KETIKA pada 1787 Thomas Jefferson mencanangkan literasi bagi seluruh rakyat Amerika, apakah terbayang olehnya bahwa pada akhir abad ke-18, Louis Octave Uzanne dalam bukunya The End of Books sudah memperkirakan bahwa media elektronik akan banyak menggantikan peranan buku?
Apakah ia juga membayangkan bahwa saat sekarang orang sudah pandai menggunakan smartphone bukan sekedar untuk membaca, tetapi juga untuk lebih banyak menulis? Penggunaan ponsel ini juga membuat orang dengan cepat bisa menentukan apa yang ingin dibaca. Jadi, maraknya penggunaan ponsel ini sudah menciptakan platform bacaan yang berbeda dari masa-masa lampau.
Tidak ada lagi keraguan mengenai kemampuan membaca. Namun, justru apakah kita pernah memikirkan bagaimana kualitas informasi yang masuk ke dalam benak melalui bacaan kita? Betapa banyak kita mendengar mengenai para lulusan yang tidak menguasai secara mendalam skripsi atau tesisnya. Bahkan, kita perlu berhati-hati, kalau kita jadi tidak terlatih untuk melakukan enquiry baik dalam percakapan dan kegiatan membaca ataupun dalam berselancar di situs web-situs web sehingga apa yang kita tahu bisa jadi hanya di permukaan saja.
Alvin Toffler dalam bukunya Powershift: Knowledge, Wealth, and Power at the Edge of the 21st Century mengatakan, “The illiterate of the 21st Century are not those who cannot read and write but those who cannot learn, unlearn and relearn.”
Gejala ini memang terlihat sehari-hari, dalam kekeras-kepalaan beberapa individu, tidak harus terjadi hanya pada orang tua yang berpengalaman, tetapi juga bisa pada anak muda yang sulit memasukkan informasi tambahan di dalam benaknya, yang merasa bahwa apa yang ia ketahui sudah cukup, bahkan mungkin cenderung merendahkan dan menolak pengalaman orang lain yang berbeda. Inikah gejala kurangnya literasi di zaman now ini?
Kebiasaan reformasi pola pikir
Di era di mana aset sudah tidak terdiri dari hal-hal yang teraga, seperti properti, emas, dan peralatan, kita memang perlu berhati-hati dengan aset intelektual yang kita miliki baik secara pribadi maupun kelompok atau lembaga. Ada tantangan bagi kita semua untuk tidak terjebak pada struktur berpikir yang sudah kita miliki dan bisa menyambut semua disrupsi serta gejolak yang akan dan sedang kita hadapi sekarang.
Berarti, kita perlu belajar untuk terus mempunyai ruang di dalam otak kita agar mampu menyerap hal-hal baru, menangkap informasi yang kita dapat ketika berbicara dengan orang lain, ataupun berdiskusi dengan stakeholder kita. Kita perlu belajar untuk menjaga kerjanya mental conditioning kita. Bagaimana kita, yang mungkin sudah menduduki jabatan yang mengharuskan kita mengambil keputusan, yang sudah banyak mengajar, atau kita yang sudah mempunyai gelar ganda yang dengan susah payah mempertahankan hipotesis kita dihadapan para intelektual, bisa tetap menjaga kebugaran mentalnya?
Learning, Unlearning, Relearning
Beberapa ahli yang berkecimpung di dunia psikologi meneliti beberapa kelompok manusia dengan berbagai profesi. Mereka mendapatkan bahwa orang-orang yang paling kuat belajar bukanlah mereka yang berada di lembaga intelektual seperti universitas, tetapi justru para wirausaha. Para wirausaha ini mempunyai perasaan yang kuat tentang apa yang mereka tahu dan yang mereka tidak tahu. Untuk hal-hal yang dikuasai, mereka selalu berfikir bahwa lifetime pengetahuan ini akan pendek dan segera menjadi basi. Sementara hal-hal yang tidak mereka ketahui dianggap sebagai kesempatan terselubung dan perlu digali lebih lanjut.
Beginilah sikap mental para wirausaha dalam menghadapi ketidakpastian dan perubahan. Pilihan cara pikir, cara hidup, dan mindset-nya merupakan perputaran yang konstan antara aspirasi dan kebutuhan sehingga passion untuk melakukan eksplorasi makin lama makin cepat. Sikap mental yang kuat inilah yang perlu kita pelajari. Mereka bahkan menyukai kompetitornya, membina hubungan dari kompetitornya untuk bisa belajar dari mereka sambil tentunya mengawasi perkembangan para pesaingnya. Seperti yang diungkapkan oleh Andy Grove, CEO dan founder Intel dalam bukunya Only the Paranoid Survive.
Jadi, bisa dikatakan bahwa orang yang bisa membangun kebugaran mentalnya adalah mereka yang kuat melakukan unlearning-nya terlebih dahulu, untuk kemudian baru belajar, dan terus berlatih sehingga pembelajaran yang baru bisa terinternalisasi menjadi bagian dari dirinya. Unlearning adalah proses yang berkesinambungan dengan menggunakan banyak pertanyaan tentang yang kita tahu maupun tidak tahu untuk menemukan hal yang kita belum tahu.
Relearning bisa disebut refocused learning karena apa yang kita lakukan biasanya adalah mengganti fokus, asumsi, dan metode berpikir kita. Ini memang terlihat mudah, tetapi kebanyakan dari kita menolak untuk melakukannya. Ego kita tidak suka dipertanyakan, dicabik-cabik, dan dibangun kembali. Itulah sebabnya hal yang paling penting adalah meyakini ego kita bahwa kita bahkan akan menjadi lebih besar dan kuat bila kita menjadi manusia pembelajar yang modern.
Kalau dulu kita mengatakan bahwa belajar itu adalah connecting the dots, memaknai hubungan antara titik data satu dengan yang lain, sekarang ini kita justru perlu rajin mempertanyakan setiap titik data. Apakah masih relevan? Apakah ada fakta lain di luar data yang kita miliki tersebut? Baru sesudah itu kita akan mempunyai kesempatan untuk menemukan hubungan-hubungan baru.
Proses “mental conditioning” ini sama seperti “physical conditioning”, semakin sering kita latihan, semakin fitlah kita.
Untungnya, manusia yang adalah makhluk tertinggi ciptaan Allah ini memang dibekali oleh kemampuan belajar dan berpikir, sehingga kita bisa saja melakukan renovasi cara pikir kita, asal berniat sungguh sungguh.
To learn something, in other words, to successfully process new information, nerve cells make new connections with each other. Inilah literasi mental zaman now.
Diterbitkan di harian Kompas tanggal 10 November 2018.