah andalan kita dalam berargumentasi. tanpa menyadari bahwa kata-kata itu berasal dari mindset yang old school, yang tentunya akan sulit bersaing dengan masa depan yang serba VUCA.
Bayangkan loncatan yang bisa kita raih dengan inovasi-inovasi tersebut. Kita tidak akan memiliki segala kemudahan yang dinikmati saat ini bilamana para penemu begitu cepat putus asa dan mengambil langkah aman berada di comfort zone mereka saja.
Sikap mental ”self disruptive”
Hal pertama yang perlu ditanamkan dalam diri adalah kita tidak bisa menunggu orang lain, lingkungan, atau perusahaan berubah, baru kita mengikutinya. Kita perlu menanamkan bahwa sukses organisasi ada di tangan sendiri. Kitalah yang perlu future-focused dan merasa antusias dengan perubahan yang cepat. Kita tidak bisa menunggu orang lain. Kita perlu melawan mindset kita sendiri, menjadi orang yang berpikiran fleksibel, terbuka terhadap ide-ide yang nyeleneh dan senantiasa bertanya: why not. Bila merasa sudah terbebas dari belenggu pikiran kaku fixed mindset, kita baru bisa menengok kiri kanan dan mengajak orang lain untuk juga bersikap disruptif dengan kita sebagai role model-nya.
Kita pun perlu berpikiran maju dan belajar mengadaptasi sikap-sikap baru. Terkadang perubahan sudah harus terjadi sebelum rencana selesai dimatangkan. Dalam kondisi seperti ini, bisa saja seorang pemimpin yang bereaksi sangat cepat dengan mengumandangkan perubahan yang akan terjadi di organisasi kemudian menimbulkan berbagai macam reaksi di kalangan anak buahnya. Ada yang mungkin sangat antusias karena memang sudah mengharapkan perubahan terjadi. Ada yang biasa-biasa saja karena perubahan tersebut tidak langsung mengenainya. Namun, bisa jadi banyak yang resah karena ketidakjelasan yang dirasakannya. Pemimpin memang seharusnya memperhatikan perasaan anak buahnya, tetapi anak buah pun harus siap sedia memiringkan badan mengikuti ke mana kapal berbelok arah.
Semua orang, baik pemimpin maupun anak buah, memang perlu memiliki kemampuan beradaptasi secepat mungkin, keluar dari comfort zone kebiasaan lama, banyak bertanya why kepada diri sendiri maupun sekitar dan merancang langkah-langkah kecil dalam perubahan untuk mendapatkan small wins yang cepat dan nyata.
Yakinkan bahwa ketidakjelasan dan kegagalan itu baik
Semua orang merasakan ketidakjelasan, mulai dari pemilihan presiden yang begitu menegangkan sampai-sampai banyak organisasi menunda keputusan-keputusan pentingnya untuk melihat dahulu angin politik yang akan terjadi sampai pada penunjukan menteri baru yang menuai banyak kontroversi. Banyak pertanyaan yang berkecamuk seputar what next kondisi ekonomi dan perkembangan bisnis di Indonesia ini. Di atas situasi inilah kita berdiri dan di sinilah kita tetap perlu merencanakan tindakan. Kita harus meyakinkan diri sendiri bahwa kita sudah dekat untuk mencapai efektivitas yang ideal.
Hal yang sering juga menjadi penghambat dalam mendisrupsi diri adalah fear of failure. Kita lupa bahwa ketika pertama kali belajar mengendarai sepeda pun kita pernah jatuh. Bahkan, para ahli bersepeda sering mengatakan: tanpa jatuh, kita tidak akan pernah menjadi pesepeda ulung. Bukankah jatuh ini juga kegagalan. Mengapa hal ini justru bisa membuat mereka bangga? Bila kita memandang uncertainty melalui lensa pesepeda, bukankah kita bisa lebih santai dan bahkan lebih bersemangat menembus ketidakjelasan ini? Doing something for the first time often requires the risk of not knowing how it will turn out and doing it anyway.
Keyakinan ini memang tidak mudah ditanamkan pada diri individu yang belum berpengalaman. Karenanya pengalaman ini harus kita buat. Kita perlu segera mencoba menerobos dan menguatkan hati untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa memasuki ketidakpastian itu tidak akan berakibat fatal juga. Hanya upaya inilah yang bisa membuat kita relevan dengan situasi yang senantiasa mengagetkan ini.
Tetap strategik
Tentunya setelah berhasil keluar dari comfort zone kita tidak dianjurkan untuk membabi buta. Kita perlu mengambil risiko yang benar, misal-nya dengan menemukan apa kekuatan kita yang utama dan berfokus di sana. Kita juga perlu melihat hambatan bukan sebagai tembok yang tidak bisa dilewati, tetapi justru perlu kita pelajari, bedah sehingga kita tahu cara menembusnya. Hambatan bisa kita anggap sebagai umpan balik. Hambatan juga bisa membuat kita lebih fokus.
Adam Morgan and Mark Barden, penulis A Beautiful Constraint, menuliskan enam langkah mengubah hambatan menjadi hal yang lebih berguna.
- Jangan sekali-kali merasa menjadi korban.
- Jangan pernah terlalu bergantung pada seseorang atau kelompok tertentu.
- Kaitkan hambatan dengan sasaran kita, seperti menaklukkan hambatan.
- Sering-sering menggunakan frasa “can-if” dan menggantikan “no” atau “tetapi”.
- Cari sumber daya baru.
- Kuatkan emosi.
Diterbitkan di harian Kompas Karier, 16 November 2019.
#experd #expert #experdconsultant #selfdisruption #self #disruption