Sebuah studi menyatakan bahwa 20 persen di antara pekerja saat ini sudah tidak lagi bekerja secara nine to five di kantor seperti dulu. Perkembangan teknologilah yang mengubah interaksi kita di dalam dan di luar tempat kerja.
Tugas di pekerjaan, seperti yang tergambar dalam job description, sudah tidak lagi bisa menjadi patokan, mengingat pekerjaan sudah menjadi beratus bahkan beribu proyek kecil jangka pendek yang lebih menantang. Organisasi besar pun sudah mengurangi hierarki dan menjadi 25 persen lebih datar. Informasi seolah tidak terbendung, baik secara formal maupun informal, informasi yang benar ataupun tidak benar tersebar dalam hitungan detik.
Meredefinisikan arti sukses
Membaca komentar para milenial di sosial media tentang masa depan mereka, kita bisa mengamati perubahan dalam konsep bekerja berikut dengan kesuksesannya. Ada yang ingin bekerja dan pensiun begitu memasuki usia 40 tahun. Sementara itu, ada yang sudah lewat umur pensiun masih berharap untuk bisa terus berkarir dan berkontribusi bagi perusahaan. Ada yang merasa bahwa berkarir di perusahaan besar tidak bisa memberinya kebebasan berkreasi sehingga menimbulkan keengganan baginya untuk bekerja dalam organisasi.
Pekerja yang berpengalaman masih sibuk memikirkan bagaimana mengakhiri karirnya dengan aman, sementara yang muda berambisi untuk memberi kontribusi yang lebih besar dan membawa perubahan. Para milenial dengan faham diversifikasi yang lebih luas dan mendalam berkesimpulan bahwa keseragaman dalam berorganisasi dianggap membosankan. Mereka juga tidak lagi mengenal konsep ibu memasak di dapur dan ayah berangkat kerja. Sekitar 40 persen perempuan di Amerika bahkan saat ini dianggap penyumbang nafkah keluarga yang dominan.
Kita mungkin masih ingat petuah orangtua kita jaman dahulu kala: “sekolahlah pintar-pintar, bergabung di organisasi besar, kerja keras dan naik pangkat”. Namun kenyataannya sekarang, perjalanannya tidaklah semulus itu. Banyak perusahaan besar yang terlihat sudah mapan, ternyata tidak bisa meneruskan bisnisnya dan melakukan PHK. Tingginya upah membuat perusahaan memilih tenaga cabutan, paruh waktu, maupun kontrak sementara. Belum lagi, robot dan mesin yang makin bertambah canggih sehingga bisa menggantikan tenaga manusia. Akibat dari disrupsi bisnis yang demikian hebat, jaminan keamanan karir pun tidak ada lagi.
Tangga karir atau kisi-kisi karir?
Bila di tahun-tahun lalu sudah terjadi misplacement para lulusan perguruan tinggi di tempat kerja, seperti lulusan pertanian yang banyak berkecimpung di dunia perbankan, saat sekarang individu bahkan bisa berkarir dalam bidang yang tahun-tahun sebelumnya bahkan belum diciptakan, apalagi jurusannya di universitas.
Dengan jalur karir yang sudah tidak lurus lagi, bisa zig zag, ataupun melingkar, bahkan bisa direkayasa, kita juga harus bisa bergerak lebih luwes untuk beradaptasi. Sebagai contoh, ketika ada negara yang merasakan kebutuhan tinggi akan tenaga perawat, maka bisa saja diupayakan pendidikan kilat bagi individu dengan berbagai latar belakang untuk membangun keterampilan yang dibutuhkan secara efektif dan efisien. Bisa dikatakan, jalur karier bisa diciptakan sesuai dengan kebutuhan sesaat. Dengan adanya teknologi seperti e-learning, proses belajar yang ada pun dengan mudah bisa disesuaikan dengan kebutuhan ruang dan waktu.
Kerja juga tidak lagi terbatas ruang dan waktu, bisa dikerjakan di mana saja, kapan saja. Bahkan pengusaha yang masih memiliki ruangan kantor pun mengupayakan agar kantor tersebut lebih menjadi ‘tempat berkumpul, berkomunitas, berdiskusi dan melakukan brainstorming. Tidak bisa lagi kita sebut sebagai sekedar tempat bekerja.
Budaya perusahaan sudah harus transparan. Adanya media sosial seperti whatsapp group menyebabkan karyawan bisa berinteraksi secara melingkar, all out dan all in menyebarkan pemikiran, ide dan umpan balik. Instruksi top down sudah tidak berlaku lagi.
Dunia digital sudah mengubah dunia kerja, walaupun belum semua orang menyadari situasi ini. Tidak ada lagi tangga karier, yang ada sekarang adalah kisi-kisi yang bisa kita pilih, kita kombinasikan, bahkan kita pecah-pecah.
Model mental pekerja digital
Mau tidak mau, kita yang ingin tetap berada dan eksis di dunia digital ini memang harus mengubah bentuk sikap mental kita. Keberadaan kita tidak cukup diwakili oleh CV dan portofolio saja, untuk kemudian menunggu sampai orang bisa mengenali kita. Kita perlu mengupayakan bahkan menjamin digital presence kita. Kita perlu tahu di mana pasar tenaga kerja baik yang nyata maupun dalam dunia maya, dan kita perlu ada di situ.
Pendekatan kita ke orang lain, baik pelanggan, vendor, ataupun para employer juga perlu berubah. Kita perlu trampil melakukan pendekatan yang lebih inklusif, holistik melalui apapun medianya.
Kita perlu pandai menunggangi teknologi digital dan mengupayakan solusi digital untuk mempermudah pekerjaan kita sehari-hari. Penggunaan teknologi ini bukan karena sedang trendi dan bersinar, tetapi justeru kita menggunakannya sebagai “new tools for doing old things”. Bukan berarti kita meninggalkan cara-cara lama, karena cara-cara digital ini diarahkan untuk melengkapi alat bekerja kita. Misalnya, brainstorming tanpa flipchart rasanya kuranglah mengena. Kita pun tidak bisa melakukan dialog yang sensitif dan rumit melalui ponsel. Yang jelas, dengan adanya kemajuan teknologi ini, dunia kerja sudah membuka kesempatan lebih banyak, lebih bervariasi, dan sebagai akibat, persaingan pun menjadi lebih ketat.
Kita tidak punya pilihan lagi, selain bahwa kita harus trampil memilih cara bekerja kita. Kita perlu memperkaya metode, alat, sistem, dan memperkuat serta mempertajam diri kita secara konseptual maupun taktikal. Kita perlu menyatu dengan kehidupan digital, dan dengan bijak memilih cara apa yang akan kita tempuh dalam setiap tindakan. Digital engagement harus menjadi nilai tambah strategik kita, dan perlu menjadi prioritas bahkan kebiasaan yang sudah terinternalisasi dalam diri kita.
Diterbitkan di harian Kompas tanggal 22 September 2018