JAUH sebelum orang menggaung-gaungkan konsep diversity, semenjak tahun 1945 kita di Indonesia sudah menelurkan motto Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa yang tertulis pada Garuda Pancasila lambang negara kita.
Bayangkan betapa majunya pemikiran pemimpin kita saat itu, yang sudah yakin bahwa keberbedaan kita bisa dianyam menjadi kekuatan. Namun demikian, dalam praktiknya, kita menyaksikan hal yang sama sekali berbeda. Ternyata ini bukan terjadi pada bangsa kita saja. Di negara maju pun diskriminasi masih sering terjadi. Oprah Winfrey dan Doria Raglan, ibu dari Duchess of Sussex, isteri pangeran Harry pun masih mengeluhkan betapa sikap rasial orang kulit putih masih mereka alami paling tidak selagi mereka muda dan belum berprestasi.
Jadi, diversity memang terjadi di sekeliling kita. Ada yang merasakan keberbedaan secara demografis, misalnya dalam hal gender, suku bangsa, warna kulit ataupun agama. Ada juga perbedaan yang berdasarkan jalan pikiran atau ideologi tertentu. Bahkan orang yang memeluk agama yang samapun masih mungkin memiliki perbedaan ritual maupun prinsip-prinsip tertentu sehingga lahirlah aliran yang berbeda. Ada perbedaan yang bahkan distrukturkan secara jelas dalam bentuk kasta-kasta, di mana dibuat aturan yang sangat kuat dalam membuat batasan.
Masih banyak lagi perbedaan-perbedaan yang kita temui, kadang bisa kita terima dan kadang tidak. Perbedaan perlakuan terhadap orang yang menjadi pejabat dengan pegawai rendahan. Ataupun antara para pegawai negeri dan pegawai di perusahaan swasta. Jadi, baik diciptakan dengan sengaja atau tidak, perbedaan itu memang ada dan harus kita akui, sebelum kita menggarapnya menjadi produktif. Penentuan hari libur lebaran yang demikian panjang dan memotong hak libur pemeluk agama lain, sementara mereka sebenarnya tidak membutuhkan waktu panjang untuk bersilaturahmi, adalah contoh tindakan taking for granted terhadap perbedaan yang ada, yang kita anggap tidak berakibat besar.
Perbedaan perlu dimanfaatkan
Memahami bahwa perbedaan itu memang ada, kita seharusnya menyadari bahwa tidak ada gunanya untuk memaksakan orang lain memiliki jalan pikiran, keinginan, pendapat yang sama dengan kita, sampai perlu melakukan caci maki dan hujatan di media sosial. Orang dengan sudut pandang berbeda justru bisa melihat sisi lain dari suatu permasalahan, yang malahan merupakan kunci kreativitas untuk menemukan jalan keluar yang berbeda dari cara-cara lama dan konservatif. “We are all different, which is great because we are all unique. Without diversity life would be very boring.”— Catherine Pulsifer
Kita perlu menyadari bahwa organisasi itu bergerak seperti amuba dan tidak bisa terus utuh kecuali dijaga. Kita perlu memasang posisi “sedang tumbuh”, dan selalu mencari kekuatan dari setiap golongan, baik itu mayoritas maupun minoritas.
Memanfaatkan perbedaan
Banyak lembaga ataupun perusahaan yang mengakui perbedaan, menghormatinya, tetapi tidak menggarapnya sampai tuntas. Inilah sebabnya mengapa perbedaan itu terasa menyakitkan dan bukan menguntungkan.
Namun, bila kita serius menjaga keberbedaan ini, kita akan segera mendapatkan manfaat yang sebelumnya tidak kita rasakan. Pertama, kita bisa memahami stakeholders dengan lebih utuh. Terlepas dari anggapan dan kenyataan bahwa golongan minoritas sering juga tidak berkinerja baik, seperti misalnya saja para penyandang cacad, ternyata dengan kombinasi anggota tim yang tepat, spirit bisa menjadi lebih baik. Hasil penelitian mengatakan bahwa kinerja kelompok heterogen lebih baik daripada kelompok yang homogen. Keinginan untuk berinovasipun semakin besar. Bukankah inovasi datang dari otak yang berfikir “beda” dan out of the box? Bagaimana mungkin brainstorming bisa menjadi kaya bilamana semua orang memiliki pemikiran yang sama.
Beberapa perusahaan sudah membuktikan bahwa dengan menjalankan kebijakan D & I, diversity and inclusion, produktivitas, kreativitas dan inovasi meningkat. Sodexo, perusahaan ritel makanan dan minuman, pada tahun 2002 mengangkat seorang chief diversity officer, Anand Rohini, untuk membuat kebijakan diversity and inclusion bukan hanya lip service saja. Policy ini dibarengi dengan perubahan sistem pengambilan keputusan terutama di bidang sumber daya manusia. Hasilnya, terbukti kreativitas meningkat dan banyak pelamar idealis yang juga berminat bergabung di perusahaan ini karena merasa bahwa perusahaan memberikan penghargaan ke karyawan yang lebih baik. Rohini, yang kemudian dianggap sebagai tokoh D & I, menyatakan: kita hidup di dunia yang terlalu kompleks. Kita tidak bisa mengandalkan solusi tunggal dari kelompok tertentu. Setiap bentuk keberbedaan itu tidak sama, dan kita perlu menentukan strategi yang berbeda pula untuk menghadapinya. Diversity itu seperti perjalanan, ia tidak bisa diperbaiki sekali saja, lalu diharapkan menjadi stabil untuk dikendalikan. Diversity harus dinavigasi.
Menganyam keberbedaan menjadi kekuatan
Melakukan inclusion dalam rangka menjaga keberbedaan, mudah disetujui tetapi tidak mudah dilakukan. Bisa saja kita berteori tentang indahnya keberbedaan, tetapi kita enggan berada dalam satu ruangan dengan orang dari golongan tertentu yang tidak kita sukai, atau kita cenderung hanya bergaul dengan mereka yang memiliki karakter yang kurang lebih sama dengan kita. Kita perlu menyadari bahwa organisasi itu bergerak seperti amuba, dan tidak bisa terus utuh kecuali dijaga. Kita perlu memasang posisi “sedang tumbuh”, dan selalu mencari kekuatan dari setiap golongan, baik itu mayoritas maupun minoritas. Kita perlu mengganti fixed mindset dengan growth mindset. Kita mesti yakin bahwa misalnya, orang-orang yang autistic yang biasanya sangat fokus dan mengerjakan hal tertentu dengan sangat baik, akan cocok dalam dunia digital yang data driven ini, asal kita sabar mengembangkannya.
Kita pun tidak boleh tinggal diam bila masih ada individu yang bersikap diskriminatif. Bila kita benar-benar ingin menjadikan keberbedaan ini sebagai sebuah kekuatan, ini adalah tanggung jawab semua orang, bukan pimpinan perusahaan saja. Negara seperti Kanada, menjalankan Zero-Tolerance Policy yang akan menghukum lembaga atau perusahaan yang melakukan diskriminasi. Hanya dengan ketegasan seperti inilah kita bisa mulai memperjuangkan kesamaan hak untuk anak bersekolah, untuk golongan minoritas, gender dan masih banyak golongan yang terlupakan.
Dimuat dalam harian Kompas, 9 Juni 2018