Teman saya selalu bersemangat berangkat kantor. Kantor serasa rumah kedua baginya. Ia tidak pernah mengeluh tentang banyaknya lemburan ataupun jarak rumah dan kantor yang cukup jauh.
Sebaliknya, teman lain yang terlihat sangat perfeksionis dan sering bekerja lembur sampai malam, sering kali mengeluarkan pernyataan-pernyataan di sosial media yang memberi kesan ia sangatlah menderita setiap harinya. Dia merasa bekerja seperti budak dan begitu terbebani dengan pekerjaannya. Tidak heran ia selalu memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan-kesempatan hari kejepit dan tanggal merah untuk berangkat berlibur dan merasa begitu bebas merdeka. Sebagai pengelola atau pimpinan perusahaan, kita memang harus senantiasa memperhatikan “hati” para karyawan.
Berkenaan dengan berkembangnya teknologi dan berubahnya karakter para milenial yang mengutamakan work smart play hard ini, fun dan play memang sudah menjadi focus. Tidak hanya di tempat kerja, tetapi juga di lingkungan-lingkungan lain.
Untuk mempertahankan pelanggannya, Starbucks di Shanghai, bekerjasama dengan Alibaba mengembangkan sebuah “amusement park for coffee”, lengkap dengan fitur-fitur augmented reality, yaitu pelanggan bisa memahami proses pemanggangan kopi dan bisa membuka menu secara virtual dengan menunjukkan jari pada ponsel masing-masing saja. L’Oreal memudahkan para pelanggannya dengan program 64 “beauty looks”, yaitu para pelanggan bisa bereksperimen dengan alat-alat kosmetiknya sebelum memutuskan untuk membeli. User experience seperti ini tentunya perlu juga diupayakan oleh perusahaan-perusahaan lain yang memang menyadari bahwa harus ada sesuatu yang fun untuk menarik perhatian para pelanggan.
Bila perusahaan melakukan beragam usaha untuk menarik hati pelanggan, tidakkah perusahaan juga tergerak untuk mencari cara agar para karyawan juga bisa berprestasi, bukan karena suatu kewajiban, melainkan mereka memang menikmati pekerjaannya? Happy employees are healthier and more productive – so don’t overlook the importance of having fun in the workplace.
The Levity Effect
Adrian Gostick dan Scott Christopher membuat eksperimen tentang fenomena ini. Mereka ingin mengetahui apakah produktivitas bisa ditingkatkan bilamana individu tahu bahwa ia bisa mendapatkan reward yang menyenangkan. Para pekerja di sebuah pabrik dijanjikan bahwa mereka bisa bersantai bermain selama 2 jam di luar pabrik bila mereka bisa mencapai 150 persen dari target produksi. Ternyata pada pukul 1.30 siang, mereka sudah mencapai 110 persen target dan pada pukul 3 sore sudah mencapai 150 persen. Para karyawan dengan gembira keluar bersenang-senang dan bermain lomba membuat pesawat terbang kertas. Bukankah ini perayaan yang sangat sederhana? Seminggu kemudian, karyawan meminta agar mereka boleh bermain voli ketika surplus tercapai lagi. Inilah yang kemudian disebut oleh dua orang penulis itu sebagai Levity Effect.
Fenomena ini membuktikan bahwa fun dan laughter sangat mempengaruhi produktivitas, engagement, dan loyalitas tenaga kerja. Bahkan, pemimpin yang berkepribadian santai, humoris, biasanya lebih sukses daripada pemimpin yang terlalu serius. Itulah sebabnya, perusahaan besar, seperti Boeing, Nike, KPMG, Yamaha, dan Zappos menggunakan fun sebagai unsur penting dalam budaya perusahaannya.
Bagaimana bila perusahaan merugi? Apakah budaya fun ini bisa kita jadikan pendorong kesuksesan? Hal ini mungkin saja mengandung risiko dan seperti halnya telur dan ayam, mana yang sebenarnya harus kita garap terlebih dahulu? Namun, dalam kondisi sekarang ini ketika bermain sudah merajai lifestyle kita, tidakkah kita harus mencari cara-cara kreatif untuk membuat suasana bekerja laksana permainan? Apalagi ternyata sudah dibuktikan bahwa perusahaan-perusahaan dalam kategori GREAT memang sudah menerapkan budaya ini dan terbukti betapa rasa percaya, kreativitas, dan komunikasi menjadi lebih lancar.
Belajar dari perusahaan “entertaintment”
Banyak perusahaan yang sudah menganut paham bahwa otak kita perlu passion, play, & release. Ini memang perlu untuk membuat kita terhubung satu sama lain secara emosional. Ada yang membuat lomba olahraga, kontes, sampai kegiatan sosial bersama. Selebrasi dan apresiasi juga ditambah. Namun, pada era milenial ini, kita memang perlu memiliki mindset bahwa kita bersaing dengan perusahaan-perusahaan game seperti Fortnite yang diminati anak muda lebih dari HBO atau Netflix.
Pada zaman virtual seperti ini, bekerja dari jarak jauh memang populer. Namun, kehadiran tetap sangat diperlukan. Tidak boleh lagi slow response. Kita harus mengupayakan being there melalui segala media, baik offline maupun online. Kita harus hadir pada saat kemenangan ataupun kekalahan tim terjadi. Nothing beats the roar of the crowd, the thrill of live action for a sporting event.
Bila semua perusahaan seperti Ikea mengupayakan discovery effect bagi pelanggannya, dengan membuat permainan di ponselnya sehingga bisa membayangkan bagaimana perabot yang ada di display ditempatkan di ruangannya, kita pun perlu mengupayakan kreativitas seperti ini untuk membangun semangat kerja tim sehingga setiap karyawan memiliki rasa discovery dalam pekerjaannya.
Kita memang menjalankan bisnis secara serius, bukan perusahaan entertaintment. Namun, untuk menarik hati karyawan, tidak ada salahnya kita juga menggunakan cara-cara yang menarik. Pertama kita perlu mengingat bahwa karyawan zaman sekarang pun pemilih. Kita perlu menjadi perusahaan berproduk terbaik, dengan SDM terbaik, memilih material terbaik sehingga kita memang terpilih di hati karyawan. Kita juga perlu menyediakan media-media yang memungkinkan semua orang bicara dan didengarkan. Semua elemen komunikasi yang ada perlu digalakkan. Terakhir adalah “know your audience”. Pikirkan apa yang disukai dan akan dipilih oleh karyawan Anda. Sajikan hal tersebut kepadanya. Pasti ia akan bekerja lebih passionate lagi bila tugas itu memang pilihannya. Entertainment can be more powerful than cold efficiency. In an age defined by immersive and interactive experiences, how will your company win the crowd?
Diterbitkan di harian Kompas Karier 25 Mei 2019