KITA pasti sudah pernah menemui orang seperti ini. Bahkan, sejak remaja pun, banyak anak yang bertanya mengapa teman tertentu sulit diajak bicara, bekerja sama ataupun membina rasa percaya. Sering kali kita memang dihadapkan pada situasi-situasi ketika kita tidak punya pilihan selain tetap bertransaksi dengan individu yang kita anggap tidak menyenangkan ini.
Hal ini juga tak luput terjadi di dalam kantor yang penuh birokrasi, bahkan mungkin saja diperparah dengan politik kantor yang ada. Belum lagi, tantangan yang ditimbulkan dari keadaan VUCA ini yang kita diharapkan untuk mampu mengatasi segala situasi dan memenangkan pasar, sementara individu yang sulit bekerja dalam tim akan semakin terasa menggerogoti gerak organisasi. Namun, apa boleh buat, dia sudah ada di sana dan kita akan terpaksa memperhitungkannya. Inilah manusia-manusia yang bisa kita golongkan pada “difficult people”. David Brown pernah dalam sebuah bukunya mengemukakan beberapa tipe yang secara umum dianggap sulit diajak bekerja sama, antara lain orang-orang yang terlalu perfeksionis, control freaks, terlalu kreatif, terlalu agresif dan defensif, sampai kepada yang submisif ataupun pasif agresif.
Manifestasi difficult ini bisa berbentuk bermacam-macam, dari halus sampai kasar. Ada orang yang memegang posisi kunci, tetapi tidak bisa menerima masukan. Apapun yang tidak sesuai seleranya, ditentang dengan kasar lengkap dengan ancaman. Bawahan yang menentang pun akan diserang, sampai akhirnya tidak tahan. Ada juga individu dengan tongkrongan yang meyakinkan, tetapi ternyata senang berpolitik, kasak kusuk menyebarkan keresahan karena ia juga tidak berkontribusi secara nyata. Bayangkan bagaimana lemahnya manajemen yang tidak berani bertindak karena takut kehilangan orang-orang ini. Kita sering juga menemui yang bersikap pasif agresif hanya terhadap rekan kerja yang tidak disukainya secara halus sehingga tidak terlihat nyata oleh orang yang kebetulan tidak menjadi sasaran emosi negatifnya. Yang terasa hanyalah bahwa tim tidak bergerak dengan seimbang dan efektif.
Jadi, akhirnya definisi difficult people itu bisa sangat subyektif, tergantung siapa yang merasakannya. Buat seseorang, orang tertentu sangat mengganggu, tetapi buat orang lain yang tidak menjadi sasaran emosi negatifnya, mungkin ia dianggap biasa saja, bahkan cenderung menyenangkan. Tentunya ada saja orang yang kemudian tidak disukai kebanyakan orang, seorang public enemy, tetapi situasi.
Yang waras “ngalah”
Sering kali reaksi kita yang spontan menghadapi orang-orang sulit ini adalah reaksi emosional. Betapa tidak, pekerjaan yang sebenarnya bisa diselesaikan secara mudah bisa menjadi bermasalah karena mereka, belum lagi bila mereka juga membangkitkan emosi negatif di lingkungan kantor dan membuat moral memburuk. Dalam kondisi demikian, kita perlu mawas diri dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada diri sendiri; apakah terjadi badai emosi yang memang dahsyat, atau sekedar emosi sesaat? Apakah reaksi kita menghadapi orang yang sulit ini masih masuk akal, atau sudah terbawa emosi? Apakah kita sendiri tidak menjadi difficult person di mata orang lain? Kita perlu juga menyadari bahwa kita sendiri bisa terjebak pada lingkaran setan yang muncul kecenderungan melihat hal yang negatif saja mengenai seseorang dan kemudian emosi negatif kita menjadi semakin kuat, penuh kemarahan dan kebencian.
Dalam kondisi seperti ini kita jadi tidak mampu memitigasi situasinya. Hal yang pertama kali perlu kita lakukan untuk menjaga obyektivitas adalah memisahkan antara fakta dan asumsi. Kemudian, ada baiknya kitapun mengupayakan keadaan emosi yang sehat, netral dan mengambil jarak dari emosi kita yang memanas bahkan meledak-ledak itu. Hal ini memang mudah dikatakan, tetapi sulit dipraktikkan. Namun, bukankah ini satu-satunya posisi yang harus kita mainkan bila ingin menengahi suatu situasi emosional?
Gunakan multilensa
Tony Schwartz penulis buku The Way We’re Working Isn’t Working membantu kita dalam melihat situasi yang sulit dengan menggunakan berbagai lensa. Lensa pertama adalah lensa realistic optimism, yang kita perlu berupaya untuk mengumpulkan fakta, mengeceknya, sebelum kita menarik kesimpulan yang tepat, bukan sekedar asumsi belaka. Kita juga perlu sekali lagi mempertanyakan apa sebetulnya motif kita dalam situasi ini. Lensa yang kedua adalah The reverse lens, yang kita butuhkan untuk menjaga keseimbangan. Kita perlu belajar untuk menggunakan persepsi orang yang sedang bermasalah ini dalam melihat situasinya. Melalui lensa ini kita belajar memahami persepsi individu yang kita anggap sulit. Ini bukan berarti bahwa kita kemudian jadi menyetujui perilaku tidak efektifnya. Hanya saja, kita juga perlu meninjau kembali, apakah kita memang memiliki tanggung jawab terhadap emosi yang dihayati orang ini. Inilah yang sering kita sebut empati.
Lensa yang ketiga adalah lensa jangka panjang. Kita tahu bahwa si individu sulit ini sangat mengganggu dan otomatis memecah konsentrasi. Namun, bisa juga sesekali kita berhenti sejenak dan berfikir, apa pelajaran berharga yang bisa kita tarik dari situasi yang kita alami ini. Bagaimana kita dapat mengubahnya menjadi pelajaran untuk menghasilkan kinerja yang lebih produktif?
Mengelola reaksi sendiri
Seorang ahli mengatakan, It is all about breathing. Latihan nafas yang benar, perlahan dan dalam bisa merangsang syaraf vegus di bagian bawah tulang belakang, yang mengirimkan pesan di otak untuk menenangkan diri. Pada saat-saat tenang inilah kita bisa merefleksikan bagaimana kerja perasaan kita, dan ekspresi kita yang mungkin terlalu tajam, negatif ataupun defensif. Inilah yang kita sebut sebagai self –control. Hanya dengan kondisi emosi yang sehatlah kita bisa menghadapi orang yang sulit. Dan, sesulit apapun, bila kita berpegang pada fakta dan yakin bahwa posisi kita sendiri cukup netral, maka setiap masalah akan bisa kita carikan jalan keluarnya.
Kita memang perlu berlatih menghadapi segala macam sikap dan karakter orang, terutama dalam situasi tak menentu seperti sekarang yang makin membangkitkan banyak situasi tidak nyaman. Namun, hal yang paling penting adalah memakai masker oksigen terlebih dahulu, sebelum menolong orang lain, seperti pesan rutin awak kabin pesawat.
Dimuat dalam harian Kompas, 28 April 2018