BEBERAPA saat yang lalu, EXPERD melakukan penelitian kecil dengan mengambil model kepemimpinan dari Saville Assessment yang mempelajari kepemimpinan dari dampak yang ditimbulkannya, baik terhadap pengikut maupun organisasinya. Dari model 3 P’s ini, Pioneering, People dan Professional, ternyata pada umumnya responden memilih pemimpin yang lebih Pioneering dan Professional di mana aspek Crisis Handling dianggap sebagai yang paling penting dan diikuti dengan aspek coordinator.
Tampak kriteria pemimpin sudah bergeser dari sosok yang kharismatik, birokratif ke arah sosok yang tegas, koordinatif dan berfokus pada hasil kerja. Presiden diharapkan mampu membawa Indonesia kepada suatu perubahan dengan cara menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa melalui program-program kerja pemerintah yang terukur dan tepat guna. Dalam krisis ekonomi, lingkungan dan politik sekarang ini, kita membutuhkan sosok yang benar-benar bisa mengelola keadaan melalui koordinasi tim yang tangguh.
Menerobos “chaos”
Perbedaan harga yang terlalu jomplang di Papua, kondisi transportasi yang parah, sumber daya energi yang serba diimpor padahal berasal dari negara kita sendiri, merupakan keadaan yang hanya bisa dikelola oleh seorang yang mampu menyeimbangkan antara sikap dan keputusan dengan ketenangan. Ketika bursa cawapres begitu hangat dengan analisa masing-masing, Presiden Jokowi dengan ketenangannya menerobos ‘chaos’ dan memilih pasangan pendampingnya dalam Pilpres yang mungkin mengejutkan bagi banyak pihak.
Alasan kebangsaan lebih diutamakan olehnya saat ini untuk menyelesaikan konflik agama yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketenangan ini membuatnya mampu mengaplikasikan real time dynamics dari detik demi detik untuk mendapatkan know-how sesaat ketika menghadapi ancaman. Di sinilah kemampuan mendengar dan mendapat informasi terkini dari berbagai pihak diperlukan, agar ia mampu mengevaluasi, sambil memberi semangat dan tetap meng-empower.
“The buck stops here”
Tulisan di atas terpampang di meja Presiden ke 33 Amerika Harry S Truman, ketika menggantikan presiden Roosevelt yang meninggal setelah perang dunia ke-2 usai. Bisa dibayangkan betapa sulitnya keadaan masa itu, namun ia selalu mengingatkan dirinya bahwa tanggung jawab tidak bisa dialihkan kepada siapapun juga, begitu kita sudah mengemban suatu jabatan.”Reliability means accountability”. Anda hanya bisa dipercaya kalau tanggung jawab memang diambil. Di sinilah pemimpin ditantang untuk melakukan konfrontasi, mengelola, menanggulangi dan bersamaan dengan itu menebarkan harapan positif dengan kekuatan emosi yang mengarah pada keberhasilan. Pemimpin dituntut untuk membangun trust in action, bukan dari bicaranya, melainkan dari tindakannya. Ini hanya bisa didapat dari pengambilan tanggung jawab yang besar. Pengambilan tanggung jawab sepenuhnya berada dipundaknya inilah yang kemudian membuat pengikut merespeknya dan percaya pada keterandalannya.
Insight = Foresight
Seorang pemimpin yang efektif, pasti sangat peka dalam menyadari bahwa waktu adalah sumber daya terpenting dalam menangani krisis. Kita tidak bisa berpikir reaktif. Sikap reaktif hanya milik masa lalu. Pemimpin efektif pasti berfikir proaktif, sehingga ketika terjadi insiden tertentu, ia paling tidak sudah mengantisipasi skenario terburuk dan probabilitas yang tidak terlihat. Namun waktu tetap berjalan, sehingga pemimpin juga tidak bisa berlama-lama mencari informasi tanpa bergerak menentukan pilihan tindakan.
Dalam krisis, pilihannya hanya terdepan atau ketinggalan. Crisis Handler yang handal akan berusaha dengan cepat belajar dari pengalaman dan perspektif orang lain, untuk kemudian memperluas perspektifnya sendiri dalam melihat masa depan. Kapasitas ini tidak dipunyai semua orang.
Menggugah solidaritas
Pemimpin birokratis yang tidak menganggap pengikutnya sebagai partner, akan menimbulkan kesenjangan dan tim yang tidak produktif. Setiap pengikut perlu mendapatkan informasi utuh dan terkini, agar bisa bergerak bersama. Kita tidak bisa memperlakukan anggota tim sebagai aset atau sumber daya saja. Empathize and you will energize. Tidak ada jalan lain untuk menangani krisis kecuali merekatkan kelompok, sebanyak mungkin bertatap muka, dan menjaga transparansi seterang-terangnya.
Tuntut diri sendiri dulu, baru orang lain
Pemimpin di masa lalu yang dipandang sebagai sosok yang sakti, tetapi selalu bercokol di menara gadingnya, ternyata sudah tidak efektif lagi di masa sekarang. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang “Walk the talk, talk the walk”. Kata-kata pemimpin tidak boleh lagi berstandar ganda, apalagi tidak konsisten dalam tindakannya sehari-hari. Tindakan pemimpin merupakan bukti nyata dari karakter, keyakinan, moral dan etika yang dipanggulnya. Seperti ungkapan Eleanor Roosevelt, “It is not fair to ask of others what you are not willing to do yourself.”
Sukses bukan pilihan, tetapi satu-satunya tujuan
Dalam menghadapi situasi VUCA yang begitu cepat dan dinamis, pemimpin harus mampu berselancar dengan lincah. Ia harus menjamin kesuksesan bila tidak ingin tenggelam. Tidak bisa lagi melakukan coba-coba ataupun mengambil jarak dari impact keputusannya.
Menyelesaikan krisis bukan pekerjaan tambahan, tetapi merupakan urgensi. Seperti yang dikatakan Franklin Roosevelt pada jaman depresi Amerika,”When survivability is not an alternative, success is an imperative.” Tindakan yang diambil harus benar, karena tidak ada percobaan kedua lagi dalam era perubahan secepat ini. Semua kemungkinan menuju kegagalan harus dihitung dan sudah dieliminasi.
Bagaimana dengan prinsip, filosofi, dan ideologi? Menurut Thomas Jefferson, “In matters of style, swim with the current; in matters of principle, stand like a rock.” Pemimpin harus membawa negara melampaui krisis dan tetap menjaga prinsip bangsanya.
Dimuat dalam harian Kompas, Sabtu 11 Agustus 2018