Seorang asisten manajer di sebuah perusahaan tambang yang terpencil, baru saja ditempatkan di divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia. Yang bersangkutan berharap bahwa dengan bekerja di divisi ini, ia akan memiliki banyak waktu santai karena hanya akan berurusan dengan hal-hal rutin seperti absensi, pengangkatan, rotasi karyawan, rekrutmen, dan lain sebagainya. Ternyata yang terjadi tidak sama dengan harapannya. “Selama enam bulan mengerjakan tugas ini, saya tidak pernah duduk adem ayem di bangku saya. Kami memang banyak dibantu dengan sistem HRIS (Human Resources Information System) untuk proses-proses administrasi, namun ternyata waktu kerja banyak terisi dengan dialog dan diskusi bersama mereka yang di lapangan agar semua tindakan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana. “Ternyata tugas tim HR sangat dinamis” komentarnya.
Kita lihat, di tempat terpencil di mana kita berasumsi bahwa organisasi masih sangat birokratis, ternyata praktik pengembangan SDM sudah mengalami pergeseran. Asisten manager yang tadinya tidak antusias ketika dipindahkan untuk mengurus SDM, sekarang menganggap pekerjaannya demikian menantang. “Cara pengembangan SDM sekarang sedang mengalami evolusi”, demikian komentarnya. Professional pengembangan SDM yang sekarang bekerja sama dengan pimpinan perusahaan sangat menentukan masa depan perusahaan. Bila SDM tidak kreatif, tidak berpikiran maju, otomatis kegiatan perusahaan pun akan cepat menua.
Di tahun-tahun ini, kita tidak punya banyak pilihan. Kita bisa mengikuti tren atau ketinggalan zaman dalam membangun perusahaan yang kompetitif. Perusahaan-perusahaan seperti Apple yang memiliki reputasi baik sebagai best employer, pasti sudah melibatkan departemen HR nya untuk menciptakan daya tarik dalam membangun karyawan yang dinamis, kreatif, dan inovatif. Hal ini juga yang secara otomatis memperkuat branding perusahaan. Reputasi perusahaan seperti ini tentunya mempengaruhi keinginan calon karyawan untuk bergabung, bahkan meningkatkan daya tawarnya. Saat sekarang, reputasi perusahaan tidak sekedar diatur oleh divisi marketing saja. Media sosial, testimoni karyawan bisa membangun impresi bukan saja untuk engagement dan kesempatan karir karyawan, namun juga kepada branding perusahaan secara keseluruhan. Kita pun bisa membayangkan sebaliknya: apa jadinya bila karyawan tidak puas dan memasang kekecewaannya di sosial media? Bukankah nama perusahaan secara keseluruhan juga terdampak?
Karenanya manajemen SDM sekarang ini juga perlu menjadi lebih fleksibel. Diversity dan inclusiveness perlu menjadi prinsip, bukan sekedar pertimbangan semata. Kita membutuhkan orang-orang dengan latar belakang berbeda, dengan berbagai keterampilan dan disiplin ilmu serta dari berbagai generasi. Tentunya tidak mudah untuk mengelola ini semua, menyatukan keberbedaan ini agar mereka semua dapat mengoptimalkan kekuatan masing-masing untuk mencapai tujuan organisasi.
Evolusi manajemen SDM
Bila dulu erat kaitannya dengan hukum, aturan, dan tata kelola do’s dan don’ts karyawan, sekarang ini manajemen SDM justru perlu lebih menguatkan aspek humanisnya dalam menerapkan aturan.
Dulu manajemen SDM kerap menjalankan 4 R: Recruit, Recognition, Reward, dan Retention. Sekarang arahnya justru menjadi 4 E: Enable, Empower, Engage, dan create Experience.
Dulu berperan sebagai polisi di organisasi, sekarang harus mengelola sebanyak-banyaknya coach, mentor, dan thought leader di organisasi.
Dulu kita menjaga agar organisasi aman tentram, status quo. Sekarang kita harus khawatir bila organisasi tenang dan tidak bergerak. Kita justru harus anti status quo sekarang ini.
Dulu masih banyak pekerjaan administrasi yang sekarang sudah banyak yang diotomasi, sehingga professional SDM dapat memusatkan seluruh perhatian pada perasaan, mental, dan keterampilan karyawannya.
Bila dulu manajemen SDM mengikuti strategi perusahaan, maka sekarang manajemen SDM harus menentukan strategi perusahaan, mengingat SDM lah yang menentukan suksesnya bisnis perusahaan.
Pendapat bahwa SDM adalah beban dan merupakan cost center sudah super kuno. Manusia adalah profit-enabling center.
Dulu kita berusaha menyusun deskripsi jabatan yang pasti dengan dokumentasi rapi. Sekarang muncul kesadaran bahwa deskripsi itu tidak bisa dibuat terlalu spesifik mengingat VUCA membuat semuanya senantiasa berubah.
Dari mendiamkan ‘silo –silo’ dalam organisasi, sekarang berusaha menggerakkan seluruh karyawan untuk memahami bisnis organisasi dari hulu ke hilir.
Kita lihat bahwa manajeman SDM sudah berubah fokus, dari yang tadinya berprinsip kepatuhan, sekarang berusaha membangun semangat intrapreneurship bagi semua orang. Kepiawaian dalam psikologi organisasi, tidak cukup mumpuni untuk menghadapi keadaan sekarang. Yang kita perlu kuasai adalah bagaimana membuat organisasi senantiasa berinovasi.
Membangun komunitas bertalenta yang aktif
Ketika sekarang ini sering terdengar keluhan betapa dinamisnya individu-individu bertalenta, keterampilan manajemen SDM justru harus sampai pada tingkat menciptakan perusahaan sebagai sebuah komunitas yang beranggotakan individu-individu bertalenta yang happy dan kreatif.
Dengan sendirinya, dalam sebuah komunitas kekuatan interpersonal sangatlah penting. Komunikasi benar benar perlu bersifat person to person. Profesional SDM tidak bisa tidak aktif bersosial media, baik untuk berkomunikasi, maupun memantau suasana komunitasnya. Media sosial mau tidak mau harus diakui sebagai ajang komunikasi yang semakin menguat keberadaannya. Waktu yang kita alokasikan untuk mengelola SDM perlu kita efisienkan dengan sebanyak-banyaknya dengan memanfaatkan Artificial Intelligence, sehingga kita bisa betul-betul berkonsentrasi secara holistik terhadap pengembangan setiap individu. Kita harus menjadi komunitas pilihan para talenta. Dan upaya untuk menjaga reputasi ini sangatlah keras. The "why" will engage them. People want to get behind a mission and purpose. Great companies listen and leverage employee insights. - Terry Hoffmann.
Diterbitkan di harian Kompas karier, 7 September 2019
#experd #expert #experdconsultant #sdm #manajemen #carabaru